"Naina! Ibu kamu kenapa?" pekik sebuah suara yang bagai angin segar di telinga Naina.
Gadis itu mengangkat wajahnya yang basah, mengiba pada mereka yang kebetulan berkunjung.
"Ibu Sei!" Dia berlari menghampiri Seira, memeluk wanita berhijab itu sambil menangis sesenggukan.
"Tolong Ibu, Ibu pingsan, Bu. Tolong Ibu," mohonnya sembari menangkupkan kedua tangan di dada.
Sigap anak lelaki Seira masuk ke dalam dan mengangkat tubuh Lita yang sudah tidak sadarkan diri.
"Kakak, ayo cepat! Buka pintunya, kita bawa Ibu ke rumah sakit," titah Rayan dengan panik.
Naina bersama Fathya bergegas mendekati mobil, membuka pintunya dan masuk ke dalam. Seira menyusul setelah memastikan pintu kontrakan Lita terkunci.
Ia masuk ke dalam, melirik Lita yang diapit kedua gadis di kursi belakang. Ibu Naina itu tampak pucat, sudah lama Lita menderita sakit, tapi setiap kali diajak berobat, dia selalu menolak.
"Ibu! Bangun, Bu!" rintih Naina sembari mendekap tubuh Lita yang terkulai. Rayan mempercepat laju mobil, menekan klakson meminta jalan pada pengemudi lain.
"Sabar, Nak. Jangan grasak-grusuk," ingat Seira melihat jalanan yang dipadati banyak kendaraan.
"Ah, pake macet segala lagi!" umpatnya seraya menoleh ke belakang memastikan keadaan Lita.
"Udah, Kak. Jangan nangis, kita berdoa sama-sama buat Ibu Lita supaya nggak kenapa-napa," ucap Fathya sembari mengusap-usap lengan Naina yang melingkari tubuh Lita.
Naina mengangkat wajah, menatap gadis remaja di depannya yang begitu serupa dengan sang ayah.
"Makasih, ya," katanya penuh haru.
Fathya mengangguk sambil tersenyum, berdoa dalam hati untuk kesembuhan Lita. Mobil tiba di parkiran rumah sakit, buru-buru Rayan keluar dan mengendong Lita memasuki ruang IGD.
"Dokter, tolong Ibu kami!" teriaknya disambut beberapa petugas medis yang membawa brankar.
Lita dibawa masuk ke dalam, mereka meminta semua orang untuk menunggu di luar ruangan. Naina memeluk Fathya, masih menangis mengingat kondisi Lita yang tak sadarkan diri.
Seira mendekat, duduk di samping Naina usai memastikan Lita dari luar ruangan. Tangannya mengusap punggung gadis itu dengan lembut, menyalurkan kekuatan ke dalam hatinya yang rapuh.
"Kenapa? Kok, ibu kamu bisa pingsan kayak gitu?" tanya Seira dengan lemah lembut.
Naina masih sesenggukan, mengangkat kepala dari bahu gadis remaja Seira. Ia menunduk sambil mengusap kedua sudut matanya, terisak sedih mengingat kejadian saat di rumah tadi. Seira mengusap punggung Naina memberinya kekuatan.
Merasakan sapuan lembut di punggungnya, Naina sadar dia tidak seharusnya menyimpan kesedihan seorang diri. Mungkin dengan berbagi, akan sedikit meringankan beban yang dipikulnya. Ia menghela napas, mengangkat pandangan memberanikan diri untuk berterus terang.
"Ibu syok. Tadi pagi orang yang dekat sama aku ke rumah buat ngelamar, tapi waktu Ibu kasih tahu tentang aku dia cuma diem nggak bisa menjawab. Laki-laki itu nggak bisa terima dengan asal-usul aku. Awalnya Ibu masih biasa aja, tapi kemudian orang tuanya datang terus marah-marah, menghina ibu juga aku. Ibu nggak terima, terus mengusir mereka dan jadi kayak gini. Aku nggak mau kehilangan Ibu," ungkapnya seraya menutupi wajah ketika tangisnya semakin menjadi.
Mengingat setiap kata yang dilontarkan ibu laki-laki itu, membuat Naina merasa sakit. Apakah memang sehina itu anak yang terjadi di luar pernikahan? Apa mereka pantas direndahkan? Apa mereka layak untuk tidak dihargai? Padahal, percayalah, mereka pun tidak ingin dilahirkan dengan keadaan yang demikian.
"Kurang ajar! Laki-laki kayak gitu harus dikasih pelajaran, Kak. Lihat aja kalo ketemu nanti, aku pasti kasih dia hadiah," geram Rayan sembari meremas kepalan tangannya sendiri.
Seira pun merasa geram dengan hal tersebut, bila tidak bisa menerima setidaknya jangan menghina. Cukup katakan dengan bahasa yang tidak menyakiti untuk didengar.
"Kenapa Kakak nggak bilang sama Mamah? Coba aja kalo Mamah ada di sana, pasti dia nggak akan menghina Ibu Lita," ucap Fathya sangat menyayangkan apa yang terjadi di rumah Naina.
Gadis itu menoleh, tersenyum pada anak remaja yang tak banyak bicara itu.
"Kakak nggak mau selalu ngerepotin Ibu Sei. Kakak nggak berpikir dia akan sampai menghina Ibu juga Kakak kayak gitu, tapi ternyata mereka lebih jahat daripada binatang," sahut Naina sambil menggelengkan kepala dan menggigit bibirnya menahan tangis.
Seira yang mendengar, memeluk gadis itu dengan lembut.
"Ibu nggak ngerasa direpotin sama Nai. Kenapa bilang begitu? Kalo ada apa-apa, ngomong aja biar kita cari solusinya sama-sama. Jangan dipendam sendiri, kamu nggak sendirian di sini, sayang." Seira melepas pelukan, mengusap pipi Naina dan menyentuhnya dengan lembut.
Hati yang mana yang tak senang mendapat perlakuan baik dari orang yang dulu dibenci ibunya? Naina tak tahu harus menjawab apa, semua kebaikan yang Seira lakukan sungguh ia tak dapat membalasnya.
Suara langkah kaki yang terdengar cepat mengusik, seorang gadis lain berseragam putih datang dengan tergesa setelah mendengar kabar tentang Rayan yang mendatangi rumah sakit tempatnya bekerja.
"Kak Rayan!" panggilnya sembari mendekat.
Semua orang menoleh, Rayan berjalan pelan menyambut kedatangan gadis itu.
"Kenapa? Siapa yang masuk IGD?" tanya Rani, gadis kecil Rayan, tumbuh menjadi seorang dokter yang cantik.
"Rani? Kamu nggak kerja? Kenapa ke sini?" tanya Rayan, pasalnya Rani adalah seorang dokter umum di rumah sakit tersebut.
"Aku baru dateng, terus lihat ada mobil Kakak. Kata pak satpam Kakak ke sini," jawab Rani menjelaskan.
"Ibu Lita pingsan, kami membawanya ke sini, Kak," jawab Fathya.
Rani menoleh, dan melihat Naina yang masih sesenggukan. Ia merasa lega karena bukan salah satu dari mereka yang sakit.
"Dokter Rani!" Gadis itu menoleh saat sebuah suara memanggilnya.
Ia mengangguk ketika sebuah isyarat menjadi tandanya untuk segera bekerja.
"Kalo gitu aku pergi dulu, ya. Mudah-mudahan Bu Lita nggak kenapa-napa," pamitnya pada semua orang.
Seira mengangguk sambil menyematkan senyum di bibir. Melihat anak Jago itu, selalu membuat dirinya merasa tak percaya.
"Maaf, ada yang bernama Naina di antara kalian?" Dokter dari ruangan IGD muncul memanggil Naina.
"Saya, Dok. Ada apa?" Naina lekas bangkit dari duduknya dan berjalan menghampiri sang dokter.
Ia tidak dapat menyembunyikan kecemasan di wajahnya. Rasa kehilangan menjadi momok menakutkan untuk sepanjang kehidupan yang dia jalani. Berkali-kali merasakan kehilangan, dan setiap itu terjadi hatinya semakin sakit.
Zafran, juga laki-laki yang mengaku mencintainya, semua pergi begitu saja meninggalkan dia. Tidak! Jangan Lita!
"Ibu Anda ingin melihat anaknya. Mari, ikut saya ke dalam," ucap dokter seraya membawa Naina masuk ke dalam IGD.
Rayan bereaksi, memanjangkan leher demi dapat melihat keadaan dalam ruangan. Sayang, dokter menutup tirainya. Ia berdecak cemas, berharap semuanya akan baik-baik saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments
Anisul Mukaromah
memang menjadi anak yang lahir diluar nikah kebanyakan seperti itu di remehkan dan dipandang sebelah mata mungkin bukan karena anaknya tapi karena kelakuan ibunya yang membuat orang2 pun menjauhi anaknya,,,orang akan berpikir kalo ibunya aja rela jadi pelakor rela menyerahkan tubuhnya secara gratis demi bisa hamil dan dinikahi lelaki kaya meski suami orang bukan gak mungkin anaknya bisa melakukan hal yang sama walaupun sebenarnya kita bisa menilai sendiri sifat seseorang setelah mengenal lebih dekat alangkah lebih baiknya kalo emang gak setuju gak usah menghina simpan ketakutan dalam hati aja biar gak menyakiti hati orang lain karena sejatinya anak gak tau apa2 tentang dosa yang diperbuat ibu dan bapaknya
2023-02-16
4
Junida Susilo
naina...semoga kebahagiaan akan menjadi milik ku juga 🤗😘, Terima kasih kk author sudah menghadirkan cerita naina gadis kecil yg berbudi pekerti luhur,kini sudah dewasa...gak ada istilah anak haram semua anak yg lahir ke dunia ini suci...yg haram itu perbuatan orang tua nya 😢 yg kuat naina serah kan semua kepada Allah 😍
2023-01-03
4
Fe
lanjut kak aku jdi ornasaran
2023-01-03
2