Penyesalan yang Terlambat

Mas dukun Joko uring uringan di rumahnya. Ia mondar mandir berjalan di ruang tamu menunggu seseorang. Kepalanya sesekali melongok ke luar mencari sosok yang ditunggu datang.

"Mana sih si Slamet, kok nggak datang-datang!" 

Ia berdecak kesal sambil melirik jam di dinding. "Wis jam piro iki, Met, Slamet!" (Udah jam berapa ini, Met, Slamet!)

Mas dukun kembali masuk ke dalam rumah, kopi hitam yang dibuatkan mbok Parmi masih mengepulkan asap tipis. Mas dukun Joko mendaratkan bokongnya kasar di sofa lalu mengambil cangkir kopi miliknya.

"Asem, panas! Mi, Parmi iki kopine kok panas men! Kowe meh mateni aku opo piye Mi!" Mas dukun Joko mengumpat tak karuan sebagai bentuk kekesalannya.

(Mi, Parmi ini kopinya kok panas banget! Kamu mau bunuh aku apa gimana Mi!)

Mbok Parmi tergopoh-gopoh mendekati majikannya, "Wonten nopo mas ndoro?" (Ada apa mas tuan?)

"Ccck, yang jelas kalo ngomong mas yo mas ndoro yo ndoro Mi!" 

"Lah mas ndoro sendiri kan yang bilang suruh manggilnya gitu. Piye to jek enom kok pikun!" sahut mbok Parmi kesal.

(gimana sih masih muda kok pelupa!)

Mas dukun Joko hendak membalas perkataan mbok Parmi tapi keburu tamu yang ditunggu datang.

"Kulonuwun, mas dukun!" (permisi)

"Nah ini dia, kamu dari mana aja sih, Met! Saya dari tadi nungguin kamu!"

"Nganu mas dukun, saya cari-cari informasi sesuai perintah panjenengan."

"Sini, duduk sebelah saya jangan jauh-jauh biar nggak teriak-teriak ngobrolnya. Bahaya kalau sampai ketahuan tetangga yang julid bin ghibah!" 

Slamet menurut dan duduk persis di sebelah mas dukun Joko. "Mbok, biasa kopi item manis yo! Sekalian sama singkong rebus ya kalo ada." pintanya cengengesan.

"Kowe Met senengane ngerjain wong tuwo!" gerutu mbok Parmi sambil berlalu.

(kamu, Met sukanya ngerjain orang tua!)

"Gimana, kamu dapat info apa?" Mas dukun Joko sudah tidak sabar menanti berita dari suruhannya.

"Tadi disana yang mati si Eka, masih dasteran berarti pas abis pulang dari sini si Eka kesambet mas dukun!"

"Heh! Waduh kok bisa?! Bisa gawat kalo ketauan aku sama dia baru …," mas dukun Joko menghentikan ucapannya. Hampir saja ia membuka rahasia jika semalam dirinya dan Eka saling berbagi kenikmatan.

"Baru apa mas dukun?" Slamet mengernyit penuh tanya.

"Aaah, nggak! Trus gimana lanjutin!"

"Persis seperti dugaan mas dukun, semua yang kerja di juragan Dadan satu persatu kendhat ( gantung diri). Sepertinya hantu juragan Dadan balas dendam, mas dukun."

"Lah mosok sih, aku nggak percaya!" Mas dukun Joko terhenti sejenak, ia mengingat  ingat lagi kejadian lampau yang mungkin terlewat olehnya.

"Waktu itu kan juragan Dadan memang minta bantuan aku, tapi buat melet Arini. Sayangnya si Arini seperti dilindungi kekuatan lain yang nggak bisa aku tembus."

"Wah mas dukun nggak sakti dong kalo gitu! Nyatanya gagal melet Bu dokter Arini!" sahut Slamet santai sambil meniup kopinya yang masih panas.

"Lambemu Met, tak keplak sisan!" Mas dukun Joko memukul ringan kepala Slamet yang usianya hanya terpaut dua tahun darinya.

"Tapi memang sih, juragan Dadan itu kesalahan terbesarku. Baru kali ini aku gagal dalam misiku, Met! Itu sebabnya pas tahu ada yang kendhat bikin aku emosi. Ngingetin sama kegagalanku!" Mas dukun kembali meminum kopinya hingga tandas.

"Tapi apa benar juragan Dadan meninggal karena santet?" Slamet bertanya penuh selidik.

Mas dukun Joko mengelus jambang tipisnya yang mulai tumbuh setelah habis dicukur. "Yang aku lihat begitu, Met. Tapi siapa yang guna-guna aku juga nggak paham. Hanya saja energinya mirip seperti yang melindungi Arini."

"Jadi mas dukun punya saingan?"

Mas dukun Joko tak menjawab, ia beralih menatap foto dirinya dan Arini. Ingatannya melayang pada masa dimana pertama kali dirinya jatuh hati pada Arini. Senyuman Arini dan hatinya yang lemah lembut membuat jiwa jomblo-nya meronta ronta. Sayang seribu sayang ia harus bersaing dengan pemuda lain dan juga juragan Dadan untuk mendapatkan cinta Arini.

Segala upaya ia lakukan demi mendapatkan perhatian Arini tapi tak ada yang berhasil. Puncaknya ketika dirinya diminta juragan Dadan untuk menjadikan Arini istri keempat. Ia harus berhadapan dengan kekuatan hitam lain yang menjaga Arini. Bahkan dirinya hampir tewas saat adu tanding dengan kekuatan tak kasat mata itu.

Sudut bibirnya berkedut konstan kala jarinya menyentuh wajah Arini dalam foto. Hatinya pilu teringat cintanya yang tak berbalas sekaligus sakit karena kasus Arini bagai aib yang bisa mencoreng nama baiknya sebagai dukun terhebat.

"Kenapa mas dukun kok nangis?" tanya Slamet heran.

Mas dukun Joko menghapus bulir bening yang menggantung. "Sopo sing nangis Met, kelilipan debu iki!"

Slamet terkikik geli, mas dukun Joko majikannya ternyata bisa melankolis juga jika berurusan dengan cinta. 

"Makanya, ndang kawin biar ada yang ngurusin panjenengan!"

"Kawin sering, Met cuma ya itu kok belum ada yang pas! Semuanya kurang sip!"

"Hah! Apanya mas dukun? Anunya? Kan si Eka bahenol, masa kurang siip juga? Gimana kalo Sundari, janda kembang pacar si Sukir? Mantep itu perabotan depannya sampe tumpah kemana mana!" Slamet cengengesan sambil membayangkan wanita-wanita yang tadi baru ia sebutkan.

"Asem kowe Met, ngintip yo?! Si Eka monoton gituannya kurang yahud, diem aja nggak ada inisiatif kalo aku nggak minta, kalo si Sun … weeh, pinter! Bisa apa itu bahasa kerennya, **** *** ya?"

Slamet tertawa terbahak bahak, si mas dukun memang paling pintar merayu wanita kesepian di desa mereka. Dari gadis sampai janda kembang sekali pepet langsung nurut dan rela melayani mas dukun Joko. Sayang mas dukun muda itu belum beruntung dalam hal cinta. Siapa juga wanita yang mau bersanding dengan lelaki hidung belang jenis mas dukun.

"Kulonuwun, mas dukun!"

Seorang lelaki berperawakan ceking datang bertamu, menghentikan tawa Slamet. "Eh, bapak'e Bowo! Ada apa kesini, Bowo kambuh lagi?"

"Ngapunten (maaf) mas dukun, mas Slamet … Bowo aman sudah dikasih obat sama dokter Putra, ini masalah lain."

"Ooh lain, masuk duduk dulu." ujar mas dukun Joko sambil mengamati tubuh Rahmat, ayah Bowo. "Ada apa, kenapa pucat gitu?"

Rahmat menggaruk kepalanya yang terasa gatal, "Begini mas dukun, saya kok takut ya kalau korban selanjutnya itu saya!"

"Heh!" Mas dukun Joko dan Slamet saling memandang.

"Kenapa kamu bisa menyimpulkan begitu?" Mas Dukun bertanya.

Rahmat pun menceritakan kegalauannya, dirinya juga bekerja di perkebunan milik juragan Dadan. Bersama Eka, Sukir, dan Adi, mereka berempat sering wara wiri ke rumah besar itu. Kematian ketiga mantan rekannya itu membuatnya takut jika dirinya akan mengalami hal yang serupa.

"Terus mau kamu apa? Minta tolong sama aku?"

"Iya mas dukun, tolong kasih saya jimat biar nggak apes seperti mereka!"

Sudut bibir mas dukun Joko berkedut lagi, ia menyunggingkan senyum. "Gampang tunggu disini!"

Mas dukun pun berlalu menuju ruangan prakteknya. Rahmat menunggu di depan bersama Slamet. Rasa penasaran Slamet membuat dirinya bertanya.

"Sakjane (sebenarnya) kalian menyembunyikan apa sih? Terlibat apa sampai arwah juragan Dadan dendam?"

Rahmat mendadak bingung, ia sendiri belum memastikan apakah dugaannya benar atau salah. "Ehm, itu … anu, gimana ya Met?"

"Eh lah kok balik nanya? Situ nanya saya lha trus saya nanya sama siapa?" Wajah dongkol Slamet terlihat begitu jelas tapi Rahmat malah membalasnya dengan cengiran tengil.

...----------------...

Seorang wanita paruh baya duduk termenung di depan cermin. Wajahnya kuyu dan tatapannya sayu. Ia menghela nafas dengan berat. 

"Sampai kapan aku begini? Apa iya aku harus ceritakan rahasia besar ini? Tapi …,"

Sudarmi …,

Suara bisikan halus dan menakutkan itu terdengar di telinganya. Mbok Dar celingukan dengan wajah pucat. "Si-siapa?"

Tak ada siapa pun dikamar selain dirinya. Mbok Dar berdiri dan membuka jendela lebar, ia mencari siapa yang iseng memanggilnya.

Sudarmi …,

"Siapa to yang …," wajah mbok Dar terpaku pada satu titik. 

"Ndoro putri," gumamnya lirih.

Matanya tertuju pada pantulan bayangan di cermin. Wanita cantik dengan kebaya kuning tersenyum padanya. "Ndoro putri,"

Mata mbok Dar merebak kemerahan menahan tangis, ia berjalan perlahan mendekati cermin. "Ampun, ndoro putri!" ia terisak pilu.

Wajah berseri wanita berkebaya pada cermin itu perlahan berubah sedih, kulitnya mengeriput hingga hanya menyisakan tulang dan daging saja. Rongga mata hitam tanpa bola mata dengan darah kehitaman yang terus menerus mengalir. Mulutnya ternganga lebar bagai tercekik.

Tubuh mbok Dar melorot ke lantai, gemetar dan lemas. Air matanya mengalir deras dan disela isakannya mbok Dar berkata dengan penuh penyesalan, "Maafin saya ndoro putri,"

Terpopuler

Comments

Hana Nisa Nisa

Hana Nisa Nisa

🤔🤔🤔🤔

2023-12-30

1

A B U

A B U

next.

2023-02-22

1

A B U

A B U

brarti ada yang lebih sakti dari Joko

2023-02-22

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!