Nyi Melati

Nayla dan Tegar masih menemani dokter Putra di ruang keluarga. Dokter Putra menyelesaikan tulisan yang berhubungan dengan kesehatan di blog pribadinya. Menjawab beberapa pesan singkat dari ponselnya yang berasal dari rekan sejawat di kota.

Berita kematian tiga warga desa rupanya terdengar juga hingga ke telinga rekan seprofesinya. Dokter Putra dengan sabar menjawab satu persatu pertanyaan mereka.

"Masih lama, Yah?" Pertanyaan Nayla mengusik dokter Putra yang masih asik mengetik.

"Hhm, kalo ngantuk tidur aja dulu Nay."

Tegar dan Nayla saling memandang, "Nanti, belum ngantuk." 

Mbok Dar datang meletakkan teh manis tubruk untuk dokter putra dan juga Nayla. "Lha buat aku mana mbok?" protes Tegar.

"Halah, kamu bisa bikin sendiri sana di dapur."

"Ccck, simbok pilih kasih masa Nay doang yang dibuatin! Aku kan anaknya, mbok!"

Nayla terkekeh geli, "Mau barengan? Ini, nggak apa kok?"

"Weeh beneran? Segelas berdua? Wah berasa ciuman tak langsung nih!" ujar Tegar cengengesan.

Mbok Dar sontak memukul kepala Tegar yang sengaja menggoda Nayla, diiringi deheman keras dokter Putra.

"Golek perkoro wae!" (Cari perkara aja!)

"Ya kan usaha mbok, apa mbok nggak mau punya menantu cantik, dokter lagi." mata Tegar mengerling ke arah Nayla yang terkekeh geli.

"Boleh Gar, asal kamu bisa sediain mahar mahal buat Nayla!" timpal dokter Putra yang matanya tak juga lepas dari layar ponsel.

Tegar merasa mendapat angin dari ayah Nayla, ia pun bersemangat. "Wah kode ni, siap dokter! Maunya kamu apa Nay?"

Wajah konyol Tegar saat bertanya membuatnya tertawa kecil, wajah Nayla merona. "Apaan sih, main nanya aja. Belum tentu juga aku mau!"

"Ya, kan usaha Nay."

Nayla dan Tegar kembali saling menggoda, mbok Dar yang masih duduk bersama mereka menatap keduanya dengan mata sendu. Ada rasa sedih yang terbesit di hatinya saat menatap wajah putra tunggalnya itu.

'Maafin simbok ya Le,'

Mbok Dar berlalu meninggalkan mereka ke dapur, membereskan piring kotor dan sisa makan malam yang masih ada di meja makan. Bulir air mata jatuh membasahi wajah tuanya. Sesekali ia mengusap air mata yang semakin deras mengalir. Meski berurai air mata, mbok Dar tetap cekatan merapikan dapur dari gerabah kotor.

Mbok Dar membilas piring penuh busa sabun dibawah air mengalir, awalnya semua normal tapi kemudian air mulai mengecil dan mati. Mbok Dar heran karena sepanjang hari aliran air lancar.

"Lho kok mati?" ia mencoba buka tutup keran tapi tetap saja tak ada air tidak mengalir.

"Le, sini Le tolongin simbok!" Mbok Dar berteriak memanggil Tegar.

Tak ada respon dari Tegar, sementara mbok Dar merapikan piring yang sudah sempat terbilas. "Kemana sih Tegar, apa sudah pulang ya? Wis tak pake ember aja deh, ambil air dari kamar mandi!"

Kran air sedikit berguncang dan mengeluarkan suara berisik, tak lama air kembali mengalir mengembangkan senyum di bibir mbok Dar. Tapi itu tidak berlangsung lama, kran air itu kembali berguncang, air yang mengalir perlahan berubah merah. Mengalir bak aliran darah, berbau karat khas dan anyir.

Mbok Dar tercekat, ia tak percaya dengan penglihatannya. Dengan gemetar jarinya menyentuh aliran darah yang terus menerus mengalir.

"Da-darah," ia bergumam lirih saat menyentuh keanehan itu. 

Tengkuknya meremang, lidahnya kelu. Mbok Dar berbalik ia ingin segera pergi dari tempat itu tapi gerakannya terhenti seketika. Di belakangnya sudah berdiri sosok wanita berkebaya kuning, menatapnya dengan mata hitam sempurna. Kulit wajahnya mulai mengelupas, berbau anyir dan juga busuk menusuk hidung Mbok Dar. 

"Ndoro putri …,"

Keringat membanjir, lututnya gemetar. Mbok Dar tak kuasa menopang tubuhnya lagi ia terkulai lemas di lantai. Matanya menatap sosok wanita menyeramkan yang terus membayang di pelupuk mata. Pandangan mbok Dar berputar, sosok itu terus mendekat dan kemudian ... menerkamnya.

"Mbok, simbok!" teriakan Tegar dan Nayla terdengar sayup-sayup ditelinga mbok Dar, tapi ia tak juga bisa menggerakkan tubuhnya. Ingin bicara pun tak bisa, hanya matanya yang bergerak tak tentu arah. Mbok Dar, pasrah.

"Mbok, simbok kenapa?" Tegar panik, dibantu Nayla ia mengangkat tubuh ibunya masuk ke dalam kamar.

"Simbok gimana?" tanya Tegar tak sabar pada Nayla.

"Shock, tapi kondisinya baik kok." Nayla menaikkan selimut di tubuh mbok Dar yang masih memejamkan mata.

"Mungkin dia kecapean, untuk sementara biarkan dia istirahat disini dulu." Dokter putra menambahkan. "Kamu jagain aja disini Gar, besok saya minta pak Agus cari orang untuk bantuin disini." lanjutnya lagi.

Malam itu, Tegar dibantu Nayla menjaga mbok Dar. Mbok Dar demam, ia seringkali mengigau dan bergumam tak jelas. Tegar dengan sabar menjaga ibunya. Setiap empat jam Nayla memeriksa suhu tubuh mbok Dar. Hingga pagi menjelang demam mbok Dar belum juga turun malah semakin tinggi.

Nayla yang khawatir meminta Tegar mengambil beberapa obat dan juga alat infus di klinik tentu saja dengan seizin dokter putra. 

"Gimana kondisinya, Nay?" tanya Dokter putra sebelum berangkat ke klinik.

"Masih demam, Yah." Nayla memeriksa angka di termometer.

"Kalo terus begini dan kondisinya nggak juga membaik, sebaiknya dipindahkan aja ke klinik." saran dokter Putra.

"Iya, nanti biar Tegar aku kasih tau."

"Ohya, dimana dia?"

"Pulang, bersih-bersih dulu."

Dokter Putra meninggalkan Nayla dikamar bersama mbok Dar yang masih memejamkan mata. Dengan lap hangat, Nayla membersihkan wajah mbok Dar. Wanita paruh baya itu bergumam lirih.

"Ndoro putri,"

Nayla mengerutkan kening, ia kembali mengusapkan lap hangat di tangan mbok Dar, "Ampun ndoro, ampun." 

"Ndoro putri? Siapa yang dimaksud mbok Dar? Dari semalam dia beberapa kali menyebut nama yang sama."

Nayla menatap wajah mbok Dar, ia mengingat rekognisi yang terjadi sebelumnya. Mbok Dar berbicara dengan seorang wanita, mereka berdebat sebelum akhirnya mbok Dar mengalah.

"Apa wanita itu yang dimaksud mbok Dar, tapi siapa dia?"

"Nay?" Tegar datang dan terlihat lebih segar dengan rambutnya yang basah. Aroma maskulin tercium dari tubuhnya.

"Kamu nggak ke klinik?" 

"Nggak, nemenin simbok aja. Lagipula badanku juga masih belum fit."

Tegar menyentuh kening ibunya, "Masih belum turun juga. Simbok kenapa ya Nay?"

"Kecapean mungkin, atau …,"

Tegar menoleh ke arah Nayla yang terlihat ragu melanjutkan. "Atau apa Nay?"

"Ah, nggak lupain deh. Ehm, Gar boleh aku nanya? Siapa itu ndoro putri?" 

Tegar sedikit terkejut, "Kenapa kamu nanyain dia?"

"Oh, kamu kenal ya? Ibu kamu dari semalam mengigau dan menyebut nama itu terus."

Tegar menghela nafas, "Ndoro putri, sebutan buat istri ketiga juragan Dadan. Dulu simbok kerja sama dia juga. Malah jadi pembantu khusus buat dia."

"Istri Wak Dadan?" gumam Nayla lirih.

Nayla mengingat ingat lagi bayangan masa lalu terakhir yang tersimpan dalam memorinya. Ada tiga wanita yang mengelilingi makam Wak Dadan, meski wajah mereka tak bisa terlihat jelas tapi Nayla bisa merasakan kesedihannya.

"Mereka, dekat?" tanya Nayla lagi.

"Lumayan, istri ketiga juragan Dadan itu yang paling lemah. Dia sensitif sekali dan sering menangis dalam kamarnya. Dulu simbok cerita kalau ndoro putri terpaksa menikahi juragan Dadan. Dia nggak cinta."

"Eeh terpaksa? Maksudnya mereka nikah dengan alasan tertentu gitu?"

"Iya, Nyi Melati nama panggung ndoro putri. Dia menikah lantaran … lari dari kekasihnya."

"Weh, maksudnya gimana? Aku nggak paham?"

Tegar menarik nafas dalam sebelum bercerita. Kumalasari, nama asli Nyi Melati. Sinden dan penari terkenal di dari kota Brebes. Ia bertemu juragan Dadan secara tak sengaja. Waktu itu Tegar sedang mengantarkan sayuran ke kota bersama yang lain. 

Tak seperti biasanya juragan Dadan ikut bersama mereka. Saat sedang asik menurunkan pasokan, Kumalasari tiba-tiba saja masuk ke dalam mobil. Kondisinya memprihatinkan, bajunya robek, dan wajahnya babak belur. Dia meminta perlindungan pada juragan Dadan. Karena iba juragan Dadan membawa Kumalasari pulang dan menjadikannya istri ketiga.

"Oh begitu, jadi Kumalasari nggak cinta sama Wak Dadan? Tapi mereka punya anak?" Tegar menggeleng, ia hendak kembali bercerita saat suara teriakan terdengar dari teras rumah.

"Permisi, assalamualaikum!"

"Siapa tuh, kamu nunggu pasien?" tanya Tegar pada Nayla.

"Nggak. Siapa ya?"

Nayla dan Tegar keluar dari kamar untuk mencari tahu siapa yang datang. Seorang wanita berparas ayu menunggu didepan. Senyumnya mengembang, saat melihat wajah Tegar muncul. Wanita itu merapikan pakaiannya yang terlihat cukup ketat serta menampakkan keindahan perabot depan dan juga belakang. 

"Mas Tegar," sapanya menggoda.

"Lho, Sundari?!"

Terpopuler

Comments

A B U

A B U

next,

2023-02-22

2

Heni Purwati

Heni Purwati

author bisa aja buat kalimat perabot depan dan belakang 😁😁😁😁😁😁😁😁😁😁🤣🤣🤣🤣🤣🤣

2023-01-26

1

αʝιѕнαкα²¹ᴸ

αʝιѕнαкα²¹ᴸ

rupanya tegar ini rival masduk, relasinya yg hot-hot 😎

2023-01-26

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!