Rumah Angker

Nayla duduk di ruang makan menatap lekat kain putih lusuh dan berbau wangi yang ia dapat dari salah satu warga tempo hari. Awalnya ia ragu untuk membukanya tapi kemudian rasa penasaran membawa tangannya untuk mengurai ikatan tali yang tersemat di kain.

Beberapa potong rempah dan tulisan di kertas menyerupai rajah tertentu ditambah dengan serbuk berwarna coklat kehitaman, "Apa ini? Ini kunyit bukan sih, pasir? Ini tulisan apa ya?"

Kening Nayla mengernyit heran, baru kali ini ia melihatnya. Mbok Dar masuk ke dapur dari pintu belakang. 

"Mbak Nayla, lagi ngapain?"

"Hhm, ini saya lagi bingung. Mbok tau ini apaan?"

Mbok Dar mendekat dan terbelalak, "Eh, mbak Nay dapet dari mana ini? Ini namanya sambetan mbak!"

"Ehm, sambetan? Maksudnya gimana?"

"Itu buat sawan, tolak bala, semacam syarat gitu mbak."

"Ooh, harus begini ya? Pake pasir ma tulisan apaan sih ini?"

"Biasanya kalo ibu hamil cukup potongan Dlingo bangle aja mba dipasangin peniti biar nggak diganggu barang halus tapi kalo ini …," mbok Dar berpikir sejenak, "Koyoke (kayaknya) aku tau ngerti, sek mbak saya lihat sebentar boleh?" 

Nayla mengangguk dan membiarkan mbok Dar mengambil tulisan serupa rajah itu. Saat asik mengamati Tegar masuk ke dapur dan mengambil air minum. "Liat apa mbok?"

"Iki lho le, kayak'e simbok pernah liat tulisan beginian tapi dimana ya?"

Tegar mengambil tulisan dari tangan ibunya, lalu mengerutkan dahi. "Ini bukannya, rajah perlindungan dari setan yang ada di rumah mbok?"

"Wah iya, pantesan aku nggak asing! Iya mbak Nayla, itu buat perlindungan setan."

Nayla menatap dengan heran, "Mbok, rumah yang dibuat bunuh diri dua warga itu sebenarnya rumah siapa sih? Kata ibu yang kasih ini ke saya itu punya Wak Dadan?"

Tegar dan mbok Dar saling memandang, "Kenapa memangnya mbak Nay, kok nanyain rumah itu?" Mbok Dar menarik kursi dan duduk di dekat Nayla.

"Saya penasaran aja mbok, rumah itu sedikit … menarik. Dua warga bunuh diri disana, entah kenapa saya merasa ini belum selesai. Masih ada yang akan mati disana."

"Hush, jangan ngomong sembarangan Nay! Kalo ada setan yang lewat terus, setannya setuju sama dugaan kamu gimana?" Tegar menegur Nayla.

Nayla terdiam sejenak menatap Tegar dan mbok Dar bergantian lalu menghela nafas. "Saya … melihat sesuatu disana, saya yakin itu bukan ilusi."

"Maksud mbak Nayla piye? Mbok nggak paham mbak."

"Iya kamu ini bikin bingung aja ilusi apaan?" Tegar menimpali, ia kembali meminum air di gelasnya hingga habis.

"Wanita berkebaya kuning, dia muncul saat mayat pertama ditemukan. Menakutkan memang, tapi …,"

"Oalah mbak Nayla liat demit? Eh, kebaya kuning mbak?" Mbok Dar teringat sesuatu, Nayla mengangguk.

Mbok Dar gugup, ia merebut gelas air dalam genggaman Tegar lalu mengisinya dengan air. "Eh, mbok!" protes Tegar tak dihiraukannya.

"Kebaya kuning? Demit? Astaghfirullah Al adzim, nembang juga mbak?" tanya mbok Dar beruntun, Nayla kembali mengangguk.

"Simbok kenapa sih? Kok kaget gitu?" Tegar dibuat penasaran.

Mbok Dar menghela nafas panjang sebelum bercerita, raut wajahnya ketakutan. Ia lalu menceritakan apa yang menimpanya beberapa hari lalu saat Nayla baru datang ke rumah ini. Sosok wanita berkebaya kuning yang menari di dekat rimbun bambu.

Nayla juga mengingat jelas, ia mendengar lagu yang sama hari itu. Lagu yang selalu terdengar saat sosok itu datang.

...Dewana candra ratri kang rereb...

...Ngacarya jiwa nisun kang kingkin...

...Lolita koripan ndika ing rasa...

...Manunggal carub jeroning atma...

Tegar dan mbok kembali saling memandang saat Nayla melantunkan penggalan lagu Jawa itu.

"Saya dengar lagu itu mbok, lagu itu muncul bersamaan dengan kehadiran wanita berkebaya kuning."

"Mbak Nay, itu juga mbok denger waktu dia ngeliatin diri disana! Aduh kok merinding aku!"

Tegar terdiam, ia memikirkan sesuatu tapi kemudian ia membuka mulutnya untuk bicara. "Mungkin hanya kebetulan saja Nay, nggak usah dihubung hubungkan, bisa aja kan salah?"

"Terus sosok pak Adi? Apa kamu bisa jelaskan kenapa dia datang ke aku malam itu? Aku yakin saat itu sebenarnya pak Adi minta tolong, sayang banget aku nggak paham maksudnya."

"Hmm, entahlah Nay. Aku nggak paham gaib-gaib gitu. Kamu benar sih mungkin ada kaitannya. Tapi untuk sementara lebih baik kita tunggu saja hasil penyelidikan polisi. Aku yakin mereka pasti menemukan sesuatu." 

Obrolan mereka terhenti ketika mendengar suara mobil berhenti di halaman. Dokter Putra kembali dari kota bersama pak Tarmiji.

"Itu ayah datang, Tegar, mbok Dar, saya mohon jangan ceritakan hal ini sama ayah ya. Saya nggak mau ayah jadi khawatir." Keduanya mengangguk tanda mengerti.

Langkah kaki dua orang lelaki dewasa terdengar mendekat, wajah lelah dokter Putra dan pak Tarmiji muncul. Nayla menyambutnya dengan senyuman.

"Capek, Yah?" 

Dokter Putra mengangguk, ia menarik kursi dan ikut duduk di meja makan bersama Nayla dan Tegar sementara mbok Dar membuatkan minuman hangat untuk mereka.

"Apa itu Nay?" tanya dokter Putra yang penasaran dengan kain putih dan benda yang ada diatasnya.

"Sambetan ya?" Pak Tarmiji ikut bertanya.

"Kata mbok Dar begitu," sahut Nayla, ia segera melipat kain kecil itu dan menyingkirkannya. "Ayah dipanggil kepolisian lagi?"

"Iya, kebetulan habis selesai beli alat medis mereka telpon. Ayah mampir sebentar kesana. Kemungkinan besok atau lusa mereka kirim orang ke desa untuk olah TKP lanjutan."

Dokter Putra kembali menceritakan kondisi mayat kedua yang ditemukan tak bernyawa. Keduanya sama-sama gantung diri, tapi untuk memastikan lebih lanjut para penyidik akan turun langsung ke lapangan. Dokter Putra juga mengatakan ada rencana penjagaan rumah angker itu sampai penyelidikan berakhir.

"Walah polisine kurang gawean omah angker kok dijagani opo ora wedi sing jogo!" (Wah polisinya kurang kerjaan, rumah angker kok dijagain apa nggak takut yang jaga!)

Celetuk mbok Dar.

"Ya kan buat jaga-jaga aja mbok, takutnya ini jadi hal latah seperti bunuh diri massal di beberapa negara. Hanya pencegahan saja." sahut dokter Putra.

Nayla diam mendengarkan setiap informasi yang masuk dari cerita ayahnya. Otaknya berpikir hal yang sama dengan para penyidik, masih ada korban lain yang jatuh. 

'Bukan dua tapi tiga orang sudah jatuh, aku yakin Bu Mirah juga memiliki kaitan dengan Sukir dan juga Pak Adi. Tapi apa?'

Hal yang mendasari pemikiran Nayla adalah sosok Adi yang sempat muncul sebelum kematian Bu Mirah. Nayla melihat dengan jelas, sosok Adi menyampaikan sesuatu yang membuat Bu Mirah ketakutan. Bu Mirah meninggal bukan karena ketakutan saja tapi ada hal besar yang ia dan Adi sembunyikan.

"Ehm, pak Tarmiji kenal warga yang menjadi sinden di desa ini?" tanya Nayla tiba-tiba.

"Sinden? Nggak ada sepertinya mbak."

"Kalau penari gimana?"

"Ehm, nggak ada juga." jawab pak Tarmiji yang kemudian diralatnya sendiri. "Eh, tunggu kalo warga sini memang tidak ada yang jadi sinden atau penari tapi kalau pendatang ada."

"Pendatang? Menetap disini?" cecar Nayla lagi.

"Nggak sih mbak, kalau saya nggak salah ingat istri ketiga Wak Dadan itu sinden dan penari di daerah asalnya. Ehm, Brebes kalo nggak salah."

"Uhuuuk …," Tegar tiba-tiba saja tersedak saat minum teh hangat yang baru saja diberikan mbok Dar.

"Pelan to Le, wong masih panas Yo mbok sruput wae!" (Pelan nak, masih panas kok ya diminum aja!) Mbok Dar mengusap punggung Tegar.

"Selak pengen ngombe mbok!" (Keburu pengen minum mbok!)

Nayla kembali bertanya, "Terus sekarang dimana dia pak?"

"Wah nggak tahu juga mbak, setelah Wak Dadan meninggal rumah itu dibiarkan terbengkalai. Usahanya juga jadi rebutan istri-istrinya termasuk yang ketiga ini. Dan kabarnya sih mereka dah pulang ke kampungnya masing-masing bawa harta benda Wak Dadan."

"Ooh, kasian bener nasib Wak Dadan. Kaya bergelimang harta dan istri eh mati kok nggak ada yang peduli gitu." gumam Nayla lirih.

"Wak Dadan bukan orang baik juga Nay, dia dikenal kejam sama orang. Banyak yang nggak suka sama dia. Bahkan istri-istrinya juga didapatkan paksa dari mengancam orang tua mereka katanya." ujar Tegar datar.

"Serius? Wah pantas kalo gitu." ucapan Nayla membuat pak Tarmiji dan yang lain terkekeh.

"Hhhm tadi kasian sekarang malah nyukurin sih mbak?" sindir pak Tarmiji.

Nayla kembali tersenyum simpul, obrolan pun terus berlanjut hingga malam menjelang. 

Rumah angker itu masih bergaris polisi, suasana begitu seram tanpa lampu penerangan sedikitpun. Tak ada warga yang berani melintas meski letaknya di tengah pemukiman desa. Sayup sayup terdengar suara tembang Jawa yang menyayat hati dari dalam rumah. Begitu lirih dan diselingi isak tangis.

Terpopuler

Comments

A B U

A B U

next,

2023-02-16

3

uutarum

uutarum

mungkin.....kah...

2023-01-23

2

Heni Purwati

Heni Purwati

kemungkinan si istri ketiga Wak dadan dibunuh lalu dendam dg membunuhnya orang2 yg telah membunuhnya 🤔🤔🤔

2023-01-15

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!