Mayat Ketiga

Warga desa berkeliling kampung menyisir tempat-tempat mencurigakan yang sekiranya bisa dijadikan tempat melakukan perbuatan kriminal. Kemunculan burung Kedasih erat kaitannya dengan kematian tragis dua warga desa. Itu sebabnya kemunculan suara burung itu kembali menggegerkan warga

Pak Agus diikuti tiga warga desa berhenti di depan rumah angker. Budi dan Anton juga ada bersama mereka, sementara rekan lain membantu warga menyisir di sisi selatan desa.

Suara burung menyeramkan itu kembali terdengar. Mereka mencari dengan sorot lampu senter memastikan keberadaan burung yang mirip dengan burung srigunting itu. 

"Coba dilihat, beneran ada nggak sih burungnya? Jangan-jangan cuma buat nakutin kita aja!" seru salah satu warga pada warga lain untuk mengarahkan senter ke pepohonan.

"Kayaknya suara beneran," sahut yang lainnya.

Burung Kedasih termasuk burung penyendiri yang tidak memiliki sarang, ia tidak menetap di suatu daerah dan hanya ditemui di dataran tinggi seperti halnya desa itu. Sejauh sorot lampu yang dipakai warga, tanda tanda burung Kedasih ataupun orang iseng tidak ditemukan.

"Dasar burung gableg! Bunyi kok senengane barengan sama mayit!" gerutu warga berbadan tambun yang berdiri di sebelah pak Agus.

"Huush, ojo ngawur! Masa iya sih ada mayit lagi! Hiii, serem!" warga lain menyahut.

"Lha nyatane memang ngepasi! Bikin desa kita geger! Gara-gara dokter itu, semua jadi ketakutan sama suara burung nggak jelas!" ujar lelaki tambun itu sambil membetulkan topi hangat miliknya.

"Maksudmu ki sopo Kang? Dokter Ariani?" tanya warga di sebelahnya.

"Lho ya sopo meneh! Saya curiga nih jangan-jangan dokter itu yang bunuhin warga desa! Dia jadi hantu gentayangan, menuntut balas sama kita!"

Budi dan Anton yang mendengar saling memandang, satu informasi baru didapat tanpa sengaja dari ocehan si tambun.

"Hiii, serem! Mosok to Kang jadi hantu bisa bunuh orang? Apa jangan-jangan juragan Dadan balik dari neraka nuntut kita bayar hutang ya!" celetuk warga lain yang berbadan ceking dan berkacamata tebal.

"Hush, ngawur kowe mosok wes tekan neraka tuku tiket balik omah! Semprul tenan lambemu!" lelaki berbadan gemuk itu memukul kepala si ceking dengan kesal.

"Lha, piye sih! Situ yang bilang hantu Bu dokter bunuh warga desa, ya saya nyambung aja. Kan bisa juga hantu juragan Dadan bangun dari kubur!" Si ceking tak mau kalah berargumen.

"Ccck, sudah … sudah, malah ribut hantu-hantu! Emang kalian berani kalo tuh hantu nongol?!" Pak Agus menengahi dan dibalas gelengan kepala semuanya.

"Nah kan nggak mau! Udah tutup mulut jangan banyak ngomong, ayo kita masuk ke dalam!" Pak Agus memberi komando untuk segera masuk ke dalam rumah angker.

"Duh, pak kades! Saya takut masuk ke dalam!"

"Nggak usah takut, kita kan rame-rame!"

Mau tak mau mereka pun masuk melintasi garis batas polisi bersama Budi dan juga Anton. Dibantu penerangan ala kadarnya mereka memeriksa satu persatu ruangan. Rumah kosong milik juragan Dadan itu terlihat semakin menyeramkan saat malam, perabot berdebu, atap yang hampir jebol dan jejak basah air membuat suasana tak nyaman. Belum lagi pengap dan lembab menyapa saat mereka memasuki ruangan.

"Permisi Wak, kita mau namu! Setan ora doyan demit ora ndulit, ojo ganggu yo aku mung liwat!" bisik si ceking ketakutan dan bersembunyi di belakang tubuh si tambun.

"Hush, berisik!" ujar si tambun singkat.

"Kan slaman, slumun, slamet Kang!" sahut si ceking lagi.

"Ssst, diem!"

Pak Agus menggelengkan kepala melihat kelakuan warganya. Budi dan Anton memeriksa tiga kamar terpisah yang dulunya dihuni ketiga istri Wak Dadan.

"Kok merinding ya Bud," Anton menyentuh tengkuknya.

"Perasaan kamu aja kali, kebawa sama cerita warga tadi." Budi menenangkan.

"Iya kali, kasus kali ini rada aneh juga sih. Gila bener, belum dua puluh empat jam kita disini udah ada aja kabar nggak enak." kata Anton lagi yang membelakangi tubuh Budi, mereka kini memeriksa kamar yang ada di bagian tengah tepatnya kamar istri kedua.

Sorot lampu senter diarahkan ke berbagai sudut ruangan. Ranjang bekas yang mulai rusak, lemari yang lapuk serta kaca jendela yang pecah cukup terasa menyeramkan. Saat sorot lampu mengenai sudut ruang dekat lemari, Budi menangkap sosok hitam yang berdiri diam.

"Astaga, apa itu!" Jantung Budi berdegup kencang, lututnya lemas seketika.

"Apa Bud?" Anton berbalik dan menyorotkan lampu.

"Itu deket lemari, ada orang!" 

Anton mengarahkan lampu ke arah yang dimaksud, tapi tak ada bayangan ataupun orang disana. "Mana, nggak ada kok!"

"Sumpah gue liat ada bayangan hitam disana!" sahut Budi gemetar.

"Ccck, perasaan takut kamu tuh ngewujud jadinya!"  

Budi kembali mengarahkan senter ke arah tadi, dan memang tak ada apapun disana. "Lho iya, nggak ada!"

Tiba-tiba terdengar suara teriakan wanita yang terdengar nyaring dari luar ruangan. Budi dan Anton saling memandang, mereka bergegas keluar ruangan. Warga yang lain juga terlihat berkumpul di satu titik.

"Siapa yang teriak tadi?" yanya pak Agus pada yang lain.

"Entah pak kades, kita cuma denger suara padahal kan nggak ada perempuan yang ikut keliling." jawab si ceking celingukan, tubuhnya merapat pada si tambun mencoba berlindung.

Budi, Anton dan pak Agus saling memandang. "Ayo kita cari, siapa tahu ada yang perlu bantuan." Anton angkat bicara, ia berdiri paling depan dan kembali menyisir rumah Wak Dadan.

Baru beberapa langkah, suara teriakan kembali terdengar dari arah yang berlawanan. Kali ini menyerupai permintaan tolong yang disertai rintihan.

"To-long, sakit …,"

"Astaghfirullah, Kang ini pasti demit kang!" Si ceking segera memeluk tangan si tambun yang hampir terjungkal ke belakang karena tubuhnya di tubruk si ceking.

"Walah duuul! Semprul kowe! Kaget yo kaget ora mawi nabrak-nabrak! Tak sikat tenan kowe duuul!" umpat si tambun menjauh dari ceking setelah mendorong tubuhnya kuat.

"Ssst diam! Perhatikan dimana suara itu!" Budi menghentikan dua warga yang hampir saja berkelahi.

Suara itu kembali terdengar begitu miris dan menyayat hati sekaligus menegakkan bulu roma. Budi berjalan perlahan menuju sumber suara. Mereka berjalan menuju kebun belakang rumah Wak Dadan yang kini menyerupai hutan karena ditumbuhi ilalang tinggi.

"Kang, ini pasti demit kang! Mana ada perempuan yang selarut ini jejeritan minta tolong!" bisik si ceking dengan suara gemetar, ia semakin memeluk erat tangan warga lain karena si tambun tak ingin dekat dengannya lagi.

"Demit apa bukan, ramean ini nggak usah takut Dul!" pak Agus berkata menenangkan.

Suara lirih itu kembali terdengar menuntut mereka ke arahnya, dan saat suara itu berhenti Budi terperanjat begitu juga warga lainnya. Sesosok wanita berpakaian putih kusam bertengger dengan santai di sebuah pohon, ia terkikik sebelum akhirnya terbang entah kemana.

"Ladalah duuul, semprul tenan! Demit duul, demit!" teriak si tambun yang seketika jatuh terduduk saking terkejutnya.

Budi dan Anton tak bisa lagi melawan logika. Sosok gaib itu nyatanya menampakkan diri dihadapan mereka. Tak ada penyangkalan yang terucap dari bibir sekelompok lelaki yang berjaga malam itu.

"Bud, gue nggak salah lihat kan?" suara Anton terbata bata.

Budi yang masih menatap takjub penampakan sosok wanita tadi tidak merespon, "Bud, Budi!"

"Apaan sih!" akhirnya Budi menjawab setelah tangan Anton menariknya.

"Lihat tuh!"

Anton menunjuk ke arah pohon mangga tempat sosok gaib itu menampakkan diri. 

"Astaghfirullah Al adzim … Innalillahi wa Inna ilaihi Raji'un,"

...----------------...

Pagi itu, untuk ketiga kalinya warga desa digegerkan dengan penemuan mayat berjenis kelamin wanita. Mayatnya tergantung di salah satu pohon mangga yang ada di kebun Wak Dadan. 

Berita tersebar luas hingga ke desa tetangga menyebabkan kerumunan warga semakin siang semakin ramai. Budi dan Anton terlihat lelah dan mengantuk setelah semalaman berjaga. Tapi sebagai petugas kepolisian mereka tak mengeluh. Mereka dibantu anggota lain segera mengevakuasi jasad korban yang lagi-lagi mengakhiri hidup dengan gantung diri.

"Bud, cari informasi apakah benar wanita ini juga bekerja di rumah Wak Dadan!" bisik Rizky setelah selesai mengambil gambar.

Budi menatap ke arah Rizky dan mengerutkan kening, "Dua yang lain juga bekerja di rumah Wak Dadan?" Rizky mengangguk dan kembali memotret.

"Menarik, ehm aku rasa kita perlu memasukkan burung Kedasih dalam daftar tersangka!" ijar Risky lagi dengan santai.

Budi pun tertawa geli, ucapan Rizky mungkin ada benarnya apalagi setiap kali ada kejadian burung Kedasih selalu muncul. 

Dari kejauhan seseorang memperhatikan rumah angker yang kini dikerumuni warga. Selarik senyum sinis mengembang ditambah dengan kedutan konstan di sudut bibir menghiasi wajahnya.

"Sialan! Kalau begini terus, reputasiku akan hancur!"

Terpopuler

Comments

A B U

A B U

next

2023-02-22

1

❤️Nurjehan❤️

❤️Nurjehan❤️

hahaha..kasihan burung kedasih jadi tersangka 😂😂

2023-02-20

1

uutarum

uutarum

nahlohh...kedasi....... jd tersangka

2023-01-23

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!