Dalam perjalanan menuju rumah, aku masih memikirkannya. Bagaimana ekspresiku nanti jika bertemu kembali dengannya? Aku bingung harus berbuat apa lagi. Untuk saat ini, prioritas utama adalah Sara. Aku harus meluruskan semua ini.
Sesampainya di rumah, aku berdiri diam sejenak sambil memegang gagang pintu. Aku berharap, ia berada di rumahku. Memasakkan makanan untukku seperti biasanya. Saat mencoba memutar gagangnya, ternyata pintu tidak terkunci. Itu berarti, ia berada di rumahku.
Dengan segera aku masuk untuk menemuinya. Di ruangan dapur terdengar sebuah suara seseorang sedang memasak. Saat masuk ke dalam, Sara menyadari kedatanganku.
“Selamat datang, Kai.”
Mendengar ucapan itu, membuat hatiku tersentuh. Tanpa berlama-lama, aku berlari menujunya. Aku memeluknya dengan begitu erat. Sara terkejut dengan tindakan yang kulakukan padanya.
“Ke-kenapa kamu melakukan ini?
“Tidak kenapa-kenapa kok. Aku hanya ingin memelukmu saja.”
“Ta-tapi, aku merasa malu.”
Aku tidak memedulikan perkataan Sara. aku tetap memeluknya dengan erat. Sara hanya bisa terdiam dan menerima pelukan dariku. Kami melakukan ini selama beberapa menit saja.
Setelah selesai, kami duduk dan berbincang tentang misi selanjutnya. Cukup lama sekali kami melakukan kegiatan ini.
“Eng … maaf sebelumnya,” kata Sara dengan perasaan gugup.
“Eh? Kenapa?”
“Maaf, jika ini pertanyaan yang melenceng dari pembahasan sebelumnya.”
“Pertanyaan? Apa itu?”
“Eng … itu … anu …”
Sara terlihat gugup hingga membuatnya sulit untuk bertanya. Sebenarnya, aku tidak ingin memaksanya. Namun, aku juga penasaran dengan pertanyaannya.
“Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Anu … bagaimana kencan mu dengan Miya hari ini?”
“Cukup menyenangkan. Tapi….”
“Tapi apa?”
“....Tiba-tiba, dia mengungkapkan perasaannya kepadaku.”
Setelah mendengarnya, Sara hanya memasang ekspresi yang datar dan biasa saja. Aku pikir, ia akan terkejut hingga marah.
“Sudah kuduga akan terjadi seperti itu.”
“Bagaimana bisa kamu tahu?”
“Beberapa wanita akan tersentuh dengan kebaikan seorang pria. Terlebih kebaikan yang kamu lakukan kepadanya itu cukup besar. Jadi, tidak heran jika ia jatuh hati padamu.”
“Jadi, apakah kamu tidak marah?”
“Sedikit marah. Namun … aku mengerti perasaannya.”
“Sekali lagi, aku minta ma—“
“Shuuuuuut.” Jari telunjuk Sara membungkam bibirku. “Jadi, apakah kamu menerimanya?”
“Aku … menolaknya. Aku tidak bisa membalas perasaannya. Karena, prioritas utama ku saat ini adalah dirimu.”
Pipi Sara memerah setelah mendengar perkataanku. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kemudian, ia berdiri dan lanjut memasak. Aku hanya bisa duduk sambil melihatnya memasak.
Akhirnya, hubungan kami kembali membaik seperti sebelumnya. Bagiku, Sara adalah seseorang yang berharga dalam hidupku. Karena Sara, saat ini aku sudah mempunyai alasan berada di dunia ini. Dan karena Sara juga, aku mempunyai alasan bergabung di DHA.
...***...
Setelah pulang dari sekolah, aku pergi berkunjung ke kantor Divisi III. Di tempat itu, aku ingin bertemu dengan Ketua Bima Satria. Aku ingin membicarakan perihal orang dalam yang dimaksud oleh Iblis Tingkat A bernama Ezard.
Setelah menempuh waktu yang cukup lama, akhirnya aku sampai di tempat tujuan. Aku masuk ke dalam dan menemui bagian admin untuk pertemuanku dengan Ketua Bima.
Sambil menunggu, aku duduk dan membaca majalah yang tersedia di atas meja. Beberapa menit kemudian, admin tersebut memanggilku. Ia memberikanku izin untuk bertemu dengan Ketua Bima.
Aku pun pergi ke ruangannya melalui lift. Saat lift ingin jalan, seorang wanita berlari lalu menahan pintunya dan masuk. Aku terkejut melihat wanita itu. Ia adalah Profesor Adalia, seorang profesor yang membantu dalam mengembangkan alat-alat tempur bagi Avalon.
“Wah, ternyata Kai. Lama tidak berjumpa,” katanya sambil menepuk bahu ku.
“Aduh. Seperti biasanya, kau selalu memukul pundakku ketika saling bertemu.”
“Jadi, ada apa kau datang ke sini?”
“Ada sesuatu yang ingin ku bicarakan dengan Ketua Bima.”
“Wow, kita memiliki tujuan yang sama.”
Lift pun mulai berjalan dan naik ke lantai yang telah kami atur sebelumnya. Selama lift berjalan, kami berdua hanya saling diam saja. Dan sebenarnya, ini hal yang bagus. Sebab, aku kurang nyaman berada di dekat Profesor Adalia.
“Kai, apakah kau masih ingat dengan perbincangan kita ‘waktu itu’?”
“I-iya. Aku masih ingat.”
“Jadi, apakah kau sudah menemukannya?”
“Iya. Aku sudah menemukannya.”
“Begitu yah. Baguslah kalau begitu.”
Kemudian, lift berbunyi dan pintunya terbuka. Kami akhirnya sampai dan segera menuju ke ruangan Ketua Bima. Sebelum masuk ke dalam, Profesor Adalia menggesekkan kartu di gagang pintu. Lalu, pintu tersebut terbuka dan kami masuk ke dalam.
Di dalam ruangan, terlihat Ketua Bima yang tengah duduk sambil menghisap sebatang rokok. Asap rokoknya membuatku sulit bernafas dan tak tahan berada di ruangan ini.
“Uhuk, bisakah kau mematikan rokok itu Ketua?”
“Oh, maafkan aku.”
Kemudian, Ketua Bima mematikan rokoknya. Ia pun berdiri lalu berjalan menuju kursi tamu. Aku dan Profesor Adalia duduk sambil menunggunya datang ke sini.
Ketua Bima duduk dan bersiap mendengarkan perbincangan yang akan dibahas. Aku menjelaskan yang terjadi di Distrik Dewana. Ketua Bima dan Profesor yang kebetulan ada di ruangan mendengarkannya dengan serius.
“Begitu, yah. Jadi, di kepemerintahan sudah ada penyusup,” kata Ketua Bima.
“Bukankah ini masalah yang serius?” tanya Profesor Adalia.
“Kau benar, Profesor. Tapi, untuk menemukannya tidaklah mudah.”
Dengan perasaan emosi, aku berdiri dan memukul meja dengan keras. “Jadi, apa yang harus kita lakukan? Apakah kita akan membiarkan mereka begitu saja?”
“Tenanglah Kai!” Profesor Adalia mencoba menenangkan ku yang tengah panik.
“Aku tahu itu. Tapi Kai, kita juga harus berhati-hati dalam bertindak.”
“Yang dikatakan Ketua Bima itu benar. Kai, bisakah kau tenang dulu?”
Aku hanya bisa mengangguk dan kembali duduk. Suasana hening terjadi sesaat. Kami yang berada di ruangan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Mencari solusi untuk bisa menyelesaikannya.
“Untuk saat ini, biarkan aku yang menyelidikinya,” kata Ketua Bima.
“Apakah ketua yakin dengan hal itu?”
“Tenang saja. Biar begini-begini, aku juga ahli loh.”
Aku terdiam dan tertunduk sejenak. Perlahan aku menarik napas lalu mengembuskannya. “Baiklah, jika itu yang ingin dilakukan oleh Ketua Bima.”
“Terima kasih atas pengertiannya.”
Setelah selesai berbincang, aku pamit untuk pulang kepada mereka yang berada di ruangan. Saat dalam perjalanan menuju pulang, Profesor Adalia mengikuti.
“Anu, Profesor. Ada keperluan apa lagi denganku?”
“Yah, aku hanya ingin sedikit berbincang denganmu.”
“Apa lagi yang harus diperbincangkan?”
Profesor Adalia mengeluarkan sesuatu dari kantong bajunya. Kemudian, ia menghampiriku.
“Ini, GA baru milikmu,” katanya sambil memberikannya kepadaku.
“Apakah ini … versi terbaru?”
“Yap! Semuanya sudah di upgrade sebaik mungkin,” jawabnya dengan penuh percaya diri.
“Baiklah, akan kuterima ini.”
Profesor Adalia tiba-tiba mendekatkan bibirnya di telinga kiriku. “Soal yang dibahas di ruangan tadi, serahkan saja kepadaku.”
Aku terkejut dan menjauh beberapa meter darinya. “Eh, jadi maksudmu….”
Profesor Adalia hanya mengedipkan mata kirinya sebagai bentuk jawabannya. Jujur saja, itu tidak membuatnya imut sama sekali.
“Kalau begitu, aku pergi dulu. Terima kasih untuk GA nya.”
“Sama-sama. Sampai bertemu lagi,” balasnya sambil melambaikan tangan.
Aku berhasil keluar dari gedung itu. Meskipun menyerahkan kepada Ketua Bima dan Profesor Adalia, namun belum yakin sepenuhnya. Aku juga harus ikut mencari tahu hal itu sendiri.
Apapun akan kulakukan dengan serius. Ini semua demi kedamaian Sara dan orang-orang di sekitarku. Selain itu, ini juga merupakan tugasku sebagai anggota DHA.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments