Nyanyian Kematian

Nayla tiba di klinik sekitar tengah hari. Di halaman depan klinik ada tiga mobil dengan tulisan polisi dan INAFIS telah tiba. Dokter Putra, sang ayah sedang menjamu para tamunya di temani salah satu perawat dan juga pak Agus.

Dua kejadian bunuh diri di tempat yang sama menimbulkan kecurigaan pihak polisi jika hal itu dilakukan orang yang sama. Memang cukup sulit dibuktikan apalagi tak ada bukti pendukung yang memperlihatkan keterlibatan orang lain.

Nayla awalnya tidak ingin bergabung, ia berencana singgah sebentar sebelum melanjutkan tur keliling desa, jemput bola pasien. Dokter Putra memanggilnya dan mengenalkannya kepada para tamu.

"Nay, kamu mau muter?" tanya dokter Putra pada Nayla yang sudah siap dengan tas kerjanya.

"Iya, yah."

"Gimana kalo kamu juga menemani mereka pergi ke rumah tua itu."

"Hah, ke rumah tua?!" Seketika bulu kuduk Nayla meremang, ia takut mengingat pagi tadi ada demit tak sopan yang menyukainya.

"Iya, kenapa? Kamu kan bisa sekalian belajar sama mas-mas dokter forensik ini. Pembelajaran dari ahlinya langsung, kapan lagi ada kesempatan ini."

Nayla menatap tiga orang lelaki berkaos putih dengan tulisan INAFIS di hadapannya, ia tersenyum masam. Hendak menolak tapi sungkan, akhirnya ia menjawab.

"Baiklah, tapi kita berangkat sekarang. Saya nggak mau kesorean!"

Ketiga anggota INAFIS itu saling memandang dan tersenyum, "Oke, saya ambil peralatan dulu. Kita naik mobil aja gimana?" salah satu dari mereka menyahut.

"Boleh, tapi berhenti di satu titik aja ya karena saya juga harus keliling ke rumah warga."

Nayla dan ketiga anggota INAFIS pun pergi di bawah tatapan dokter putra.

"Pak Agus, apa perlu kita ke rumah mas dukun Joko? Saya khawatir sama keselamatan Nayla. Apalagi pagi tadi dia hampir saja terluka." 

"Boleh pak dokter, nanti saya antarkan kesana. Kalo bisa mbak dokter juga diajak."

"Jangan dulu pak, biar saya saja yang kesana sendiri. Nayla sepertinya kurang setuju kalau dia saya bawa ke rumah mas dukun itu." ujar dokter putra yang dibalas anggukan pak Agus.

"Mas polisi gimana, mau reka ulang kapan?" Dokter putra mengalihkan perhatiannya pada empat anggota kepolisian yang berpakaian bebas.

Diskusi pun berlangsung diantara mereka, kebetulan klinik sepi dan tidak ada pasien datang jadi mereka bisa berdiskusi dengan lancar. Pak Agus menawarkan lokasi dekat rumah dinas dokter putra sebagai base camp, dan hal itu disetujui mereka. Jarak kota dan desa terpencil memang cukup jauh jadi lebih baik mereka menginap sampai semua urusan selesai.

Sementara itu Nayla tiba di rumah angker yang masih bergaris polisi. Ketiga anggota INAFIS segera masuk dan mengambil beberapa sampel yang sekiranya dibutuhkan. Meski kemungkinan TKP rusak karena berjalannya waktu tapi mereka tetap berusaha mencari bukti yang bisa saja terlewat saat penemuan mayat kedua.

"Apa nggak terlambat, kok baru sekarang dilihatnya?" tanya Nayla memperhatikan ketiga anggota, mereka sibuk memotret ulang dan memperhatikan dengan teliti lokasi mayat tergantung.

"Tidak ada kata terlambat mbak …," salah satu dari mereka menjawab.

"Nayla, sampai lupa nggak kenalan dulu." sahut Nayla dengan senyum yang dipaksakan. 

"Oh iya, saya Budi dan itu Anton. Kalo yang disana Rizky." Budi mengenalkan rekan yang lain.

Nayla hanya mengulas senyum, sejujurnya ia tak nyaman berada dalam ruangan tak berpenghuni itu. Tubuhnya terasa nyeri, berat dan kepalanya mulai pusing. Sambil menunggu, Nayla memutuskan berputar dan melihat lihat kondisi rumah.

 Ada lima kamar yang terpisah berjauhan. Dua di depan dan tiga ada di bagian belakang. Ruang terbuka di tengah rumah diyakini Nayla dulunya taman, memisahkan tiga kamar yang bisa dibilang mirip kamar penginapan. Masing-masing bersekat seperti rumah kontrakan. Sedikit aneh memang tapi mengingat wak Dadan memiliki tiga istri itu sangat masuk akal.

Nayla melongok ke salah satu kamar. Cukup luas dengan kamar mandi yang dulunya mewah. Ada bathtub dan kloset duduk disana juga dilengkapi pancuran air. Bagi Nayla itu terlalu luas hanya untuk sebuah kamar. Mata batinnya membuka rekognisi kejadian masa lalu, ruangan kamar itu dulu layaknya rumah Harem. 

Kelebatan bayangan lelaki paruh baya dengan kaos oblong celana coklat tanggung dan udeng menghiasi kepala. Untuk ukuran lelaki desa, lelaki itu cukup gagah, tubuh terjaga, wajah lumayan dengan jambang tipis menghiasi wajahnya yang tegas. Matanya teduh dan senyumannya pun manis tapi sayang aura hitam menyelimuti lelaki itu.

Gambaran berpindah dengan tiga wanita yang juga cantik, ketiganya berkulit putih memakai pakaian dan perhiasan yang sama persis. Ketiganya hanya dibedakan oleh selendang dengan warna berbeda.

Nayla terpaku pada wanita berkebaya kuning dengan selendang merah. Ia seperti menatap tajam ke arah Nayla, wajah ayunya nampak sempurna tapi sorot matanya menunjukkan kesedihan mendalam. Dua wanita lain yang semula bercengkrama tiba-tiba saja berhenti dan ikut menatap ke arah Nayla.

Ketiganya berdiri dan perlahan berjalan mendekati Nayla. Sang dokter muda terpaku di tempatnya. Wangi bunga bercampur bau tak sedap menusuk hidung Nayla, ketiga wanita itu tiba-tiba saja sudah berjarak tiga jengkal. Raut wajah mereka pun berubah menyeramkan, penuh darah dengan mata nyalang tak suka dengan kehadiran Nayla disana.

Temani aku disini!

Bisikan suara dari tiga wanita mendengung keras di telinga Nayla. Terdengar seperti kelompok paduan suara yang bernyanyi dalam tempo lambat. Nayla memejamkan mata karena salah satu dari tiga wanita berdiri terlalu dekat dengannya. Nayla dikelilingi tiga wanita yang terus berbisik.

Temani aku mati … temani aku disini!

Nayla menggeleng cepat, ia harus menyadarkan dirinya dari rekognisi masa lalu jika tidak ingatannya akan selalu terjebak dalam dimensi masa lalu dan itu berbahaya. Sekuat tenaga dokter muda itu berjuang untuk menutup penglihatannya, dan satu tepukan di pundaknya membantu Nayla tersadar.

"Mbak dokter! Kamu kenapa?!" 

Nayla membuka matanya dan lega, meski kepalanya kini bagai dihantam godam, pusing sekali. "Saya? Nggak apa-apa kok mas." jawabnya gugup.

"Kita udah selesai nih, yuk katanya mau keliling. Sekalian kita cari informasi tambahan." ajak Budi dengan tersenyum manis.

Nayla mengikuti Budi tapi hawa aneh menyapanya, seperti panggilan yang menggelitik telinga. Ia menoleh ke belakang dan menemukan sosok wanita berkebaya itu menatapnya dengan wajah dingin. Sosok itu berdiri tepat di bawah pohon mangga, dan menoleh ke atas sana. Nayla mengikuti arah sosok wanita itu dan betapa terkejutnya ia mendapati sosok lain serupa monyet yang menyeringai padanya.

"Astaghfirullah Al adzim!"

Nayla sontak berlari mendahului tiga anggota kepolisian yang saling menatap dengan wajah heran. Nayla tak peduli, ia ingin segera pergi dari rumah angker itu.

"Mbak dokter! Lho kok kita ditinggal sih!" Panggil Budi kebingungan.

"Eh, susul deh kayaknya si Nayla liat sesuatu deh Bud!" ujar Anton sembari menoleh ke dalam rumah angker itu.

"Aku rasa juga gitu deh. Gila ni rumah serem juga. Kalian ngerasain nggak sih? Berat badan aku waktu ambil gambar di sana!" keluh Rizky memegang tengkuk nya.

"Hhm, namanya juga rumah lama nggak berpenghuni jelaslah ada sesuatunya. Mana jadi TKP lagi, arwah penasaran, jin yang menyerupai si korban jelas ada disini." Anton kembali menimpali.

"Cepetan susulin tuh dokter Nayla keburu dia ilang pula. Takutnya histeris kan nggak ada yang peluk kasian Bud!" sambung Anton lagi.

Ketiganya tertawa, Budi pun bergegas menyusul Nayla yang berjalan cepat menuju rumah salah satu warga terdekat.

"Mbak, mbak Nayla!" dengan cepat Budi menyamakan langkah dokter muda cantik itu.

"Ada apa sih mbak, kok ketakutan gitu?"

"Ah, nggak! Nggak ada apa-apa kok!" jawab Nayla, jantungnya berdegup kencang membayangkan sosok berbulu yang hampir menerkamnya pagi tadi.

"Ya kalo nggak apa-apa, pelan dong jalannya! Nanti jatuh gimana, ini licin lho abis ujan lagi kan!" Tangan Budi meraih tangan Nayla dan menghentikan dokter muda cantik itu.

Dari jauh kedua rekannya bersiul menggoda Budi, "Weh, main pegang-pegang aja kamu Bud! Awas nyetrum!" 

"Hei, main colong start aja nih! Awas ya jangan ambil kesempatan dalam kesunyian!" timpal Rizky yang tertawa geli.

Nayla menoleh sejenak ke arah dua anggota kepolisian itu lalu menatap Budi. "Mas Budi, kamu ini kenapa …,"

Nayla hendak melayangkan protes karena Budi memegang tangannya tapi kalimatnya terhenti.

Suara burung Kedasih menghentikannya bicara. Ia mencari sumber suara di antara rimbun pepohonan. Tak hanya Nayla, Budi dan kedua rekannya ikut mencari suara yang sebenarnya berbunyi merdu.

"Burung apa itu, bagus banget suaranya." ujar Budi melepas tangan Nayla.

"Gawat, burung Kedasih lagi." sahut Nayla, wajahnya kembali pucat.

"Burung Kedasih? Bagus ya namanya."

Nayla menoleh ke arah Budi, lalu berkata datar. "Kematian, burung Kedasih pertanda kematian akan datang. Dua mayat gantung diri itu ditemukan tak lama setelah burung Kedasih berkicau."

"Hah!!"

Terpopuler

Comments

A B U

A B U

next.

2023-02-20

2

A B U

A B U

korban berjatuhan

2023-02-20

2

🌹*sekar*🌹

🌹*sekar*🌹

sperti dokter Thalia ya..😁

2023-02-03

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!