Kali ini cerita deskripsi tentang Ningrum, berdasarkan selama Aku berteman dengan dirinya dari Aku kecil sampai sekarang.
Ningrum itu se umuran denganku, cuma beda bulan lahir. Dia anak satu satunya dari pasangan Bibi Cia dan Paman Toni.
Sedari dirinya kecil sampai dia se dewasa ini, keinginannya selalu dituruti oleh orang tuanya.
Ningrum itu royal, kalau tentang menyangkut uang atau ngga tega kepada siapapun. Namun, Jika dia sedang digodain temannya, dirinya akan kepikiran hal itu terus.
Aku sering kali merasa iri jika secara tidak sengaja melihat betapa sangat perhatian kedua orang tuanya pada Ningrum.
Akan tetapi, semakin dewasa diriku dan juga juga dirinya. Pemikiran kami berdua pun tetap berbeda.
Aku yang dipaksakan oleh keadaan, membuat pemikiran ku harus jauh lebih dewasa dari manusia yang seumuran denganku. Sedangkan Ningrum yang terbiasa dimanja, tentu saja apapun tidak mau kalah.
Seperti kurang lebih empat tahun terakhir ini. Ketika Bibi Cia memintaku untuk bersama bekerja di perusahaan tempat Ningrum bekerja, karena Bibi Cia tidak mau Ningrum sendirian.
Aku menyetujui itu. Karena memang sebelumnya Aku memang sudah keluar dari tempat kerjaku yang lama.
Baru beberapa bulan, sifatnya langsung terlihat. Aku yang tidak satu devisi dengan Ningrum, mendapat laporan dari salah satu temanya jika Dirinya tidak menganggap ku teman. Dan hal itu datang dari Mbak Ningsih, bukan Aku percaya namun karena Aku tidak mendengar darinya langsung.
Hari demi hari, semakin kesini dan Ningrum juga satu devisi dengan Farel. Dengan dirinya yang selalu menjodohkan ku dengan Farel, hingga Aku menjadi bulan bulanan orang orang di devisi situ.
"Yun, itu lho Farel. Gangguin Aku mulu dari tadi." Gerutu Ningrum.
"Apa sih Mbak, Aku aja diem gini. Kamu aja tuh yang cari gara gara." Balas Farel.
"Ya abisnya kamu jodohin aku terus."
"Ngaca Ning, bukankah kamu juga gitu pada Farel? Itu Yun itu teman kamu. Kalau kamu disini mana berani dia ngomong aneh aneh." Aku tertawa mendengar ucapan Mbak Lina.
Ku lihat Ningrum terdiam tak menjawab setelah beberapa dari mereka lapor kepadaku.
Aku mendiamkan saja, karena tidak mau jadi hal buruk untuk ke depannya. Karena kami masih berangkat bersama.
Ningrum dan Ibunya itu sama sama suka cerita. Aku salut, namun mereka seperti tak ada celah bahkan untuk hal pribadi sekalipun.
Aku sering kena laporan cerita Ibuku, jika Aku disini itu gimana aku disana itu gimana.
Seperti ini contahnya,
Waktu itu, ketika Aku sedang menemani Ibuku di dapur. Tiba tiba Ibu berkata kepadaku,
"Yun, kata Ibunya Ningrum kamu sering dijodoh jodohin ya?" Tanya Ibu,
"Haa? Kapan Bu mereka ngomongnya?"
"Udah sedikit lama sih, beneran? Juga sering cerita, kalau katanya yang namanya Mas Wahyu sering ngga kasih ijin kalau main ke tempat kami, gitu."
"Bu, gini ya Yuna jelasin biar Ibu paham. Lagian, sebenarnya Yuna ngga mau cerita apapun tentang hal ini, ngga penting. Tapi berhubung Ibu nanya, Yuna bakal jelasin." Aku menghela nafas sejenak sebelum melanjutkan ucapanku.
"Sebenarnya, Yuna setuju sama apa yang dikatakan Mas Wahyu pada mereka semua yang mau main. Karena ujungnya mereka bakal berisik, kasihan kosan sebelah, terus juga mereka kalau makan sama ngomong plus berisik. Jadi, tujuan Yuna dan Mas Wahyu itu baik, buat apa mereka main tapi tuan rumah ngga nyaman? Kalau untuk sekedar urusan pekerjaan, itu silahkan saja." Ujarku.
"Iya sih, Ibu paham Yun. Lagian Ibunya Ningrum itu kalau cerita ya kaya gitu sih."
"Ibu mah, kaya ngga paham aja sama mereka. Hehe. Kan Ibu sering cerita ke Yuna kalau apa apa yang terjadi diantara mereka, Ibu jadi tau. Sampai hal pribadi pun tetap di umbar."
"Iya Bu, bener banget. Ibu tau ngga? Kalau tiap kali Yuna sesuatu yang baru ataupun belum terlihat oleh mereka. Mereka akan ngomongin?" Tanyaku lagi.
"Engga tau, tapi pernah sih sekali waktu itu. Pas kamu memakai baju yang seperti dress itu lho, katanya baru ya gitu " aku terkekeh geli mendengarnya. Sungguh tidak bermutu sama sekali.
"Ya Allah Bu, emang sepenting itu ya? Atau takut jika Yuna punya sesuatu yang lebih bagus tersaingi?"
"Haha ada ada aja kamu Yun, tapi bisa jadi sih."
"Padahal Bu, Aku itu kalau punya sesuatu yang baru engga langsung dipakai. Karena Aku tau sifat mereka, Aku malas jika harus mengurusi hal yang ngga penting kaya gitu. Lagian, kalau pun iri, apa yang mau di irikan sama Yuna Bu? Sementara dia kalau ingin apa apa langsung bisa dituruti, lha Yuna? Harus menabung dulu lah."
"Udah lah, biarin aja. Apapun yang di diri Ningrum itu sudah teratur oleh Ibunya. Harap maklum ya Yun."
"Maklum sih maklum Bu, tapi kalau merugikan ya Yuna ngga mau. Emang lingkungan Yuna cuma terkait hal itu?. Bahkan kalau Yuna pergi sama Hanifah pun, Ningrum cemburu Bu."
"Ibu tau Yun, pernah Ibunya bilang sama Ibu. Kalau pas mereka ber empat main ke kafe tanpa mengajak kamu waktu itu, kamu inget? Ibunya bilang katanya takut kamu ngga mau." Ujar Ibu, Disini posisiku ngga tau apa apa. Belum juga mengajak sudah bilang tidak mau? Sungguh sangat bagus sekali sikapnya. Mengecewakan namun tak sadar.
"Udah Bu, ngga papa. Buat Yuna pribadi sih ngga masalah," balasku santai.
"Oh iya satu lagi Yun. Kamu satu bulan terakhir pakai motor sendiri kan ya?"
"Iya Bu, kenapa? Soalnya bawaan Yuna masih banyak."
"Kata Ibunya Ningrum lagi, kamu tiap pulang selalu dikawal temen kamu. Katanya juga karena itu, Ningrum di jalan jadi sendirian." Oh sialan, Aku ingin menangis mendapat laporan seperti ini.
"Bu, Ibu percaya?. Yuna itu ngga dikawal sama Rizal, dia rumah nya satu arah sama Yuna. Kalau Rizal mau pulang kapan itu terserah Rizal sendiri dong Bu, masa Yuna larang juga? Harus dia duluan atau Yuna duluan? Terus, emang kalau berangkatnya barengan pulangnya juga harus barengan gitu? Ngga sekalian aja iring iringan berdua dijalan biar ngga hilang."
"Lha maunya Ibunya Ningrum kan harus barengan terus."
"Egois dong Bu, Emang Yuna ngga punya privasi apa." Gerutuku kesal
"Iya itulah apa yang Ibunya temen kamu."
"Bu, Yuna itu sebenarnya tersiksa kaya gini. Yuna kaya ngga punya harga diri. Kali sekiranya Yuna tegas, bakal baper apa ngga kira kira?"
"Itu lebih bagus lah nak."
"Oh iya Bu, kali urusan Yuna di perusahaan ini udah selesai. Yuna mau pindah kerjaan, Yuna butuh dunia luar Bu. Disini orang orangnya ngga enak semua. Apalagi yang satu desa sama kita hampir setengah dari perusahaan sendiri."
"Itu terserah kamu Yun, apapun yang menurut kamu baik Ibu akan mendukung. Kamu sudah dewasa bisa tau mana yang baik mana yang buruk "
"Makasih Bu, Yaudah ya Bu Yuna mau mandi dulu." Aku beranjak dari tempat dudukku, tiba tiba Aku teringat sesuatu lagi.
"Oh iya Bu, kelupaan. Tolong bilangin Bibi Cia kalau sewaktu waktu kesini. Kalau mau bocengan berangkatnya, jangan sungkan bilang dulu. Biar belajar ngomong duluan, ngga harus Yuna yang memulainya."
"Iya Yunn, Ibu paham."
Skip cerita sampai disini dulu, sebenarnya masih terlalu banyak yang ada di hatiku. Sebenarnya hal ini tak pantas ku tulis di diary ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments