Burung Kedasih

Malam merambat dengan cepat, Nayla duduk di teras bersama mbok Dar dan juga Tegar. Hujan sudah berhenti turun menyisakan cahaya rembulan yang mengintip malu dibalik awan hitam yang tersisa. 

"Dingin ya mbok, disini sering hujan?" Nayla membuka obrolan.

"Lagi musimnya aja mbak, disini hujan nggak hujan tetep adem hawane!" sahut mbok Dar meminum kopi hitam yang di tuangkan ke piring kecil.

Nayla tersenyum, sudah lama dirinya tidak berinteraksi dengan orang seperti sekarang ini. Semenjak kematian ibunya, hubungan Nayla dan Putra terasa berjarak. Tak ada lagi kehangatan dan senyuman di wajah Putra. Sore tadi adalah kali pertama ayahnya bisa tersenyum lepas.

Tegar yang sedari tadi memperhatikan Nayla dibuat takjub dengan senyuman gadis cantik yang duduk di hadapannya. Tak ada wajah pucat dan tatapan bingung yang siang tadi diperlihatkan saat mereka berkenalan.

"Besok aku ajak kamu keliling kampung mau? Sekalian ngenalin sama warga, ada dokter baru disini." ajak Tegar penuh semangat, Nayla pun mengangguk setuju.

"Mbak Nay, saya ke dapur dulu mau bikin mie nyemek. Mbak sama pak dokter belum makan lho dari tadi." 

"Iya mbok, makasih ya."

"Kamu jagain mbak Nayla, ojo mbok tinggal lho le! Simbok tak masak selak malem, mesakno pak dokter." Mbok Dar meninggalkan keduanya.

Nayla tersenyum dan menatap mbok Dar sejenak. "Ibu kamu penyayang banget ya, seneng liatnya."

"Iya, saya bersyukur punya ibu seperti simbok. Kamu juga boleh kok anggap simbok ibu kamu." Tegar tersenyum simpul setengah menggoda Nayla yang ikut tertawa kecil.

"Kalo bapak kamu kemana?" 

"Bapak, sudah meninggal sejak aku kecil. Sakit."

"Oh, maaf ya. Jadi kamu besar sama simbok aja sampai sekarang?" Nayla bertanya lagi dan Tegar pun mengangguk.

Keduanya terdiam kemudian, sibuk dengan pikiran masing-masing dengan kenangan orang terkasih. Nayla dengan kenangan Nuraini dan Tegar membayangkan bagaimana rupa bapaknya. 

"Tegar, boleh nanya nggak? Sore tadi … apa ada orang yang punya hajatan di sekitar sini?" 

"Hajatan? Setahuku nggak ada Nay, ini kan bulan Suro masyarakat disini percaya kalo ini bulan penuh pantangan. Nggak baik buat adain keramaian." terang Tegar sambil berdiri dan berpindah posisi duduk.

Nayla termenung, '*k*alau bukan hajatan terus tadi bunyi apa ya?' batinnya bertanya tanya.

"Lho kok malah bengong abis nanya, ada apa emangnya?"

"Ehm, nggak kok mungkin cuma perasaanku saja. Tadi sore aku dengar sesuatu tapi aku juga nggak yakin sama yang aku dengar."

Tegar mengernyit, "Wah, kok aku curiga nih. Kamu dengar …," kalimat Tegar berhenti seketika saat terdengar suara burung Kedasih bersiul dari arah pepohonan tak jauh dari rumah dinas. 

Ekspresi Tegar berubah, suara burung itu terdengar menyeramkan untuknya. Nayla juga merasakan kengerian yang tak biasa. Baru kali ini ia mendengar suara burung terasa menyeramkan. Seketika ia merasa tak nyaman.

"Itu burung apa, kok serem bener?" Nayla mendekati Tegar, bulu halus diseluruh tubuhnya meremang.

"Kedasih, pertanda buruk. Kematian!" sorot mata Tegar berubah, yang semula ramah menjadi dingin dan menyimpan misteri.

"Kematian? Aku baru tahu."

"Udah lama burung itu nggak kedengaran, terakhir waktu dokter Arini menghilang."

"Dokter Arini?" dahi Nayla kembali berkerut.

"Iya, dokter sebelum kamu dan ayah kamu datang. Dia juga tinggal disini."

"Waduh, kok serem sih." Nayla spontan merapatkan tubuhnya ke tubuh Tegar membuat pemuda itu terkekeh.

"Eeh, kenapa jadi kayak kena lem gini? Awas lho nggak bisa lepas nanti?" godanya pada Nayla membuat wajah gadis itu merona.

"Kamu niih, aku takut! Ini pertama kali aku dengar suara burung itu. Rasanya serem bener eh ditambahin cerita kamu kan jadi tambah serem!" rajuk Nayla, tangannya terasa dingin dan mulai basah karena gugup.

"Maaf deh, tapi emang baru kali ini burung itu kedengaran lagi. Aku jadi khawatir bakal ada kejadian besar lagi. Semoga saja nggak deh."

Suara burung itu kembali terdengar, begitu nyaring dan membelah kesunyian malam. Beberapa warga akhirnya keluar dari rumah dan berkerumun di depan rumah pak RT. Mereka mengkhawatirkan kondisi yang sama seperti lima tahun lalu. 

"Pak RT, gimana ini apa kita ronda aja deh keliling kampung?" usul salah satu warga yang memakai topi rajutan hingga menutupi kedua telinga.

"Iya pak RT, jaga-jaga takut ada kejadian lagi kayak dulu!" warga yang lain menimpali.

"Tenang semuanya, jangan panik dulu. Mari kita berdoa semoga tidak ada kejadian seperti dulu lagi." Pak RT bernama Tarmiji itu menenangkan warganya yang mulai resah.

Kejadian lima tahun lalu cukup membuat desa mereka ditakuti apalagi berita yang beredar juga simpang siur sehingga banyak yang takut untuk datang membeli sayuran. Desa ini terkenal sebagai sentra penghasil kol dan kentang terbesar kedua, isu yang tak bertanggung jawab mengakibatkan desa mereka mengalami kemunduran ekonomi.

Burung Kedasih kembali menunjukan keangkuhannya berkicau dimalam hari. Warga yang berkumpul pun terdiam, mereka saling memandang dan menyentuh tengkuk yang meremang.

"Walah, tambah bengi tambah memedenkan!" celetuk salah satu warga.

"Hasyeem, merinding Iki bulu romaku!" yang lain meraba tengkuk dan merapatkan jaketnya.

Pak RT Tarmiji menggelengkan kepala melihat tingkah warganya. "Ya udah, kita muter deh, bawa senter sama kentongan juga! Kita kumpul di pos ronda setengah jam lagi!"

Instruksi pak RT langsung dilaksanakan warganya dengan cepat. Mereka kembali ke rumah masing-masing mengambil peralatan ronda.

"Pak, aku takut sendirian dirumah!" rengek Bu RT yang keluar setelah warga lain pergi.

"Ccck, ibu ini kan ada si Slamet dia bisa jagain ibu! Udah SMA juga masa iya nggak bisa jagain keluarga? Lagian kayak apa aja pake takut." 

"Tapi," 

"Udah, masuk!"

Pak RT berhenti sejenak dan menoleh ke belakang. Ia merasa ada yang memperhatikan dirinya dari balik pohon Kelengkeng di seberang rumahnya. 

"Siapa disitu?" teriaknya lantang.

Tak ada sahutan, pagar hidup dari tanaman Soka Jawa terlihat bergoyang goyang. Pak RT terkesiap, jantungnya mendadak berdegup kencang. Tapi kemudian ia lega karena seekor kucing keluar dari rerimbunan soka Jawa.

"Oalah kucing, aku kira apa!"

Pak Tarmiji masuk kedalam rumah, meninggalkan sosok yang sejatinya memang bersembunyi di balik pohon. 

"Nyaris aja ketauan! Sialan nih kucing bikin aku kaget! Payah, aku harus nunggu lebih malam lagi kalo gini caranya! Semoga Sundari mau nungguin aku, wes kangen tenan aku sama dia!" lelaki yang menutup wajahnya sebagian dengan kain sarung itu beranjak pergi dari tempat itu.

Ia tak menyadari ada sosok tak kasat mata yang mengintai dirinya sedari tadi. Sosok itu bahkan mengikuti lelaki bersarung itu kemana pun pergi. Kepalanya bergerak kaku dengan wajah pucat, seringai menakutkan menghiasi bibirnya.

"Aku menyukai mu!" suara parau dan serak keluar dari bibirnya yang biru kehitaman dan mengelupas.

Burung Kedasih kembali bersiul menambah kesan angker desa yang semakin dingin mencekam.

 Disudut ruangan gelap tak berpenghuni, seorang lelaki mengalungkan seutas tali tambang ke lehernya. Matanya kosong, dan wajahnya tanpa ekspresi, lelaki itu perlahan naik ke atas meja lapuk yang tak seberapa tinggi untuk kemudian melompat. Tubuhnya mengejang sesaat sebelum akhirnya terdiam dan berayun pelan dengan seutas tali dileher. 

"Temani aku, mati disini!"

Terpopuler

Comments

A B U

A B U

next

2023-02-13

2

A B U

A B U

bulan suro bulan penuh karomah

2023-02-13

3

Denisa

Denisa

sereem juga inih kak lia

2023-01-14

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!