Incaran Selanjutnya?

Pagi ini Nayla sengaja berjalan pagi sendirian selepas sholat subuh di mushola. Ia sengaja melewati rumah angker yang masih bergaris kuning. Suasana masih sepi dan sedikit gelap. Matahari bahkan belum menampakkan diri, Nayla dengan tenang berdiri di depan rumah seram itu.

Bau tak sedap tercium di hidung Nayla bercampur dengan aroma wangi bunga. Nayla menarik nafas dalam, rasa penasaran membuatnya ingin melangkahkan kaki ke dalam rumah angker.

"Kalau saya jadi mbak, saya nggak akan menerobos pita kuning itu!" Pak Tarmiji rupanya memperhatikan Nayla dari tadi.

"Eeh bapak," Nayla tersipu seperti maling yang ketahuan.

"Ngapain mbak dokter kesini? Masih gelap juga, nggak takut apa sama demit yang nunggu  rumah sini?"

Nayla tersenyum masam, ia mundur teratur dan berdiri di sebelah pak Tarmiji. "Memangnya yang nunggu rumah ini siapa pak?"

Pak Tarmiji tertawa kecil, ia berjalan perlahan meninggalkan rumah tak berpenghuni itu diikuti Nayla.

"Kata warga yang pernah liat, ada mbak Kun disitu, ada juga yang bilang sosok nyai-nyai pake kebaya, pocong cantik juga ada mbak. Komplit pokoknya!"

"Eeh, pocong cantik pak? Emang keliatan mukanya cantik?"

"Bukan mbak, habisnya pocongnya lompat maju mundur cantik." sahut pak Tarmiji terkekeh geli.

Mata Nayla membulat sempurna dan menggelengkan kepala. "Nyai pake kebaya, apa suka muncul sambil nembang Jawa pak?"

Pak Tarmiji mengerutkan kening mencoba mengingat. "Saya kurang tahu tapi beberapa warga pernah dengar ada suara wanita yang nembang malam-malam. Kenapa mbak dokter nanya gitu? Pernah dengar emangnya?"

Nayla hanya tersenyum dan menggeleng, ia mengajak pak Tarmiji untuk mampir ke rumah mengajaknya sarapan bersama tapi pak Tarmiji menolak. Akhirnya Nayla memutuskan kembali ke rumah. Dokter Putra sudah duduk di teras membaca koran pagi yang rutin dikirim kurir setiap harinya.

"Baru pulang Nay?"

"Iya yah, tadi ngobrol sebentar sama pak Tarmiji. Mbok Dar di dapur, Yah?"

"Iya, masuk deh! Minta buatin kopi lagi buat ayah, habis nih!"

"Yah, inget sehari maksimal hanya dua cangkir kopi. Nggak kasihan sama Nay apa?"

"Iya, iya sayang. Ayah butuh banyak kafein, ngantuk banget semalam ngerjain laporan bulanan buat data Dinkes."

"Hhhm, iya deh. Nay bilang mbok Dar dulu."

Nayla bergegas masuk ke dapur setelah meletakkan alat sholatnya di kamar. Mbok Dar tengah asik memasak untuk sarapan. Nayla melongok sedikit, "Masak apa mbok?"

"Oh ini mbak, lagi goreng jamur krispi sama bikin nasi gurih. Mbak suka nggak?" sahut mbok Dar tanpa melihat ke arah Nayla.

"Yang penting makan mbok, kalo saya sih apa aja doyan." 

Nayla membuatkan kopi non gula untuk ayahnya karena melihat mbok Dar sibuk dengan masakannya. Ia melirik sebentar ke arah ibu dari Tegar itu.

"Mbok, Tegar itu hebat ya bisa merintis kebun jamur sampe besar gitu."

"Ya namanya usaha mbak, dia anak laki masa mau diem aja nggak kerja. Besok dia kan harus hidupin keluarga juga, jadi kepala rumah tangga." Mbok Dar menyahut sambil menggoreng jamur berbalut tepung di wajan.

"Udah lama Tegar jalanin bisnisnya mbok?" 

"Sebenarnya dia sudah lama merintis dari lima tahun lalu mbak, jatuh bangun. Dulu ikut juragan Dadan terus misah bikin usaha jamur."

"Wak Dadan?"

"Iya, abis pulang dari kota Tegar ikut kerja sama juragan Dadan. Ngurusin kebun kol sama kentang, terus belajar menanam jamur tiram. Tegar juga di pasrahin sama kelompok tani buat mengelola semua hasil pertanian buat disalurkan ke agen di kota."

"Oh ya, wah sibuk juga dia ya!"

"Lumayanlah mbak, mumpung masih muda. Kesempatan cari duit yang banyak. Sekarang lagi merintis kebun kol sama kentang. Belum seluas yang lain tapi hasilnya lumayan." terang mbok Dar lagi.

"Eeh, beneran Tegar punya kebun kol.sama kentang?"

"Iya mbak, kenapa emangnya?" Mbok Dar mengambil piring di dekat Nayla dan meletakkan hasil gorengan jamur di atasnya.

Nayla tersenyum masam dan menggelengkan kepala. Ia kesal karena Tegar ternyata membohonginya tempo hari. Tapi ia tidak sepenuhnya kesal karena diam-diam dirinya menaruh simpati pada pemuda eksotis yang sudah menghibur hatinya saat sedih. Nayla juga mengagumi sosok Tegar yang tidak mau pamer dengan keberhasilannya sebagai petani muda saat ini.

Dokter muda cantik itu mengantarkan kopi pada ayahnya. Mereka terlibat diskusi kecil tentang kematian warga yang cukup menyita perhatian. Kedatangan mereka di desa ini selain mengobati rasa sedih kehilangan Nuraini tapi juga membawa keduanya pada pengalaman baru.

Membantu penyelidikan polisi dan mendapatkan pengalaman baru tentang penanganan jenazah bunuh diri mulai dari postmortem (data dan pemeriksaan jenazah) dan ante-mortem (pencocokan data dengan keluarga dan dokter). Sedang asyik berdiskusi, seorang warga desa datang tergopoh gopoh.

"Pak dokter, tolong! Tolongin anak saya dok!" Lelaki bercelana pendek dan kaos oblong putih itu mengiba.

"Kenapa anaknya pak?" Dokter Putra bertanya sembari menghampiri si lelaki.

"Kejang pak dokter! Matanya sampai terbalik, putih semua! Tolong pak dokter, tolongin anak saya!" Lelaki yang berumur sekitar tiga puluh tahunan itu menangis.

"Nay, ambilkan tas ayah!"

Dengan sigap Nayla berlari ke dalam rumah dan keluar membawa serta tas milik ayahnya. Ia juga ikut bersama sang ayah. Ketiganya berjalan dengan cepat menuju rumah berbisik bambu yang berada di ujung jalan sekitar lima ratus meter dari rumah dinas.

"Cepat pak dokter!" Sang istri menyambut kedatangan dokter Putra dan Nayla dengan cemas.

Dari dalam rumah terdengar suara geraman diikuti suara benda jatuh. Dokter putra dan Nayla saling memandang lalu bergegas masuk. Betapa terkejutnya mereka saat mendapati anak lelaki yang sedang merangkak dengan posisi kayang. Matanya terbalik hingga menampakkan warna putihnya saja. Bibirnya terus mengucap kata yang tak jelas meracau, mulutnya pun mulai berbusa.

"Ayah," 

Nayla ketakutan, ia berlindung di balik tubuh sang ayah. Dalam pandangan matanya, anak lelaki itu sedang dirasuki jin jahil berjenis kelamin laki-laki. Jin itu menguasai raganya dan kini tengah menatap tajam ke arah Nayla.

"Kowe sopo? Wani nekani omahku!" (Kamu siapa? Berani datang ke rumahku!)

Nayla semakin menutupi tubuhnya, ia mundur dan menunduk ketakutan. Sungguh jin yang sedang menatapnya itu begitu menyeramkan dengan mata merah, taring mencuat dan hidung yang hanya terlihat lubangnya saja.

"Ayah, Nay takut!"

Dokter Putra bersikap tenang, ia mencoba menangani anak lelaki yang masih dalam posisi kayang itu.

"Nak, siapa nama kamu? Yuk balik badannya nanti sakit kalo kelamaan begini." rayu dokter Putra.

"Aku ora ini urusan karo kowe! Urusanku karo cah ayu neng mburimu, cah ayu sing ambune wangi koyo kembang kantil!" (Aku tidak ada urusan sama kamu! Urusanku sama anak cantik yang ada di belakangmu, anak cantik yang baunya wangi seperti bunga kantil!)

Nayla dan dokter putra saling menatap bingung. Sementara kedua orang tua sang bocah terlihat kalut dan ketakutan. 

"Anak bapak dari kapan begini?" tanya dokter Putra.

"Tadi sepulang dari mushola, kata temannya dia berubah aneh setelah lewat rumah angker itu dokter!"

DEG!

Jantung Nayla seketika lepas dari dadanya, ia menoleh kaku ke arah anak lelaki yang kini dalam posisi siap menerkamnya. "Aku seneng karo kowe nduk!" (Aku suka sama kamu, nak!)

"Ayaaah!"

 

Terpopuler

Comments

A B U

A B U

lanjut

2023-02-17

2

A B U

A B U

mungkin kerasukan demit tuh

2023-02-17

4

A B U

A B U

kok kayak kerajaan demit bae

2023-02-17

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!