Hari-hari berlalu, Naina dan Alfin kian dekat seiring waktu berjalan. Sementara sang manager, tetap menahan diri agar tidak melampiaskan amarah kepada Naina.
Gadis itu selalu menghindar setiap kali ia dekati atau bahkan muncul dari ruangan. Berpura-pura tidak melihat, bahkan terkadang mengalihkan pembicaraan atau tidak menyahut sama sekali.
Sikap tak acuh Naina, sungguh membuatnya frustasi. Tak dapat berpikir saat bekerja, semua pekerjaan terbengkalai karena terus memikirkan Naina.
"Argh! Sial!" Ia menggebrak meja cukup kuat, membuat karyawan gudang tersentak karenanya.
"Kenapa sama si Bos? Kok, akhir-akhir ini kelihatannya marah-marah mulu, ya?" celetuk salah satu pekerja sembari memindahkan tumpukan dus dan menyusunnya.
"Nggak tahu. Mungkin karena dicuekin sama si Penjaga kasir itu kali. Jadinya, kayak gitu," sahut yang lain dengan tangan yang sibuk pula.
"Penjaga kasir? Siapa? Naina, Vita? Atau ...." Ia tercenung mengingat beberapa waktu terakhir sang atasan selalu memandangi Naina.
"Naina, siapa lagi? 'Kan, cuma dia yang sering diajak ngobrol sama si Bos," sambar rekannya sembari mendesah.
Sementara orang yang mereka bicarakan, tengah berpikir keras di dalam ruangan. Berjalan mondar-mandir sesekali akan menggigit bibir dan menjambak rambutnya.
"Aku nggak bisa kayak gini. Nggak bisa. Aku harus ngomong sama Naina atau ... aku buat perhitungan aja sama pemuda brengsek itu," gumam laki-laki itu menemukan sebuah ide yang menerbitkan senyumnya.
"Yah, aku akan membuat perhitungan dengannya. Enak saja dia mau rebut Naina dari aku. Dia pikir pantas jadi pendamping Naina? Hah, jangan mimpi," kecamnya sembari tersenyum sinis membayangkan wajah sang pemuda yang tersenyum bersama Naina kemarin.
Dia mengepalkan tangan kuat-kuat, matanya memerah dan wajahnya menghitam. Emosi memuncak, tak sabar ingin segera menemui sang pemuda.
Laki-laki itu keluar ruangan secara tiba-tiba, mengejutkan kedua pekerja yang baru saja bergosip tentangnya. Mereka lekas membungkam mulut, tersenyum kikuk pada sang atasan sambil menunduk. Kemudian, saling pukul pun terjadi, saling menyalahkan satu sama lain karena tak membagi tahu keberadaan bos mereka.
Naina tak acuh ketika sang manager muncul dari pintu, terus tersenyum pada pelanggan yang membawa belanjaannya ke meja kasir. Seperti biasa ia akan bertanya dengan sopan juga menawarkan paket promosi yang tersedia di mejanya.
Laki-laki itu ingin menyapa, tapi urung karena Naina bahkan tak melihat ke arahnya. Dengan perasaan rindu bercampur kesal, dia pergi keluar untuk menemui Alfin.
Secara kebetulan, pemuda itu berada di halaman masjid sedang menyapu bersama anak-anak. Diawasi pak ustadz yang duduk sambil membaca kitab.
"Itu dia. Aku harus menegurnya agar tidak mendekati Naina." Dia bergumam, dengan langkah mantap melaju menyebrangi jalan menuju rumah Allah.
"Maaf, bisa kita bicara?" ucapnya begitu tiba tanpa salam dan basa-basi.
Mendengar suara bernada ketus itu, pak ustadz mengalihkan pandangan dari kitab. Sedikit menurunkan kacamata untuk dapat melihat siapa yang menegur Alfin. Begitu pula dengan semua anak-anak yang ada, mereka memandang laki-laki yang terlihat tak senang terhadap ayah asuh mereka.
Alif menegakkan tubuh, tersenyum ramah padanya. Dia ingat siapa laki-laki itu? Dialah yang telah membuat Naina menangis tempo hari.
"Wa'alaikumussalaam. Tunggu, ya," sindir Alfin berhasil membuat wajah sang manager memerah karena malu.
Emosi yang sejak tadi ditahannya semakin membuncah, ia menahannya dengan memainkan kepalan tangan. Gatal rasanya ingin menghantam wajah sok suci itu.
Sementara Alfin berbalik pada laki-laki yang tengah kembali larut dengan kitabnya. Lalu, beralih pada semua anak yang sedang menatapnya.
"Pak Ustadz, anak-anak. Maaf, ya. Pamit sebentar," pamitnya kemudian berbalik setelah diangguki semua orang.
"Mari, jangan berbicara di depan anak-anak." Alfin mengajak manager Naina menuju sebuah gubuk yang masih berada di lokasi masjid.
Duduk bersila dengan tetap mempertahankan ketenangan hati juga dirinya.
"Silahkan, Bapak mau ngomong apa? Saya dengerin," ucap Alfin dengan sopan.
Sang manager meneguk ludah, malu rasanya berhadapan dengan pemuda beradab seperti Alfin. Akan tetapi, saat mengingat tujuannya datang ia menepis rasa itu.
"Begini. Aku ke sini cuma mau ngasih peringatan sama kamu. Jangan pernah deketin Naina. Kamu tahu siapa aku? Aku manager di sana dan Naina karyawan aku. Selain itu, dia juga bakal calon ibu anakku. Ngerti kamu!" tegasnya sedikit membentak Alfin.
Namun, ketenangan pemuda itu patut diacungi jempol. Dia bahkan tersenyum tidak tersinggung sama sekali. Kepalanya manggut-manggut mengerti atas apa yang dia ucapkan.
"Saya mengerti. Sangat mengerti, tapi apa yang Bapak bilang ini memang benar? Maksud saya apa Naina telah setuju dengan apa yang Bapak lakukan?" ucap Alfin dengan suara yang selembut kapas.
Laki-laki di hadapannya menggeram tak senang, menatap nyalang pemuda yang berani menentangnya itu.
"Mau dia setuju atau nggak, yang pasti aku nggak suka kamu deket-deket sama dia. Jauhi Naina, atau kamu tanggung sendiri akibatnya," ancamnya menuding wajah Alfin dengan bengis.
Pemuda itu tetap tersenyum, tidak gentar dengan ancaman yang dilayangkan olehnya. Sampai dia beranjak dari gubuk, sekali lagi mengancam Alfin lewat sorot mata yang tajam. Dia tetap duduk dengan tenang.
"Astaghfirullah al-'adhiim ... ya Allah, ampuni dosa hamba. Jauhkan hamba dari orang-orang seperti mereka, ya Allah." Alfin mengusap dada, mendesah melepas gelisah yang sempat hadir.
Laki-laki itu terus melewati anak-anak, juga pak ustadz tanpa menyapa seperti kebanyakan orang. Sombong dan angkuh, merasa dirinya paling terhormat karena memiliki jabatan.
Alfin menyusul, sikapnya biasa saja tidak seperti laki-laki sebelumnya. Ia mendatangi anak-anak, kembali membersihkan halaman bersama mereka.
"Itulah dahsyatnya cinta. Membuat pemujanya hilang akal dan berbuat segala macam cara. Astaghfirullah al-'adhiim," gumam pak ustadz memperingatkan Alfin agar tidak terhanyut oleh yang bernama cinta.
"Manusia terkadang lupa bahwa cinta itu sebenarnya suci. Perbuatan mereka sendiri yang membuat cinta ternoda. Banyak-banyaklah beristighfar, memohon ampunan kepada Allah," tutur pak ustadz lagi sebelum berdiri dari duduk dan masuk ke dalam masjid.
Alfin tercenung sambil memegangi sapu di tangan, mencerna ucapan laki-laki bersorban yang menjadi pembimbing rohaninya itu. Ia menghela napas, beristighfar di dalam hati. Terus melanjutkan pekerjaan membersihkan halaman rumah Allah.
"Kurang ajar!" umpat sang manager begitu tiba di ruangannya.
Ia meninju dinding meluapkan emosi yang terus bergejolak di dalam dada. Amarah menggerogoti kewarasannya, rasa cemburu menguasai hati menghilangkan akal sehatnya.
"Sial! Awas aja kamu brengsek! Lihat apa yang akan aku lakukan untuk membuat kamu jera," kecamnya dengan kedua mata memicing tajam.
Sebuah rencana jahat terlintas di dalam otaknya, rencana yang tentunya membahayakan Alfin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments
Junida Susilo
Astaga 🙄🙄 malas banget sama menejer nya naina ini...laki laki pemaksa dan tidak mau menerima kenyataan klw orang yang mati matian dia angap milik nya itu, sama sekali tidak pernah menganggap dia siapa siapa,pacar bukan suami bukan... saudara juga bukan, menejer nya cinta sendiri gila sendiri,hati naina itu milik naina pribadi...naina berhak menentukan pilihan hatinya kepada siapa cinta naina akan berlabuh biar kan itu menjadi ketetapan hati naina...🙏
2023-01-13
1
Fe
meneger nya punya masalah hidup apa sih... kaka othor buat alfinza dan keluarga nerima naina ya kak
2023-01-12
1