CHAPTER 2.4 – Masa Lalu & Sebuah Kencan

Bulan ke-II di tahun MMXXI, aku melakukan perjalanan menuju Distrik Bagaskara pada malam hari. Perjalanan tersebut dilakukan karena kabarnya ada Iblis tingkat B yang cukup meresahkan masyarakat.

Perjalanan kali ini hanya dilakukan oleh diriku seorang saja. Sementara itu, Sara ditempatkan di Distrik Ancala untuk mengurus Iblis yang berada di sana.

Perburuan kali ini, aku dilarang menggunakan kekuatan elemen dan GA khusus anggota DHA. Hal ini dikarenakan pihak pemerintah khawatir jika aku kehilangan kendali saat menggunakannya. Itulah mengapa, Profesor Adalia menyuruhku untuk sementara memakai peralatan dari pasukan militer.

Setelah memakan waktu sekitar tiga puluh menit, akhirnya aku sampai di Distrik Bagaskara. Kemudian, aku memulai perburuan Iblis dengan memakai pakaian biasa agar tidak dicurigai.

Aku telah menyusuri berbagai tempat di distrik tersebut, namun belum menemukan hasil. Sampai akhirnya, aku menyusuri ke sebuah gang yang sepi. Aku melihat sebuah jejak kaki lalu mengikutinya.

Kemudian, aku mendengar sebuah suara seorang wanita yang meminta pertolongan. Meski suara tersebut pelan, namun aku masih dapat mendengarnya. Aku terus mengikuti suara tersebut. Semakin jelas … dan semakin jelas, suara wanita itu terdengar.

Akhirnya, aku berhasil menemukannya. Iblis tingkat B yang kucari, berada di depanku saat ini. Dengan segera, aku mengaktifkan pakaian dan senjata tempur. Iblis itu melihatku, dan bersiap untuk menyerang.

Dengan tenang, aku memasang kuda-kuda dan bersiap menghadapinya. Dengan gerakan yang cepat, kami berdua sama-sama maju untuk melakukan serangan.

Pertarungan di antara kami pun terjadi begitu sengit. Kami secara bergantian melakukan serangan dan bertahan. Tidak ada sedikit pun yang lengah di antara kami. Pertarungan ini sampai membuatku lupa untuk mengaktifkan medan tempur.

Segera aku menjaga jarak dengannya, kemudian mengaktifkan medan tempur agar tidak ada yang mengganggu pertarungan kami.

Iblis itu maju menyerang ku dengan cakarnya yang tajam. Melihat itu, aku memasang kuda-kuda untuk melakukan teknik menyerang. Aku menutup mata dan berkosentrasi mengalirkan kekuatan ke dalam pedang.

“Ilmu Pedang Kedua: TEBASAN MENYILANG!!”

Serangan yang ku lancarkan berhasil mengenai Iblis tersebut hingga membuatnya menjaga jarak denganku. Iblis itu merasa kesal dan mengeluarkan aura yang cukup menakutkan.

Iblis itu maju dan melakukan serangan balasan kepadaku. Meskipun gerakannya cepat, namun gerakanku … dua kali lebih cepat darinya. Aku menghindari serangannya, sambil mengumpulkan kekuatan ke dalam pedangku.

“Ilmu Pedang Pertama: TEBASAN MAUT!!”

Serangan tersebut akhirnya mampu melumpuhkan Iblis itu. Serangan yang kulakukan membuat tubuhnya mengeluarkan darah yang cukup banyak.

Setelah berhasil mengalahkannya, aku membungkusnya lalu menelepon pasukan divisi III militer untuk mengangkut jasadnya.

Kemudian, aku mematikan medan tempur dan menghampiri wanita itu. Tubuhnya gemetar dan merasa ketakutan. Dengan segera, aku menyelimutinya dan memberikannya minuman yang hangat.

“Apakah kamu tidak apa-apa?”

“I-iya. Aku tidak apa-apa.”

Tidak ada lagi percakapan di antara kami. Hanya diam dan menunggu datangnya bala bantuan.

Beberapa saat kemudian, pasukan divisi III militer datang dan langsung mengamankan lokasi kejadian. Aku berbincang dengan salah satu pasukan untuk mengantar wanita itu pulang ke rumahnya dengan selamat.

Setelah selesai berbincang, aku pun bersiap untuk kembali ke Distrik Ancala. Saat ingin pergi dari lokasi, tiba-tiba wanita itu memegang rompiku.

“Tu-tunggu sebentar,” katanya dengan tubuhnya yang masih gemetaran.

Aku berbalik dan memandanginya. “Kamu tidak perlu khawatir. Semuanya … akan baik-baik saja.”

Wanita itu hanya terdiam sambil menundukkan pandangannya. Beberapa saat kemudian, ia memberanikan diri untuk memandangiku.

“Bo-bolehkah aku tahu siapa namamu?”

“Aku Kai. Kalau kamu?”

“Na-namaku adalah Miya Lestari.”

“ Kalau begitu, salam kenal yah.”

Begitulah kisah pertemuanku dengan seorang wanita … bernama Miya Lestari.

...----------------...

Beberapa hari telah berlalu sejak pertemuanku dengan Miya kembali terjadi. Sikap Sara akhir-akhir ini berbeda dari biasanya. Tiap kali kita bertatap muka di sekolah, ia selalu menghindar dan menjaga jaga jarak dariku.

Malam ini, ia memasak di rumahku seperti biasanya. Namun, tak ada percakapan yang terjadi. Rasa canggung menyelimuti di ruangan dapur.

Di tengah kecanggungan, telepon genggamku berbunyi. Sebuah panggilan datang dari Miya. Di situasi ini, kenapa harus datang telepon darinya?

“Kenapa kamu tidak mengangkat teleponnya?”

Dengan terpaksa aku mengangkat teleponnya. Dalam percakapan tersebut, Miya tampak bahagia dan mulai bertanya kabar tentangku. Cukup lama percakapan di antara kami. Sampai, sebuah pertanyaan itu datang.

Ia bertanya tentang waktu luang ku di akhir pekan. Kemudian, ia mengajakku kencan di akhir pekan tersebut. Sontak hal itu membuatku terkejut mendengarnya. Kenapa ia seberani ini?

Aku berpikir untuk menolaknya, namun khawatir ia akan kecewa dan sedih. Tanpa kusadari, Sara ternyata menguping percakapan kami. Kemudian, ia mendekat ke telinga kiriku.

“Lakukan saja,” katanya dengan berbisik.

Bisikkannya membuatku merinding dan lemas. Akhirnya, aku mengiyakan kencan tersebut. Mendengar itu, membuat Miya senang kegirangan dan tak sabar dengan kencan yang direncanakan. Kemudian, ia menutup teleponnya.

“Wah, kencan yang luar biasa akan terjadi,” kata Sara dengan maksud menyindir.

“Habisnya, kamu yang menyuruhku untuk melakukannya.”

“Aku tidak menyuruhmu. Aku hanya memberikanmu saran.”

“Ada apa denganmu? Kenapa sikapmu seperti ini?”

“DIAM!”

Dengan suara yang lantang, Sara menegurku. Ini pertama kali aku melihatnya. Aku tidak menyangka hal ini akan terjadi.

Kemudian, mata Sara berkaca-kaca hingga air matanya keluar. Sara menangis sejadi-jadinya. Tiba-tiba, dadaku merasa sesak melihatnya menangis. Aku memeluknya dengan maksud menenangkannya.

“Maafkan aku. Maaf, karena mungkin aku tidak mengerti perasaanmu.”

Sara hanya bisa menangis sambil memelukku dengan erat. Malam ini, suasana haru dan emosional menyelimuti kami. Aku tak tahu mengenai perasaan Sara. Namun melalui tangisannya, aku mengerti … bahwa aku mengecewakannya.

.........

Akhir pekan pun tiba, di mana sebuah kencan terjadi antara aku dan Miya. Kami janjian untuk saling bertemu satu sama lain di stasiun Distrik Bagaskara.

Terlihat dari kejauhan, Miya menungguku sambil memperbaiki poni rambutnya. Sepertinya, ia sudah lama berada di sana. Segera aku menghampirinya yang tengah sendirian.

“Selamat pagi, Miya.”

“Se-selamat pagi, Kai.”

“Jadi, kita akan pergi ke mana?”

“Pertama, kita akan pergi makan. Kemudian, jalan-jalan di mal. Dan … masih banyak lagi.”

“Wah, banyak juga yah. Kalau begitu, langsung saja kita berangkat.”

Dengan antusias dan penuh semangat, dimulai lah kencan hari ini. Kami mengunjungi kafe yang dekat dari stasiun. Kami kemudian menikmati makanan dan minuman yang telah dipesan.

Setelah selesai makan, kami pergi jalan-jalan ke mal. Banyak kegiatan yang kami lakukan di tempat tersebut. Mulai dari berbelanja, bermain hingga mencicipi dessert. Ekspresi bahagia terpancar dari wajah Miya. Ia sangat bersenang-senang dan menikmatinya.

Kemudian, tempat terakhir yang kami kunjungi adalah taman di alun-alun Distrik Bagaskara. Di taman, kami mengistirahatkan diri karena merasa lelah.

“Bagaimana? Apakah kamu menikmatinya?”

“Iya, aku sangat menikmatinya. Ini semua berkatmu,” jawabnya sambil memperlihatkan ekspresi bahagia.

“Syukurlah, jika kamu merasa seperti itu.”

“Hei, Kai.”

Miya menatapku dengan begitu serius. Tatapannya itu … membuatku gugup seketika. Terlebih, pipinya yang memerah secara tiba-tiba.

“Sebenarnya … aku menyukaimu!”

“Eh? A-apa?”

“Aku menyukaimu, sejak pertama kali kita bertemu.”

“Ke-kenapa bisa kamu menyukaiku?”

“Karena kamu telah menyelamatkanku dan menyemangati ku. Itulah alasanku menyukaimu. Aku … sangat menyukaimu!”

Sebenarnya, aku sudah tahu tentang ia menyukaiku. Namun, tidak menyangka akan secepat ini pengungkapannya.

“Miya, sebenarnya….”

Di tengah embusan angin, dan suara keramaian orang-orang yang berlalu-lalang. Suaraku, hanya tertuju padanya. Aku menanggapi perasaan yang telah ia ungkapkan kepadaku.

Setelah mendengar semuanya, Miya mengeluarkan ekspresi terkejut. Kemudian, ia berdiri dan menatapku. Aku melihat matanya yang berkaca-kaca.

“Kai, terima kasih untuk hari ini. Aku … tidak akan melupakannya.”

Miya memberikan senyuman kepadaku lalu pamit pulang. Aku ingin mengantarnya, namun kemungkinan ia akan menolak. Aku tak ingin membuatnya lebih sedih, tepat setelah mendengar perkataanku.

Apakah yang kulakukan ini sudah benar? Apakah membuatnya sedih itu hal yang terbaik? Aku tak tahu lagi. Aku hanya bisa percaya … dengan keputusan ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!