Ali menciumi rambut Ayya yang masih basah karena air wudhu, dia berusaha untuk menerima Ayya sebagai istrinya dan melakukan kewajibannya sebagai seorang suami. Ayya pun tidak melakukan perlawanan karena dia sadar bagaimanapun dia harus melakukan ini sebagai kewajiban seorang istri.
Namun tiba-tiba Ali menghentikan aksinya.
“Maafkan aku, saat ini aku tidak bisa melakukannya,” bisik Ali dengan pelan lalu menjatuhkan tubuhnya di samping Ayya.
Ayya membalikan badannya lalu menangis, bukan karena dia berharap untuk melakukan hubungan intim dengan suaminya, tapi karena Ali selalu menunjukan penolakan terhadapnya, itu membuat dia merasa buruk dan tidak layak untuk dicintai. Ayya merapikan piyamanya lalu bangun untuk mengambil air minum di dapur, rasanya enggan untuk masuk lagi ke kamar dan melihat wajah suaminya saat ini, Ayya hanya duduk dan meletakan kepalanya di meja makan hingga ia tertidur sampai menjelang pagi.
Keesokan harinya Ayya berpikir untuk melupakan kejadian semalam dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Tak seorang pun tau isi hatinya saat ini, dia berusaha menghibur hati dengan cara melakukan hal-hal yang disukainya, Ayya suka sekali mendekor ruangan supaya tidak membosankan. Menjadikannya seperti rumah baru itu yang sering ia lakukan di Asrama dan juga di rumahnya. Ayya dikenal sebagai guru yang kreatif di sekolah asrama karena itu bagian dari hobinya.
Diam-diam Ali sering memperhatikan Ayya dengan kesibukannya itu, banyak sekali yang sudah dilakukannya di rumah ini hingga muncul sedikit kekaguman di hati Ali, akan tetapi tidak di tunjukannya.
Suatu hari. Hari menjelang sore, Ibra datang berkunjung. Karena selain ingin bertemu dengan keluarga Ali, juga dikarenakan sejak pulang dari luar negeri, ada banyak sekali yang ingin dibicarakan dengan Ayya, kebetulan orang tua Ali belum pulang saat itu, jadi Ibra menemui Ayya yang sedang sibuk menjahit di teras belakang.
“Mas Baim, sebaiknya menunggu di ruang tamu saja, mas. Sebentar lagi Mas Ali pulang ko,” ucap Ayya yang masih sibuk dengan kerjaannya.
“Tak bolehkah aku duduk di sini sebentar saja Ayy? Aku ingin bicara sama kamu,” ucap Ibra yang akrab disapa Baim oleh Ayya.
“Nanti saja bicaranya setelah mas Ali pulang.” Ucap Ayya sambil menghentikan sebentar pekerjaannya.
“Ayy ... apa kamu tahu apa yang aku lakukan saat pertama kali aku pulang ke Indonesia?”
“Memangnya apa yang mas Baim lakukan? sepertinya aku tidak perlu mengetahuinya kan, Mas?”
“Aku segera pergi ke Yayasan untuk menemui mu, Ayy. Aku tidak menemukanmu di sana dan aku kaget ketika mendengar kamu sudah menikah, aku lebih kaget lagi saat mengetahui kamu dinikahi oleh saudara sepupuku sendiri,”
“Kenapa mas Baim bisa sekaget itu? kemungkinan apapun bisa terjadi di dunia ini, Mas”
“Ayy! Apa kamu bahagia dengan pernikahanmu ini?” tanya Baim yang sangat penasaran dengan jawaban Ayya.
“Kenapa mas Baim bertanya seperti itu? Tentu saja Ayya bahagia, mas. karena ini keputusan Ayya.”
“Lalu kenapa waktu itu kamu seperti terlantar di pusat kota?”
“Itu karena handphone Ayya ketinggalan di rumah, mas. Itu bukan masalah besar. Oh ya, Ayya sangat berterima kasih karena mas Baim sudah menolong Ayya waktu itu.”
“Ayy, selama ini aku selalu berfikir, jika kamu selalu menolak laki-laki mana pun yang melamarmu itu karena kamu sedang menungguku, tapi kenapa kamu tiba-tiba menerima lamaran mas Ali yang sama sekali belum kamu kenal.”
“Mas, ini adalah takdir, siapa pun yang menjadi pasangan kita, itu semua rahasia Allah.”
“Ayy, cobalah tanyakan lagi pada hati kecilmu, benarkah mas Ali itu orang yang tepat untukmu?”
“Maksudmu apa, Mas? Aku dan mas Ali baik-baik saja ko, aku tidak merasa ada yang salah dengan pernikahanku.”
“Ayy, pikirkan semuanya dengan baik, sebelum semuanya terlambat”
Kelakuan Baim yang terlihat seperti sedang membujuk Ayya untuk berpisah dengan Ali, membuat Ayya merasa jengkel. Lalu Ayya berdiri dari duduknya.
“Sebaiknya kita masuk, mas. Ini sudah sore,” sahut Ayya. Baim meraih tangan Ayya yang spontan ditepis oleh Ayya lalu dia segera melangkah ke dalam rumah. Ternyata Ali sudah pulang dan dia tahu Baim datang ke rumah ini. Ayya masuk ke dalam kamar dan keluar lagi setelah jam makan malam, karena terlalu lama ngobrol di luar bersama Baim, kali ini ia tidak membantu bik Nur masak untuk makan malam. Hingga pada saat makan malam tiba tentu ada yang beda dengan menu makan yang disiapkan bik Nur.
“Bik, Sayur asem sama bakwan goreng-nya ko beda dari biasanya,” ucap Ali, dia sudah seperti juri lomba memasak saja kali ini. Lidahnya menjadi sensitif sekarang, bisa membedakan masakan yang enak dan tidak enak padahal dulu dia makan masakannya bik Nur jarang protes.
“Sambelnya juga beda rasanya,” ucap Ali.
“Masa sih den? Padahal semuanya bibik masak memakai resep yang biasa non Ayya pakai lho, den,” ucap bik Nur keceplosan padahal Ayya sudah berpesan untuk tidak mengatakannya.
“Duh, bibik. Kanapa harus menyebut namaku segala sih, ” batin Ayya sambil memalingkan wajahnya ke arah bik Nur.
“Apa!! Jadi yang selama ini yang saya makan itu bukan masakan bik Nur?”
Semua orang terdiam bahkan Bu Lastri, dia hanya berpikir bahwa Ali akhirnya tidak bisa lepas dari masakan Ayya.
“Ya, ampun! Jadi selama ini mas Ali tidak tahu kalau yang dimakan itu semua masakan istrinya sendiri?” ucap Ibra yang terdengar sedikit mengejek.
Wajah Ali memerah karena malu dan juga marah, tapi dia tidak bisa berkata apa-apa.
“Saya aja tahu lho, mas. Karena selama di Asrama, Ayya sudah terkenal dengan masakannya yang enak, para guru-guru yang single di sana pasti berharap Ayya jadi istrinya,” ucap Ibra yang terus memancing emosi Ali.
“Apakah kamu juga berharap yang sama seperti guru-guru single itu?” tanya Ali seraya melayangkan tatapannya ke arah Ibra.
“Tentu saja Mas. Karena selain cantik, Ayya memiliki kepribadian yang lembut, cerdas, pekerja keras, bertanggung jawab, pokonya dia sangat ideal, Mas. Terlalu naif jika aku bilang, aku tidak berharap.”
Ayya mulai merasa tidak nyaman dengan situasi makan malam kali ini, ditambah lagi kehadiran Ibra yang memperkeruh suasana malam ini.
“Kalau mas Baim sudah menyelesaikan makan malamnya, sebaiknya segeralah pulang karena hari sudah malam, Mas,” ucap Ayya yang ingin menghentikan suasana tidak nyaman ini.
“Kamu jangan lupa, Ibra. Bahwa wanita yang kamu harapkan itu sudah bersuami, jadi carilah wanita lain.” Ucap Ali sambil berdiri lalu meninggalkan meja makan dengan sangat marah.
Bu Lastri dan pak Maulana membenarkan ucapan Ayya yang menyarankan Ibra untuk segera pulang.
“Tante setuju dengan Ayya, kamu harus segera pulang, Ibra. Kamu jangan menyulut kemarahan kaka sepupumu itu.”
“Lagipula kamu harus menjaga ayahmu yang sakit di rumah, rawatlah dia,” ucap pa Maulana menimpali.
“Baiklah, Om, Tante, Ayya ... aku pulang dulu, terma kasih untuk makan malamnya.”
BERSAMBUNG ...
pertama tekan like 👍, terus tekan love ❤️ supaya dpt notif kalau eps baru sudah up, selanjut nya boleh komen positif, kasih bintang 5 dan vote juga, makasih 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
💞Eli P®!w@nti✍️⃞⃟𝑹𝑨🐼🦋
jodoh di tangan author mas baim 🤭
2024-08-07
0
Rifaatul mahmuda Rifa
itu baru sadar Ali, kalau istri ya jago,👍👍
2023-03-09
0
Devi Triandani
ngaku jg km Ali klo ayya itu istri km? tp knp seolah-olah km tdk peduli terhadapnya
2022-10-15
0