Dukun Mesum

Makhluk menyeramkan serupa monyet itu bersiap melompat menerjang Nayla. Sosok yang meminjam tubuh anak lelaki bertubuh kurus jangkung itu nyaris meraih tangan Nayla jika dokter Putra tidak menahannya.

"Ayaaaah!"

Nayla menjerit ketakutan, dokter Putra dan ayah dari anak itu berusaha menghalangi agar tidak melukai Nayla. Mereka dibuat kewalahan karena kalah tenaga. Anak bernama Bowo itu begitu beringas menyerang, kekuatannya melebihi dua orang dewasa.

Sosok yang menumpang itu menggeram menunjukkan barisan gigi yang menyeringai bengis. "Minggir kabeh! Ojo nganggu, cah ayu Iki kudu melu aku!"

(Minggir semua! Jangan ganggu, anak cantik ini harus ikut aku!)

Anak lelaki itu kembali melompat, menyerang Nayla. Tapi mendadak tubuhnya terjengkang ke belakang. Sesuatu menarik dirinya hingga kembali berguling. Kini ia terlihat waspada, bergerak layaknya hewan liar yang mengintai mangsa.

Dari arah pintu muncul lelaki berpakaian serba hitam dan udeng (ikat kepala khas daerah). Tangannya mengarah pada Bowo yang bergerak semakin gelisah. Batu akik yang menghiasi jemari, serta kalung hitam dari lilitan akar menghiasi tubuh lelaki yang menjuluki dirinya dengan sebutan mas Dukun.

Bibirnya bergerak pelan, sesekali menarik nafas dengan berat. Lelaki itu bergerak perlahan mendekati Bowo yang mulai terlihat sangat ketakutan, ia akhirnya berhenti di salah satu sudut ruangan. Meringkuk memohon ampun pada mas dukun.

Tak butuh waktu lama, dukun muda yang bernama Joko itu akhirnya menundukkan sosok dalam tubuh bocah malang yang kini menggelepar dan terkulai lemas. 

"Tolong air putih pak!" pinta pria yang masih berjongkok di samping sang bocah. Ia membacakan sesuatu yang ditiupkan dalam gelas lalu meminumkannya, tak lama Bowo bersuara lirih memanggil ibunya.

"Ayah …," Nayla berbisik hendak bertanya tapi ayahnya meminta Nayla diam.

"Boleh saya lihat kondisinya?" Dokter putra mendekati ibu dan anak yang masih lemas itu.

Lelaki berpakaian hitam itu mundur dan berdiri disamping Nayla, ia melirik sejenak lalu tersenyum samar.

"Matur Nuwun mas, bantuannya" kata ayah si bocah pada mas dukun Joko.

"Lain kali kalo kesurupan manggil aja saya, bukan dokter! Mereka mana tau cara ngobatin beginian!" seru laki-laki itu, matanya kembali melirik ke arah Nayla.

"Nggih, mas Joko. Ngapunten, saya kira tadi Bowo kumat sawan celeng-nya (ayan/epilepsi). Takut kebablasan jadi manggil pak dokter."

Joko tersenyum sinis. Nayla tak menanggapi provokasi dari lelaki yang bau tubuhnya membuat Nayla pusing tak karuan. Terlalu wangi untuk sepagi ini.

"Untung si Slamet kasih tahu saya tadi, coba kalo telat dikit. Wes bablas kuwi Bowo digowo demit neng alas!"  (Udah lewat itu Bowo dibawa hantu ke hutan!)

Ayah Bowo yang baru saja kesurupan itu salah tingkah, ia tersenyum masam dan memilih mendekati dokter Putra. "Anak saya gimana dok?"

"Hmm, baik semuanya normal. Hanya saja setelah kejadian tadi mungkin badannya akan sedikit sakit, nyeri, atau mungkin pegal. Awasi saja dia, saya takut kejadian tadi bisa memicu penyakit lamanya kambuh." 

Dokter putra kemudian menjelaskan kemungkinan yang akan terjadi pada kedua orang tuanya. Ia juga memberi obat untuk berjaga-jaga jika saja penyakit ayan anak itu kambuh. 

"Kita pulang, Nay?" Dokter putra menahan Nayla kembali ke rumah dinas.

Nayla mengangguk, kakinya masih gemetar melihat kejadian aneh tapi nyata di depan matanya. 

"Tunggu!" mas dukun Joko menghentikan langkah keduanya.

"Kamu dokter yang bertugas di klinik?" tanyanya tanpa sopan santun pada Nayla.

"Iya, kenapa? Apa ada masalah?" Nayla tak suka dengan cara Joko menyapanya, sedari tadi ia berusaha menahan diri agar tidak terpancing.

Mas dukun Joko terkekeh melihat ekspresi Nayla, "Mbak ini emang nggak paham atau pura - pura paham ya? Mbak dokter, perlu berhati-hati setelah ini. Saya yakin demit sejenis yang tadi bakal kejar mbak lagi."

"Maksud bapak gimana? Saya nggak paham, ngejar saya untuk apa?" Nayla mengerutkan dahi.

"Mbak itu spesial, mereka suka sama bau tubuh mbak dokter." jawabnya dengan seringai menyebalkan antara genit dan setengah mengejek.

Nayla bereaksi dengan mengendus aroma tubuhnya sendiri. "Oh, maaf mungkin karena saya belum mandi pak! Sudah jangan khawatir habis ini saya mandi deh biar wangi, kalo perlu nanti saya kasih parfum merk termahal yang saya punya. Biar demit, setan, jin, anak jin, nggak bisa lagi cium bau saya!"

"Mbak dokter dikasih tahu malah jawabannya begitu. Terserah mbak saja deh! Asal mbak tahu aja aroma yang saya maksud itu berbeda bukan aroma wewangian yang manusia cium."

Mas Dukun Joko berusaha menjelaskan tapi Nayla malas mendengarkan rincian panjang lebar yang tidak dimengerti olehnya sama sekali. Nayla pun mendengus kesal, "Jadi intinya gimana mas Joko? Waktu saya nggak banyak, maaf tolong diperjelas aja deh saya harus gimana, dan harus ngapain?"

Mas Dukun Joko menghentikan penjelasannya, ia menatap Nayla dan memperhatikan setiap jengkal tubuh Nayla dari ujung ke ujung. "Temui saya nanti malam di rumah, saya bakal ruwat mbak dokter biar selamat."

Nayla terperangah, "Ruwat? Buat apa?"

"Nanti malam saya jelaskan, katanya mbak sibuk, sekarang? Saya tunggu nanti malam. Nggak lama kok dan saya jamin setelah proses ruwat, mbak nggak akan diganggu demit-demit itu lagi." 

Nayla tak menjawab dan langsung pergi meninggalkan tempat itu. Hatinya dongkol mendengar dukun yang sok pintar itu.

"Heh, ruwat katanya? Dia pikir aku bodoh apa gimana? Dasar dukun cabul, mesum! Dikira aku nggak paham apa maksudnya, gila itu dukun!" 

Nayla menggerutu sepanjang jalan, sesekali ia menoleh ke belakang memastikan dukun Joko tidak mengikuti atau mengambil kesempatan untuk memandang tubuhnya dari belakang.

"Dukun edan, gak waras, gila, otak mesum!" umpatnya lagi hingga membuat dokter putra menggelengkan kepala.

"Nay, nggak usah marah-marah gitu siapa tahu dia emang mau nolongin kamu. Niat baik orang jangan dilihat negatif terus."

"Ayah nggak liat apa tadi dia gimana merhatiin Nayla dari atas sampai bawah?! Itu bukan tawaran yang bisa masuk logika Nay, ayah!" Nayla menarik nafas sejenak melegakan kemarahan di hatinya. "Nay percaya hal seperti itu ada tapi Nay nggak suka cara itu dukun! Titik!"

Dokter Putra kembali menggelengkan kepala dan mereka pun melanjutkan perjalanan pulang. Sesampainya di rumah mbok Dar sudah menyiapkan sarapan yang kesiangan. 

Setelah dokter Putra memberi kabar kepada perawat jaga di klinik jika dirinya dan Nayla terlambat datang, keduanya pun makan dalam diam, pikiran Nayla tertuju pada perkataan sosok yang menginginkan dirinya. Ia bertanya tanya apa yang dimaksud sosok berbulu yang menyeramkan itu.

"Tadi Bowo katanya kesurupan ya mbak?" Mbok Dar bertanya sambil membersihkan piring kotor.

"Katanya sih begitu mbok, saya baru kali ini liat orang kesurupan gitu." jawab Nayla lirih. Ia masih terduduk di meja dan memainkan gelasnya.

"Mbok, apa simbok tahu mas Joko? Dia beneran dukun ya, ngerti barang-barang halus gitu?" tanya Nayla penasaran.

Mbok Dar membersihkan tangannya, lalu duduk di sebelah Nayla. "Mas Joko? Siapa yang nggak kenal dia mbak, di desa ini? Dia itu dianggap wong pinter, yang dituakan meskipun umurnya lebih muda dari simbok, dan yang paling sakti."

"Oh Ya?" ekspresi Nayla datar mendengar jawaban mbok Dar.

Wajah tua wanita itu memperhatikan Nayla dengan seksama, "Mbak Nay sebaiknya menjauh dari dia. Tadi mbak ketemu kan sama lelaki mesum itu?"

"Nah kan, bener yang Nay bilang!" Nayla seketika mengubah posisi duduknya, ia menatap mbok Dar dengan serius.

"Saya juga curiga dia tuh dukun cabul, dukun nggak bener! Masa dia minta saya datang ke rumahnya mbok. Buat diruwat katanya!" 

Mbok Dar menghela nafas berat, matanya membayang, menatap sendu Nayla. "Sebaiknya nggak usah mbak,"

"Iya, saya juga dah nolak kok." Nayla memperhatikan perubahan raut wajah mbok Dar. 

"Simbok pulang dulu ya mbak, mau anter makan buat Tegar di kebun." Wanita berusia enam puluh lima tahun itu berlalu pergi meninggalkan Nayla sendiri.

"Aneh, ada apa sama mbok Dar? Kok jadi sedih gitu ya, perasaan tadi biasa aja atau cuma perasaanku?"

Nayla mengabaikan perasaannya dan bersiap pergi ke klinik bersama sang ayah. Sementara itu di pondok kecilnya mbok Dar terisak di dalam kamar dengan memegang selembar foto usang. Berkali kali ia mengusap foto dan terisak. Satu penyesalan besar mengganjal di hatinya. Kesalahan masa lalu yang menjadi momok dalam hidup mbok Dar.

"Maafin simbok ya, simbok salah, simbok yang jahat."

Terpopuler

Comments

A B U

A B U

next

2023-02-20

1

A B U

A B U

ada kesombongan jin kafir di balik kata-kata dukun itu

2023-02-20

1

irva 😍

irva 😍

iya, udah dimaafin mbok 😂😂

2023-01-23

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!