Setelah beberapa hari Ali menjalani masa pemulihan di rumah, dia putuskan untuk kembali bekerja, karena merasa jenuh jika hanya berdiam diri saja di rumah.
“Apa tidak masalah bertugas dengan tangan yang belum pulih seperti ini, Mas?”
“Tanganku sudah jauh lebih baik sekarang, lagi pula untuk sementara ini aku tidak melakukan tugas yang berat dulu,” tutur Ali.
“Baiklah kalau begitu, Ayya panggilkan Pak Karman, dia yang akan antar jemput Mas Ali ke tempat dinas,”
“Ayy, kamu sudah siap menghadiri sidang BP4R?” tanya Ali, mengganti topik pembicaraan.
“Sidang apa itu, Mas? aku gak mudeng,” ucap Ayya sambil memasangkan atribut kepolisian di seragam suaminya.
“Sidang pranikah,” jawab Ali singkat.
“Harus ada sidang segala ya, Mas?” tanya Ayya yang belum begitu paham dengan aturan-aturan kepolisian.
“Tentu saja. Kamu pikir pernikahan seorang perwira itu sesimple nikah biasa? Prosesnya sangat panjang, bahkan akan ada sejumlah tes, yang harus dijalani.”
“Jawabnya biasa aja dong, Mas, gak usah ketus begitu,” ucap Ayya sambil memalingkan wajahnya.
“Hhaa! Kamu bilang 'ketus', Ayy? Itu bukan ketus tapi itu memang gaya bicaraku. Kamu harus terbiasa, kecuali kamu bisa merubahku apa yang ada pada diriku.”
“Tapi beberapa waktu yang lalu, Mas bisa bicara lebih manis padaku, bahkan terdengar seperti rayuan pulau kelapa di telingaku,” gerutu Ayya sambil memonyongkan bibirnya.
“Dan itu terdengar sangat lebay, 'kan? Karena terkesan dipaksakan. Mungkin itu pertama kali aku mengucapkan kata-kata manis, jangan harap kamu bisa mendengarnya lagi. Sejujurnya aku ini memang tidak mudah mengeluarkan kata-kata manis apalagi rayuan gombal, itu benar-benar bukan kepribadianku, Ayy,” ucap Ali sambil mengangkat bahunya.
“Iisshh, sepertinya aku dinikahi robot yang sangat kaku,” gumam Ayya sambil mengangkat sudut bibirnya, lalu memutar badan, membelangi Ali.
“Baiklah! Kamu mau aku bergaya seperti pujangga atau guru sastra, Ayy?” tanya Ali yang tiba-tiba menyentuh kedua tangan Ayya dari belakang, membuat Ayya kaget dan terperanjat.
“Tidak perlu menjadi orang lain, kamu cukup menjadi dirimu sendiri saja,” jawab Ayya sambil melepaskan tangan Ali dengan hati-hati karena masih ada luka yang belum sembuh di tangan suaminya.
“Lalu ... Ibu polwan, tolong dilihat Pak Karman di belakang apa dia sudah siap? Aku mau sarapan dulu.” Suara Ali begitu lembut kali ini.
“Siap, laksanakan! Tunggulah aku di meja makan,” sahut Ayya, bergegas keluar dari kamar. Ketika hendak menarik daun pintu, tiba-tiba Ayya kembali dan mengambil tas kerja Ali. menoleh sebentar sambil berkata, “tas-nya, Ayya taruh di mobil, ya.”
Ali mengerutkan dahinya sambil merapatkan bibir. Dia pandangi Ayya lalu mengikutinya dari belakang.
Ali berteriak memanggil Ayya, saat tiba di meja makan. Dia tidak melihat makanan apapun di meja makan dan dia tidak menemukan Bi Nur di sana.
“Ayya!” teriak Ali dari meja makan. Dia mengulang teriakannya karena Ayya pergi terlalu lama dan tak kunjung menjawab panggilannya.
Tak lama kemudian, Ayya datang tergopoh-gopoh.
“Ada apa, mas? kenapa teriak-teriak seperti itu?” sahut Ayya sambil berlari dari halaman belakang.
Ali menjawab dengan gerakan kedua matanya yang menunjuk ke arah meja makan yang tampak bersih tanpa ada makanan.
“Oohh ... Bi Nur pasti lupa menyiapkannya.” Ayya langsung menyiapkan Piring dan makanan lalu membawanya ke hadapan Ali.
“Memangnya, pergi ke mana Bi Nur sepagi ini?” tanya Ali.
“Tadi pagi-pagi sekali dia minta izin, karena harus menghadiri acara di sekolah Dimas,” tutur Ayya seraya menyuapkan makanan ke mulut Ali.
“Seharusnya kan dia selesaikan dulu pekerjaannya di rumah, baru pergi.”
“Gak apa-apa, kan ada Ayya, Mas.”
“Lalu kenapa tadi aku panggil-panggil kamu lama sekali?”
“Ayya nyari Pak Karman. Tadi di rumahnya gak ada.”
“Belakangan ini aku sering melihat kamu yang mengerjakan pekerjaan rumah, lalu kerja mereka apa di rumah ini?” ketus Ali sedikit kesal.
“Gak usah ngomel-ngomel begitu Mas,” ucap Ayya sambil menyuapkan makanan di mulut Ali supaya berhenti marah-marah.
“Mungkin pak Karman belum pulang karena tadi dia mengantar Ayah sama Ibu ke toko, atau mungkin dia mengantar Bi Nur dan Dimas ke sekolah. Biarkan sajalah mas, kita jangan terlalu mempersulit mereka.”
“Trus gimana nanti aku berangkat kerja? Gak mungkin kan aku nyetir sendiri?”
“Tenang saja. Aku belajar banyak hal di Asrama dan aku bisa nyetir, jadi jangan ngomel lagi, oke.” Ayya berusaha menenangkan suaminya.
***
“Mas! Ayya mau sekalian belanja keperluan rumah dulu. Telepon Ayya kalau sudah waktunya pulang, ya,” seru Ayya sebelum meninggalkan Ali di tempat kerjanya.
Selama Ayya mengantar Ali ke tempat kerja dan belanja ke pasar, rumah dalam keadaan kosong, dan saat Ayya kembali, Ayya melihat ada dua buah koper di teras rumahnya.
“Milik siapa ini? Apakah ada tamu yang datang, tapi di mana orangnya?” tanyanya pada diri sendiri sambil mengamati koper yang tidak di ketahui siapa pemiliknya. Ayya juga mengamati sekelilingnya, mencari seseorang yang mungkin datang di saat dia tidak di rumah, dan benar saja, Ayya melihat seorang wanita sedang duduk di tepi kolam. Ayya segera menghampiri wanita yang tengah duduk melamun dan tidak menyadari kedatangan Ayya di belakangnya. Ayya menepuk pundak wanita yang dari belakang tampak elegan dengan pakaian mahalnya.
“Maaf ...,” sapa Ayya lalu seorang wanita cantik menoleh ke arahnya sambil berdiri.
“Oohh ... Maafkan saya,” ucap wanita cantik itu pada Ayya lalu ia bertanya, “saya sedang menunggu pemilik rumah ini, apakah Ali masih tinggal di rumah ini?”
Ayya masih mematung memandangi wanita cantik yang meskipun baru pertama kali bertemu, tetapi wajah cantik itu sangat familiar di matanya.
“Mbak ini ...,” ucap Ayya yang masih kaget dan bingung.
“Kenalkan, nama saya Vina.” Wanita cantik itu mengulurkan tangannya sambil tersenyum ramah.
Dengan gelagapan Ayya menyambut uluran tangan wanita di hadapannya.
“Mari masuk dulu, Mbak. tunggu mas Ali di dalam sambil beristirahat,” ajak Ayya mempersilakan wanita bernama Vina, yang sejujurnya tidak pernah ingin dia temui di dunia ini.
“Tunggu di sini sebentar, Mbak. Saya ambilkan minum dulu,” ucapnya setelah mempersilakan Vina duduk di ruang tamu.
“Bagaimana ini?” batin Ayya sambil menuangkan air minum ke dalam cangkir, pikirannya benar-benar kacau hingga ia tidak menyadari air dalam cangkir meleber membasahi taplak meja makan, ia baru menyadarinya saat air menetes di atas kakinya.
Ayya benar-benar bingung, apa yang harus dia katakan pada wanita itu jika ia bertanya tentang statusnya.
“Ya, Allah. apa yang harus Ayya lakukan sekarang? Akhirnya wanita yang sangat dicintai suaminya, kembali untuk mengambil posisinya di rumah ini.”
Ayya berpikir untuk pergi sebelum Vina mengetahui statusnya, karena ia tidak ingin menjadi pengganggu di antara Ali dan Vina. Namun, di rumah ini tak ada seorang pun, jadi tidak mungkin ia meninggalkannya seorang diri.
Ayya kembali ke ruang tamu, untuk menemani Vina sebelum pemilik rumah pulang.
“Mbak pasti menunggu lama tadi,” ucap Ayya sambil tak henti-hentinya memandangi wajah cantik yang sebelumnya hanya bisa dia lihat di layar televisi.
“Tidak apa-apa, saya mengerti karena ini masih jam kerja Ali, saya bisa menunggu sampai dia pulang. Oh ya, apakah Ayah sama ibu sedang ke luar juga?” tanya Vina. Dari wajahnya, ia terlihat sangat lelah.
“Setiap hari mereka pergi ke toko, mungkin sebentar lagi pulang, Mbak.” jawab Ayya.
BERSAMBUNG ....
pertama tekan like 👍, terus tekan love ❤️ supaya dapat notif kalau bab baru sudah up. Selanjutnya boleh komen positif, kasih bintang 5 dan vote juga. Makasih. 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Marhaban ya Nur17
waduuhhhh
2023-02-01
0
Wita Adzkia
dulu saya pasang atribut suami tp gak bs pas trus swami yg pasang sendiri cuma semir sepatu aja...
tp itu dulu
sekarang swamiku bukan aparat lg...
2022-10-26
0
Devi Triandani
kasihan ayya...istri pertama Sdh datang dan statusnya jg blm jelas 😔
2022-10-15
0