Adi Ditemukan

Kematian Bu Mirah di depan mata Nayla membuatnya shock, ini kali pertama semenjak dirinya menjadi dokter muda seorang pasien mati didepan matanya. Nayla gemetar, ia beringsut mundur perlahan setelah menutup jasad Bu Mirah dengan selembar kain Jarik.

Tegar, menyentuh bahu Nayla. Menguatkan Nayla yang ikut terguncang dengan kematian Bu Mirah. Matanya basah dan tak bisa mengucap kata. Ia merasa tak berdaya, pikirannya kalut dan kembali mengingat kematian Nuraini. Nayla duduk diam menatap lalu lalang warga yang kini disibukkan dengan urusan jenazah dengan mata kosong.

"Nay," Tegar kembali menyentuh bahu Nayla, "Ikut aku yuk?!"

Nayla mendongak perlahan, "Kemana?"

"Udah, ikut aja." Tegar menarik tangan Nayla, meminta ijin pada pak Agus dan beberapa warga untuk menyelamatkan Nayla keluar dari suasana tak nyaman di kediaman Bu Mirah.

Tegar membawa Nayla berjalan di kebun milik warga, sesekali ia menyapa warga yang masih bekerja di ladang. Ada juga yang hendak pulang karena mendengar kabar kematian Bu Mirah. Melihat Nayla masih melangkah dengan malas Tegar pun kembali menarik tangan Nayla.

"Bantu aku sebentar yuk,"

Nayla tak kuasa menolak, tanpa banyak bicara ia mengikuti Tegar. Mereka menyusuri kebun wortel dan tiba di sebuah tempat yang terdiri dari tiga bangunan rumah kecil. Dua orang ibu dan empat pemuda desa sedang mencampur serbuk kayu, serbuk padi, kapur, dan serbuk jagung. 

"Lho mas Tegar, tumben datang kesini biasanya ngabarin dulu." sapa salah satu ibu sambil memasukkan campuran berbagai macam serbuk itu ke dalam plastik.

"Iya Bu, ini ngajakin mbak dokter biar nggak sedih mulu."

"Eeh ini ya dokter cantik yang sekarang kerja di klinik desa? Wah ayu tenan, pantesan mas Tegar lali cek gawean!" sahut yang lain cekikikan. (Wah memang cantik banget, pantas saja mas Tegar lupa ngecek kerjaan!)

Nayla tersipu, ia duduk dekat salah satu ibu yang memakai kaos ungu. "Awas mbak dokter, kalo nggak biasa nanti gatal lho!"

"Nek gatel ono mas Tegar kan iso nggaruk!" goda pemuda yang sibuk bermain dengan campuran serbuk. (Kalo gatal ada mas Tegar kan bisa nggarukin!)

"Heleh, malah nggodani aku iki piye to? Wis bar gaweane?" (Heleh, malah godain aku itu gimana? udah selesai kerjaan nya?) protes Tegar yang ikut berjongkok di depan gundukan sekam. Tangannya mengambil sampel serbuk dan memeriksanya.

"Siip, pas campurane! Udah dipanen belum hari ini?" (Siip, udah pas campurannya!)

"Ya belum mas, kita lagi siapin media tanam dulu."

"Ya udah biar saya sama Nayla aja yang panen Bu!"

Tegar kembali menarik tangan Nayla, mereka masuk ke salah satu rumah, mata Nayla pun terbelalak. "Wah cantik banget!"

"Iya dong kayak kamu kan?"

"Iih, nggak banget deh gombalannya." Nayla memukul ringan tangan Tegar.

Tegar memberitahu cara Nayla memanen jamur tiram yang benar. Dibawah pengawasan Tegar, Nayla memetik jamur pilihan dengan hati-hati. Wajah Nayla yang semula sedih berubah ceria lagi.

"Ini semua punya kamu?" Tegar mengangguk. "Wah nggak nyangka lho, kirain kamu cuma bantu-bantu mbok Dar aja. Keren lho."

"Bantu simbok sesekali aja, lagian disini aku juga dibantu sama mereka." jawab Tegar menunjuk ke arah ibu-ibu dan pemuda yang masih sibuk membuat media tanam.

"Oh, gitu. Udah lama kamu budidaya jamur begini?"

"Hmm, lumayan. Sejak pulang dari kota, ya … sekitar tiga tahunan. Bukan cuma disini, kamu lihat kebun kol sama kentang disana?" Tegar menunjuk ke sisi kanan mereka.

"Waah, itu punya kamu juga? Hebat!"

"Bukan! Punya juragan sayurlah, orang cuma nunjukin doang!" sahut Tegar terkekeh geli.

"Eh, sialan kamu! Kirain beneran punya kamu! Sebel iiih!" Nayla dibuat gemas dan mencubit perut Tegar.

Mereka tergelak dan kembali bercanda menggoda satu sama lain. Nayla kembali tersenyum dan Tegar juga bahagia karena bisa menghibur gadis cantik yang duduk disebelahnya.

"Makasih ya, kamu dah bikin aku ketawa lagi." 

Tegar tersenyum dan menghela nafas, "Kamu tahu nggak Nay, selalu ada momen pertama dari kegagalan. Ini kali pertama kamu gagal menangani pasien?"

Nayla mengangguk, Tegar kembali tersenyum lalu kembali berkata. "Kamu nggak gagal kok, tapi memang takdir yang berkata lain. Kamu sudah berusaha menolong tapi kembali lagi hidup dan mati seseorang ada ditangan Sang Pencipta."

"Kamu tahu nggak, aku merintis usaha ini juga awalnya gagal. Tapi aku nggak nyerah, dari gagal itu aku berusaha lagi dan lagi hingga akhirnya aku berhasil ngembangin usaha, punya karyawan lagi."

"Kamu juga harus gitu, gagal hari ini bukan berarti kamu dokter yang tidak berguna. Nyawa itu titipan Nay, kamu hanya ditugasi untuk merawat, memelihara, menjaga, dan mengobati. Aku yakin dari sini kamu semakin paham dan mengerti tentang banyak hal, kemampuan kamu bakal berkembang dan kamu bakal jadi dokter hebat."

Nayla menatap penuh takjub pada pemuda desa yang baru saja menyemangatinya. "Wah, aku terharu. Makasih Tegar, nggak ngira kamu sebijak ini."

"Hhhm asem, makasih doang sepa!"

"Terus maunya gimana?" 

Tegar melirik pada gadis ayu yang kini menatapnya dengan mata membulat, ia menertawakan pikirannya yang bergerak liar saat menatap bibir menggemaskan Nayla.

"Udah yuk balik, kamu kelamaan ninggalin klinik. Banyak pasien yang nunggu nanti!"

Nayla mengangguk, ia kembali bersemangat. Tegar berhasil menaikkan kembali mood-nya yang kacau karena kematian Bu Mirah. Setelah berpamitan dengan karyawannya Tegar mengantar Nayla kembali ke klinik. Sesekali ia berhenti karena permintaan Nayla yang baru kali ini melihat dengan jelas pemandangan indah dari desa kecil dilereng gunung.

Tak terasa mereka hampir tiba di klinik. Dari kejauhan kerumunan warga sudah mulai terlihat. Tegar dan Nayla saling memandang. 

"Tumben rame bener," Nayla sedikit heran dengan kerumunan warga desa. Selama hampir satu bulan Nayla bekerja di klinik belum pernah ia melihat antrian sebanyak itu.

"Masa iya sakit berjamaah." Tegar menimpali. "Eh, ini bau apa ya?" Pemuda itu mengibas ngibaskan tangannya, berharap aroma tidak sedap menghilang.

"Nggak tau juga, ada bangkai hewan kali." 

Keduanya pun mendekati warga, rasa penasaran meliputi keduanya. 

"Nah itu mbak Nayla datang." suara mbok Dar terdengar dari kerumunan warga.

"Ada apa ini mbok, kok rame begini? Siapa yang sakit?" Nayla bertanya tapi tak ada yang menjawab, mereka hanya saling memandang.

Warga yang semula berkerumun membelah memberi jalan bagi Nayla dan Tegar. Mata Nayla tertuju pada sesuatu yang tergeletak di tanah dengan kain bekas gorden yang lusuh menutupi. Bau busuk menyengat kembali tercium.

"Ada yang bisa jelasin apa ini?" Nayla menatap warga satu persatu menunggu penjelasan.

Salah satu warga mendekat dan membuka kain penutup. "Kami menemukan mayat Adi, dokter."

"A-adi?" lutut Nayla seketika lemas.

Nayla memperhatikan jasad yang mulai bengkak dan membiru dihadapannya. Wajahnya sepintas mirip dengan sosok Adi yang ditemuinya, peci dan sarung yang dikenakannya pun sama.

Dilihat dari kondisi mayat, Nayla memperkirakan jika Adi meninggal tiga hari yang lalu. Tepat di malam yang sama saat ia datang menemui Nayla. 

"Dimana bapak-bapak menemukan mayat pak Adi?"

"Eehm, itu mbak dokter. Dia kami temukan di … rumah kosong kemarin."

"Hah, rumah kemarin yang dipake Sukir kendhat (bunuh diri)?" Tegar bertanya cepat, diikuti anggukan yang lain.

Nayla masih menatap nanar ke arah jasad Adi yang menyedihkan. Tali yang masih melekat di lehernya jelas menunjukkan Adi bunuh diri sama halnya seperti Sukir. 

"Hubungi polisi secepatnya. Aku rasa kematian mereka berhubungan."

Terpopuler

Comments

Hana Nisa Nisa

Hana Nisa Nisa

suka

2023-12-30

1

mas pram

mas pram

Thor keren nya ndak umum 👍👍👍👍

2023-06-02

1

A B U

A B U

next.

2023-02-16

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!