Beberapa saat lamanya ia terus menyendiri di dalam gudang, bersembunyi di antara tumpukan kardus agar tak ditemukan siapapun. Sampai hatinya merasa tenang kembali, dan semua kesedihan terlewati.
Naina mengangkat kepala, mengusap air di matanya sebelum berdiri dan masuk ke kamar mandi. Memeriksakan wajahnya beberapa saat di hadapan cermin. Ia mengeluh, menunduk sambil berpegangan pada wastafel.
"Bengkak begini gimana mau keluar coba? 'Kan, malu," keluhnya sembari memejamkan mata.
Gegas Naina mencuci wajah, menormalkan keadaan mata yang membengkak. Dipolesnya sedikit make-up untuk menyamarkan bagian yang terdampak tangisan. Ia menghela napas, lebih baik dari sebelumnya. Kemudian keluar bersikap seperti biasa seolah-olah tak terjadi apapun.
"Nai!" tegur Vita, rekan Naina di meja kasir.
Gadis itu menoleh, tersenyum seperti biasanya.
"Kenapa?" tanyanya berpura-pura tak tahu bahwa semua orang sibuk mencari.
"Tadi si Pak Bos nyariin kamu, lho. Dari mana aja emangnya?" tanya Vita dengan dahi mengkerut dalam.
Naina bergegas mendatanginya, merapatkan pada tubuh gadis itu dan berbisik, "Aku tadi sakit perut. Makanya buru-buru ke toilet. Nggak enak sama si Bos soalnya."
Ia menggigit bibir sambil mengangguk, menegaskan apa yang diucapkannya tadi adalah benar.
"Ooh ... terus kenapa nggak nyahut tadi waktu dipanggil?" selidiknya sembari melengos pada layar komputer di atas meja.
"Yah, aku malu, Vit. Masa lagi ngeden nyahut, bisa-bisa berabe urusan." Naina terkekeh diikuti Vita yang tertawa kala membayangkan jadi Naina di dalam toilet.
Senyum di bibirnya surut perlahan, melengos setelah Vita sibuk melayani pelanggan. Ia menghela napas, semoga setelah ini semua yang terjadi akan terlupakan dengan mudah. Naina kembali pada pekerjaannya, mencatat apa saja yang sudah berkurang.
****
Menjelang ashar, Naina berpamitan untuk pulang. Sebelumnya, dia mendatangi masjid untuk menunaikan ibadah empat rakaat di rumah Allah itu sambil menunggu Asep menyelesaikan pekerjaan.
Naina mengernyit ketika tidak mendengar suara Alfin maupun anak-anak di dalam masjid tersebut. Biasanya, sore hari masjid akan ramai oleh anak-anak yang belajar mengaji dengannya.
"Ke mana semua anak-anak? Ahmad juga nggak ada. Apa ngaji mereka libur, ya?" gumamnya sembari mengintip dari balik hijab yang menjadi pembatas antara jamaah laki-laki dan perempuan.
Naina mendesah, melirik jam di ponselnya seraya duduk di depan masjid sambil menunggu waktu. Kali ini, dia tidak menunggu Asep di depan toko karena tak ingin bertemu dengan sang atasan.
Deru suara mobil membuyarkan lamunannya, ia memanjangkan leher demi dapat melihat siapa yang datang. Ia tersenyum begitu melihat anak-anak yang biasanya berada di masjid turun dari mobil mewah tersebut. Di tangan mereka masing-masing membawa tas belanjaan, berjalan dengan senyum secerah mentari.
Mereka tertegun di halaman masjid, melihat Naina yang duduk sendiri. Gadis itu mengernyit saat Alfin turut keluar dari mobil tersebut sambil menenteng beberapa tas belanjaan.
"Anak-anak! Kenapa berhenti di sini?" tegur Alfin yang belum menyadari kehadiran sang gadis pujaan.
"Itu!" Salah satu anak menunjuk Naina.
Alfin mengangkat pandangan, tersenyum tanpa sadar.
"Ayo, Kakak kenalkan sama dia," ajaknya seraya menggiring anak-anak tersebut untuk mendekati Naina.
Gadis di depan masjid itu tersenyum malu kala pandangan mereka bertemu. Alfin terlihat lebih dewasa, mengasuh anak-anak yang bukan darah dagingnya.
Pemuda itu membungkuk, membisikkan sesuatu pada semua anak yang datang bersamanya. Kemudian, menegakkan tubuhnya lagi menilik wajah Naina yang bersemu.
Penasaran, itulah yang tercetak di wajah sang gadis. Ingin tahu apa yang dibisikkan laki-laki itu pada mereka.
"Assalamu'alaikum, Kak Naina cantik!" sapa mereka serentak.
Naina membelalak dengan napas yang tertahan, kemudian tertawa ringan sambil menutup bibirnya menggunakan tangan. Ia menggelengkan kepala, memandangi satu demi satu anak-anak malang tersebut.
"Wa'alaikumussalaam. Ahlan wa sahlan (selamat datang) anak-anak semua!" balas Naina dengan senyum lebih cerah.
Ia beranjak turun dan berdiri berhadapan dengan mereka.
"Ahlan bik!" sahut mereka serentak pula.
"Boleh Kakak peluk kalian?" pinta Naina sedikit membungkukkan tubuh di depan semua anak-anak itu.
Mereka berhamburan tanpa harus menjawab, memeluk Naina beramai-ramai, membuatnya merasa dihargai. Mereka tak jauh berbeda dengannya, anak-anak malang sama seperti dia. Ditinggal orang tua, bahkan tidak tahu siapa ayah biologisnya hingga dewasa.
Pandangnya bertemu dengan manik Alfin kala ia mengangkat wajah. Senyum yang diukir pemuda itu, tampak hangat hingga menyentuh sanubarinya. Mereka beruntung, bertemu dengan pemuda baik dan bertanggungjawab seperti Alfin.
"Ayo, anak-anak! Kembali ke kamar kalian!" titah Alfin sengaja mengusir mereka agar dapat bercengkerama dengan Naina.
Mereka menyalami keduanya, berlarian kembali ke belakang masjid. Di sanalah mereka tinggal, seperti halnya pondok pesantren, Alfin sebagai pengasuhnya.
"Mereka tinggal di sini?" tanya Naina menunjuk arah anak-anak itu berlarian.
Alfin mengangguk, pandangannya tak lepas dari wajah yang nampak sedikit sembab itu. Ia tahu baru saja Naina menangis, tapi enggan bertanya karena merasa belum menjadi urusannya.
"Di belakang masjid ini dibangun kamar-kamar untuk mereka tempati. Yah, bisa dibilang aku pengasuh mereka." Alfin berjalan pelan menuju teras dan duduk diikuti Naina.
"Emangnya, siapa yang bangun masjid ini? Dia sangat dermawan dan peduli sama anak-anak kayak mereka," ujar Naina memuji sang dermawan yang berhati mulia.
Alfin menghela napas, menunduk sebentar sambil menghendikan bahu.
"Siapapun orangnya, yang pasti dia memiliki alasan tersendiri mengapa sampai berbuat seperti ini. Kita nggak pernah tahu kehidupan orang lain, kecuali kita emang hidup bersamanya," tuturnya diangguki Naina dengan pelan.
Mata gadis itu melirik tas belanjaan yang dibawa Alfin. Penasaran dengan isinya.
"Itu ... apa? Kamu abis ajak anak-anak belanja?" Naina menunjuk tas tersebut.
"Oh, ini semua keperluan anak-anak. Ada buku-buku, peralatan sekolah dan lainnya. Emang tiap bulan selalu ada dermawan yang menyisihkan sedikit hartanya untuk anak-anak di sini," jawab Alfin menunjukkan isi tas tersebut kepada Naina.
"Kamu senang, ya, merawat mereka?" tanya Naina diam-diam memperhatikan raut wajah sang pemuda yang menarik hatinya.
Alfin tersenyum, memainkan jemarinya gugup. Ini kali pertamanya berbincang dengan seorang wanita setelah terlepas dari masa lalu.
"Yah, ada kebahagiaan tersendiri buatku ketika melihat mereka tertawa, tersenyum, atau makan. Aku senang, mereka semua anak-anakku," katanya seraya menoleh pada Naina.
Senyum yang tersemat di bibirnya, membuat hati Naina berdegup-degup tak menentu. Ia tersipu sendiri, melengos dari tatapan Alfin mengalihkan perhatian.
"Mereka sama kayak aku. Nggak punya orang tua. Aku pindahan dari Jakarta dan di sini tinggal sama paman dan bibi." Naina mendesah mengingat kehidupannya yang nyaris tak pernah menemui kebahagiaan.
Masa kecil harus diisi dengan kerja keras membantu Lita, hingga beranjak remaja, bahkan sekarang dia harus mengorbankan pendidikannya hanya karena tak ingin merepotkan kedua paruh baya di rumah itu.
"Kamu yang sabar, ya. Semua yang kita alami di dunia ini merupakan ujian dari Allah. Setiap cobaan pasti ada jalan keluarnya. Yakin aja bahwa Allah selalu bersama orang-orang yang bersabar."
Naina mengangkat kepala, memandang pemuda yang berlisan lembut itu. Ia tersenyum dan mengangguk pasti.
****
Alamat nggak tidur nanti malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments
Herni Rosita
bukanya naina anak Y si jafran yahh... sejak seira pergi trs liat nikah sm jafran udah g bc aku cm bacaY ps ending hihi
2023-01-23
1
Junida Susilo
penisirin kelanjutan nya 🙏
2023-01-11
1
Adi Soraya
Nexttttt
2023-01-11
0