Korban Ketiga

Sore itu beberapa warga desa ikut keluar rumah memastikan pendengaran mereka tak salah. Para bapak kembali gelisah dan mulai berkumpul di rumah pak Tarmiji, sedangkan para ibu, sibuk memanggil anak-anak mereka untuk pulang ke rumah.

Kicauan burung Kedasih membuat geger warga desa lagi. Ketakutan kembali datang. Hari bahkan belum gelap tapi suasana desa berubah sunyi layaknya tak berpenghuni. Warga desa memilih untuk berdiam diri di dalam rumah dan melindungi keluarganya masing-masing.

"Sepi bener ini desa." ujar salah satu anggota kepolisian yang ikut berkeliling.

"Mereka semua takut mas,"

Nayla bejalan perlahan menyusuri jalan berbatu setelah selesai memeriksa salah satu rumah warga lansia, di dekat hutan.

"Takut kenapa?"

"Mas dengar kan tadi suara kicauan Kedasih? Warga sini percaya burung itu pembawa balak, kematian. Apalagi kemunculannya selalu dibarengi dengan penemuan dua mayat warga yang gantung diri." terang Nayla sambil berjalan berhati-hati.

"Hhhm, mitos yang membuat ketakutan dan ditambah peristiwa yang mendukung. Menarik sih, ini bisa saja dimanfaatkan orang tak bertanggung jawab untuk melakukan tindakan kriminal tanpa dicurigai."

"Saya rasa juga begitu mas, tapi entahlah. Feeling saya mengatakan peristiwa ini sedikit ganjil." 

"Ganjil bagaimana Nay? Apa kamu mencurigai sesuatu?" tanya Budi penasaran.

Nayla menggelengkan kepala, ia tak yakin pemikirannya bisa dipahami oleh Budi. "Ah nggak sih, udah deh lupain! Kita pulang yuk, keburu gelap. Takut kena sawan Magrib!"

Nayla mempercepat langkah kakinya, begitu juga dengan Budi dan kedua rekannya. Tak lama mereka tiba di rumah dinas dokter Putra. Pondok kecil yang berada tepat di samping pondok mbok Dar digunakan para anggota kepolisian untuk bermalam selama beberapa hari.

"Mbok, kerjaannya nambah ya ada tamu!" Dokter putra berkata saat dirinya ke dapur mengambil air dingin.

"Nggih pak dokter, saya malah seneng kok jadi rame." sahut mbok Dar, wajahnya terlihat sumringah.

"Mbok, Tegar kemana kok seharian nggak liat dia?" Nayla bertanya setelah selesai mandi.

"Lagi ke kota sama kelompok tani mbak, ada undangan dari dinas pertanian sekalian kirim barang." 

"Ooh, gitu pantesan." Nayla nampak kecewa, ia sebenarnya ingin menanyakan sesuatu pada Tegar. 

"Mbak Nay mau ngopi juga apa mau teh, ini mumpung air panasnya sudah mendidih." 

"Ngopi deh mbok, kepala saya pusing butuh kafein." 

"Siiiap!" dengan cekatan mbok Dar menuangkan air ke gelas-gelas yang sudah disiapkan. 

Aroma khas teh tubruk bercampur dengan wanginya kopi sungguh menaikkan mood Nayla. Kejadian sore tadi membuat moodnya buruk, ia menanti apa yang akan terjadi besok pagi. Saat berkunjung ke rumah warga terakhir ia mendengar pembicaraan bahwa malam ini warga dibantu aparat kepolisian akan menyisir beberapa tempat.

"Mbok, kok tegang banget ini desa ya? Cuma gara-gara burung Kedasih. Gegernya ngalahin perang aja." Nayla menghela nafas berat.

"Sebenarnya nggak juga mbak, tadinya juga aman-aman aja disini mbak. Tapi semenjak geger lima tahun lalu warga desa sini trauma mbak!"

Nayla mendekati mbok Dar, ia bersandar di tepi lemari. "Lima tahun lalu ada apa mbok?"

Mbok Dar menghela nafas lalu meletakkan sendok bekas pengaduk di wastafel. "Panjang ceritanya mbak, yang jelas melibatkan keluarga juragan Dadan dan juga dokter Arini."

Nayla mengernyit, ekspresi wajah mbok Dar berubah sendu sama seperti kemarin sewaktu ia membicarakan mas dukun Joko.

"Kaitannya apa mbok?"

Mbok Dar celingukan melihat situasi. "Lima tahun lalu dokter Arini menghilang, bersamaan dengan hancurnya juragan Dadan. Kabarnya dokter Arini mau dipinang sebagai istri keempat. Tapi dia keburu hilang tanpa jejak."

Nayla terdiam sejenak, meminum kopinya lalu kembali bertanya. "Mbok, wanita berkebaya kuning itu apa salah satu istri Wak Dadan? Dia selalu menampakkan diri ke saya."

PYAAR!!

"Astaghfirullah!"

Gelas yang dipegang mbok Dar pecah, ia terlihat gugup dan segera membereskan pecahan kaca. Nayla ikut berjongkok membantu membereskan pecahan kaca agar tidak melukai kaki. Tanpa sengaja tangan mbok Dar terkena pecahan kaca cukup besar. Darah menetes cukup banyak dari lukanya.

"Aduh!" 

Mbok Dar menjerit kesakitan, Nayla spontan menarik tangan wanita tua itu dan memeriksanya. Tapi yang terjadi Nayla malah melihat kilasan masa lalu mbok Dar. Nayla terhenyak, ia dibawa masuk ke dimensi waktu dengan cepat.

Mbok Dar bersama wanita muda terlibat perbincangan serius, Nayla tak dapat melihat dengan jelas siapa wanita yang berbicara dengan mbok Dar. Tapi dari caranya berbicara mbok Dar sangat menghormati wanita tadi.

Slide berpindah, mbok Dar memasukkan sesuatu kedalam minuman dan memberikannya pada seseorang yang lagi-lagi Nayla tidak bisa melihatnya dengan jelas. Orang itu terbaring lemah di ranjang. Nayla hanya melihat wajah gugup mbok Dar yang terburu buru meninggalkan ruangan.

Gambaran selanjutnya, adalah pusara bertuliskan nama Dadan Suhada bin Erpan Supandi. Tiga wanita berdiri di pusara itu, lalu semua menghilang. Kepala Nayla terasa pusing, cairan lengket berwarna merah menetes dari hidungnya.

"Walah kok malah mbak Nay mimisan!" Mbok Dar panik, ia menarik tangannya dan bergegas mengambil tisu.

"Tunggu mbak, saya ambil daun sirih!" Wanita paruh baya itu pun bergegas keluar rumah.

Nayla terduduk lemas di lantai, kilas masa lalu mbok Dar membuatnya bingung. Ia menatap wanita itu pergi ke kebun belakang, "Mbok Dar," 

Suara pecahan gelas tadi menarik perhatian yang lain. Dokter putra dan tiga anggota kepolisian melongok ke dapur.

"Nayla! Kamu nggak apa-apa sayang?" Dokter putra dibuat khawatir, tatapan Nayla kosong dengan darah menetes dari salah satu hidungnya.

Nayla menoleh ke arah dokter Putra, lalu terkulai lemas. Yang terdengar selanjutnya hanya teriakan ayahnya yang khawatir, suara mbok Dar, dan juga bunyi derit meja dan sepatu yang saling bersahutan.

Dalam kondisi setengah sadar, Nayla melihat sosok lelaki berwajah pucat yang pernah ia temui. Sosok itu menatap Nayla tanpa ekspresi. 

"Wak Dadan …," gumam Nayla sebelum kesadarannya hilang sempurna.

...*******...

Seorang wanita berjalan gontai membawa seutas tali, menuju ke sebuah tempat. Kabut yang menutupi sebagian jalan desa tak menyurutkan langkahnya untuk berjalan ditengah gelap malam. Rambut wanita itu acak acakan, mata sembab dengan jejak air mata terlihat jelas di pipi. 

Suara tawa wanita terdengar mengiringi langkah wanita berusia tiga puluh tahunan itu. Tawa itu seolah membimbing wanita itu menuju ke suatu tempat.

Temani aku disini …,

Dengan perlahan wanita yang mengenakan daster bunga-bunga selutut itu mengaitkan tali dilehernya. Menatap nanar ke sekeliling lalu melompat, tubuhnya berayun ke kanan dan ke kiri sebelum akhirnya diam membeku. 

Suara tawa itu kembali terdengar diiringi burung Kedasih yang kembali berkicau tak jauh dari pohon mangga yang menjadi saksi bisu kematian wanita malang berdaster bunga bunga.

Sayup-sayup terdengar bunyi kentongan warga yang melakukan ronda didampingi pihak kepolisian. Mereka tak menyadari jika salah satu warganya kembali meregang nyawa dirumah yang sama.

Sosok wanita menyeramkan berpakaian lusuh berada di samping jasad wanita malang yang baru saja bunuh diri dibawah pengaruhnya. Matanya nyalang menatap jasad tak bernyawa, seringai lebar nan mengerikan menampakkan gigi kehitaman, luka jeratan di lehernya meninggalkan jejak kehitaman.

Teman, siapa yang mau menemaniku lagi!

 

 

Terpopuler

Comments

Hana Nisa Nisa

Hana Nisa Nisa

deg degan bacanya

2023-12-30

0

Susanti

Susanti

menarik

2023-07-02

1

A B U

A B U

next,

2023-02-20

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!