Geger Pagi

Nayla gemetar tapi ia berusaha mengontrol dirinya. "Ini ilusi, ini cuma bayangan ketakutan ku," 

Sekuat tenaga Nayla melawan sosok mengerikan yang eksis di hadapannya. Ia memejamkan mata, meyakinkan diri jika hal itu tak nyata dan berdoa pada sang Khalik. Saat ia membuka mata kembali sosok itu hilang!

"Nayla!" Dokter Putra memanggil.

"Iya," Nayla segera mendekati sang ayah, membantu sebisanya.

Dokter Putra sedikit membuka mulut Sukir, memeriksa kemungkinan racun yang masuk. Nayla membantu ayahnya memiringkan tubuh bujang lapuk nan malang itu. 

"Cairan mani cek, feses cek, lalu … ehm, semua normal." Ayahnya menuliskan laporan awal sementara di sebuah kertas.

"Longgarkan talinya!" pinta dokter Putra pada pak sekdes yang ikut hadir.

"Tidak ada lebam akibat cekikan atau sejenisnya. Luka luar menampakkan jeratan tali tambang." Nayla melakukan hipotesa. "Waktu kematian dibawah dua belas jam." 

"Hmm, baiklah sepertinya memang murni bunuh diri. Semoga saja begitu." Dokter Putra menyelesaikan catatannya tepat disaat kepolisian datang.

Nayla menyingkir dan menyerahkan semua urusan pada ayahnya. Ia mengintip dari balik jendela tak berkaca, kerumunan warga memenuhi jalanan. Bisik-bisik warga terdengar sampai ke telinga Nayla.

"Kendhat kok neng kene to si Sukir! Tambah medeni wae iki omahe!" ( bunuh diri kok disini si Sukir! Tambah menakutkan aja ini rumahnya!)

"Ho oh Yu, aku sengsoyo wedi liwat kene lho!"

(Ho oh Yu, aku jadi tambah takut lewat sini!)

Ketakutan warga terlihat jelas dari sebagian warga yang berkerumun disana. Nayla memperhatikan satu persatu orang-orang yang berdiri di barisan paling depan. Seraut wajah wanita yang menerobos kerumunan menarik perhatian Nayla. 

Wanita berusia sekitar tiga puluhan tahun berkaos putih ketat dengan leher V-neck yang memperlihatkan belahan dada aduhai miliknya. Wajahnya terlihat sedih, pucat dan bermata sembab. 

"Wanita itu sepertinya kenal korban, dia gugup, menggigit bibir bawah, dahinya berkerut terlihat tegang, sudut bibir ditarik ke bawah." Nayla bergumam sendiri.

"Kamu bisa baca ekspresi orang?" suara Tegar mengagetkannya.

"Eh, kapan kamu datang?"

"Dari tadi juga disini, kamu aja yang nggak liat." sahut Tegar yang berdiri di luar, jendela tanpa kaca itu membatasi dirinya dan Nayla.

"Oh, kamu tahu siapa dia? Yang pake kaos putih sebelahnya ibu-ibu kerudung hitam itu." 

"Ooh, itu mbak Sundari. Kenapa?"

"Kelihatannya dia kenal sama korban. Dia istrinya?"

"Wah keren kamu, belum aja sehari udah tahu aja siapa mbak Sundari! Iya kabarnya sih dia sama Sukir pacaran, tapi nggak tahu juga sih orang nggak pernah melihat mereka jalan. Maklum di desa kalo pacaran suka malu malu meong!" Tegar cengengesan, jawaban pemuda berkulit eksotis itu membuat Nayla tergelak.

"Hhm, malu malu meong tau tau bunting!"

"Iiish kamu kalo ngomong to the point, tapi bener."

Keduanya terkekeh geli, dokter Putra yang sedang berbicara dengan petugas melirik ke arah putrinya dan menggelengkan kepala. 

"Nayla!" ia memanggil putrinya, Nayla sontak gugup dan bergegas mendekat.

Dokter Putra dan Nayla beserta tim kepolisian berdiskusi tentang sesuatu. Tegar memperhatikan dari jauh, wajah cantik Nayla yang dipoles make up natural, rambut yang diikat sederhana membuat beberapa helai rambut menjuntai ke depan wajah. Nayla sempurna, dimata Tegar.

Tiba-tiba saja terjadi keributan di luar pagar, seorang laki-laki sedang memaki Sundari yang ditarik kasar hingga terjerembab ke tanah. Makian dan umpatan kasar ditujukan pada wanita yang kini menangis. Tegar berjalan mendekat berusaha mencegah lelaki bernama Sarno itu agar tidak bertindak lebih kasar lagi.

"Hei, nggak malu kamu memukul perempuan! Di dalam sana ada pak polisi, minta dibui?"

"Halah, ora usah melu-melu kowe! Iki urusanku karo Sundari!" (Halah, nggak usah ikutan kamu! Ini urusanku sama Sundari!)

"Emang kenapa mbak Sundari?!"

"Dia ini s**ndal nggak tahu diuntung, aku udah kasih banyak ke dia malah dia ada main sama Sukir!" mata Sarno melotot menahan amarah.

"Ya tapi nggak main kasar gitu dong, kalian kan bisa ngomong baik-baik! Lagian tuh Sukir didalam udah mati, apa jangan-jangan …,"

"Hah, sopo sing mati! Sukir? Kawus, rasakno! Padahal meh tak pateni dhewe jebul pinter kendhat dhewe!"

(Hah, siapa yang mati! Sukir? Syukurin, Rasain! Padal mau aku bunuh sendiri ternyata pinter bunuh diri sendiri!)

Sarno tertawa terbahak bahak, membuat orang-orang disekitar mencibir. Tegar tak menanggapi, ia membantu Sundari berdiri.

"Mbak pulang aja, daripada nanti terjadi sesuatu yang nggak diinginkan." Sundari mengangguk, Tegar lalu meminta salah satu hansip untuk mengantarkan Sundari kembali ke rumahnya.

Sarno masih berdiri di tempatnya, memperhatikan ke dalam rumah. Seringai sinis menghiasi wajahnya sebelum beranjak pergi sambil mengumpat Sukir. Keributan kecil itu cukup menarik perhatian petugas dan berimbas pada Tegar. Ia diminta mengantarkan salah satu petugas ke rumah Sundari.

Matahari tergelincir jauh dari titik tertingginya, Nayla menyeka keringat yang menetes. Satu persatu tanpa ditemani Tegar, Nayla mengunjungi rumah warga desa. Harusnya siang ini semua tugas selesai tapi karena kejadian menggegerkan pagi tadi semuanya berantakan.

"Diminum dulu dok, capek ya keliling kampung?" Ibu muda sambil menggendong bayinya menyodorkan segelas air dari kendi tanah.

Nayla tersenyum dan segera meminum, ia memang kehausan. Meski tidak terlalu terik lagi tapi berjalan dari satu rumah ke rumah lain cukup membuatnya kelelahan.

"Makasih ibu," Nayla meletakkan gelasnya lalu bertanya lagi. "Bu, rumah yang di tengah perkampungan itu memang nggak dihuni orang lagi ya?"

"Rumah yang buat Sukir gantung diri?" Nayla mengangguk, ibu muda itu menyerahkan bayinya pada sang nenek sebelum menjawab 

"Iya dok, ada kali hampir empat tahunan kayaknya sih."

"Ooh, emang penghuninya kemana Bu? Saya lihat masih banyak perabotan ditinggal disana. Sayang banget, masih bagus juga kayaknya sih."

"Itu rumahnya Wak Dadan, dia juragan sayur tadinya dok. Istrinya aja sampai tiga lho. Tapi entah gimana gitu, Wak Dadan meninggal katanya sih sakit tapi kita nggak pernah denger sakitnya apa. Kata orang-orang kena teluh!" 

"Teluh? Duh serem juga ya?" Nayla jadi teringat sosok wanita berkebaya kuning yang menyapanya tadi.

"Ehm, disini ada yang bisa nari Jawa Bu?"

"Nari Jawa? Siapa ya, saya belum pernah denger sih dok. Kebanyakan disini kalo nggak ngebon ya ngangon sapi apa kambing." jawab ibu itu lagi, ia kembali menuangkan air untuk Nayla.

"Cicipin dok, makanan desa." Nayla mengangguk dan mengambil gemblong yang digoreng, masih hangat dan rasanya gurih. Ini kali pertama Nayla memakannya.

"Memangnya dokter mau belajar nari Jawa?"

"Ah bukan, saya cuma penasaran soalnya kemarin saya dengar orang nembang. Kirain ada yang buka sanggar disini." Nayla menjawab dengan seulas senyum masam.

"Hah, nembang?" Ibu muda itu celingukan ke kanan dan ke kiri seperti ketakutan. Nayla jadi ikut meniru gerakan sang ibu.

"Ssst … jangan keras-keras dok, kapan dokter dengar itu?"

"Ehm, kemarin sore waktu hujan gerimis itu Bu."

Wajah si ibu pucat pasi, ia bergegas masuk meninggalkan Nayla yang kebingungan di teras tapi tak lama ia pun keluar bersama seorang wanita tua.

"Dokter sebaiknya cepetan pulang, jangan sampai sore mendata warganya!" ujar wanita tua yang datang bersama ibu muda tadi.

"Ada apa ini, kok tiba-tiba …,"

"Udah dok jangan banyak tanya, pamali!" Wanita tua itu kembali menoleh kanan dan kiri. "Ini, bawa buat jagain dokter. Abis ini langsung pulang ke rumah aja jangan kemana mana!"

Nayla menerima bungkusan putih dari wanita tua itu, sedikit heran tapi ia enggan bertanya lagi. Merasa diusir secara halus Nayla pun segera berpamitan. Sepanjang jalan pikiran Nayla terus bertanya tanya, ia tak bisa berhenti memikirkan tingkah dua warga desa yang aneh itu.

"Nay,"

Satu tepukan di bahu membuat Nayla terkejut, Tegar muncul tiba-tiba dari belakang. "Serius bener, mikir apa dokter Nayla?"

"Kamu bikin kaget aja. Darimana?"

"Rumah mbak Sundari, nganter pak polisi. Maaf ya batal acara aku nganterin kamu keliling kampung." 

"Nggak apa-apa, lagian cuma muter doang nggak bakal tersesat juga."

"Aku paling yang tersesat," sahut Tegar yang membuat Nayla mengernyit, "Dihati kamu!" sambung tegar cengengesan.

"Gombal!" Nayla terkekeh, keduanya kembali meneruskan obrolan hingga tak terasa tiba di rumah dinas.

Malam semakin kelam, hembusan angin meniup dedaunan bambu yang rimbun. Saling bergesekan membuat barisan irama indah dan sekaligus menyeramkan.

Seorang wanita berlarian tanpa alas kaki, ia terus berlari dan berlari membelah malam. Wajahnya begitu tirus, pucat dan dihiasi luka memar bekas pukulan. Darah kering masih menempel di sudut bibirnya.

"Tolong, tolong aku!" teriaknya dengan suara serak, ia kehabisan nafas.

Kondisi tubuhnya yang kekurangan cairan membuatnya tak mampu lagi berlari. Ia jatuh terjerembab, wanita itu terus berusaha menyeret tubuhnya. Berkali kali ia menengok ke belakang, hingga akhirnya.

"Kena kau!"

"Aaargh!!" suara wanita itu terdengar pilu memecah kesunyian malam.

Tubuhnya ditarik paksa oleh lelaki berbadan kekar, yang dengan mudahnya memanggul si wanita. Wanita itu terus meronta hingga satu hantaman keras membuatnya pingsan.

Seseorang tolong aku!

 

 

Terpopuler

Comments

A B U

A B U

next.

2023-02-13

2

uutarum

uutarum

jangan2 dr. Arini

2023-01-21

2

Sintya Nayla

Sintya Nayla

semangat mba say semoga selalu lancar.....sukses tu mu

2023-01-18

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!