Pernikahan pun akan segera berlangsung.
Di sana sudah hadir seorang penghulu, wali dan juga saksi. Bu Lastri meminjamkan handphone canggihnya pada Bu Aisyah supaya bisa melakukan panggilan vidio dengan Ayya.
“Assalamualaikum Umi? Umi pake handphone siapa ini?” sapa Ayya ketika melihat wajah Ibunya di layar handphone.
“Waalaikum salam, Ayy. Kamu sudah nyampe mana sekarang?” tanya Bu Aisyah tidak sabar.
“Ayya di Asrama, Umi! Memangnya kenapa?” jawab Ayya dengan santai karena ia lupa bahwa ini hari pernikahannya.
“Kamu bercanda, kan, Ayy?”
“Maksud, Umi, apa?”
“Ya ampun! Umi pikir kamu sudah dalam perjalan pulang ke rumah? kita semua menunggu kamu di sini, Ayy!” Bu Aisyah mondar-mandir, khawatir jika Ayya tidak menepati janjinya.
“Maaf, Umi. Ayya--” Ayya belum sempat menyelesaikan ucapannya, Bu Aisyah terlebih dahulu menyelanya.
“Kamu tidak sedang mempermainkan Abi dan Umi, 'kan, Ayy? jika kamu tidak hadir saat ini, berarti kamu sedang mempermalukan keluargamu sendiri, apa kamu mengerti?” Bu Aisyah hampir menangis karena menahan amarah. Pasalnya, Semua pihak sudah hadir di rumahnya. Dia tidak bisa menanggung malu lagi.
“Astagfirullahaladzim, Umi! Maaf, Ayya benar-benar lupa. Silakan Umi tutup dulu teleponnya, Ayya mau siap-siap pulang sekarang juga.”
“Tapi Nak Ali tidak bisa menunggumu karena dia banyak kerjaan di Jakarta, jadi terpaksa kami melakukan akad nikah saat ini juga.”
“Baiklah terserah Abi dan Umi saja.”
Akhirnya, pernikahan dilakukan tanpa menunggu kedatangan calon pengantin wanita. Ayya menyebutnya 'Pernikahan Online' karena dia hanya menyaksikan akad nikah secara live lewat Vidio call.
Bahkan ketika dia tiba di rumah, Ali sudah kembali ke Jakarta.
“Ayah sama Ibu yakin? Gak ikut Ali pulang sekarang?” tanya Ali pada orang tuanya sesaat sebelum dia berangkat ke Jakarta.
“Ibu akan pulang bersama menantu Ibu besok. Kamu jangan khawatir, nanti Ibu akan mengantar Ayya ke rumahmu,” ucap Bu Lastri.
“Jangan Bu! Sebaiknya di bawa ke rumah Ibu saja.”
“Kenapa memangnya, bukankan rumahmu akan jadi rumah istrimu juga?” tanya Bu Lastri.
“Hmm ... Maksud Ali, kalau di rumah Ali dia akan kesepian. Karena Ali mungkin ga pulang beberapa hari.” Ali masih beralasan.
“Baiklah. Tapi kalau sudah selesai urusanmu, pulanglah ke rumah Ibu.”
Ali mengangguk lalu berpamitan pada mertuanya sebelum pulang ke Jakarta.
Satu jam kemudian, Ayya tiba di rumah. Turun dari angkutan umum dengan langkah terburu-buru. Mengetuk pintu rumahnya sambil mengucapkan salam.
Setelah Ayya duduk, Bu Aisyah mengenalkan orang tua Ali sebagai mertua Ayya yang akan membawanya pindah ke Jakarta.
“Ayy, Bu Lastri dan Pak Maulana ini sekarang mertua kamu, hormati dan sayangi mereka seperti yang kamu lakukan pada Abi dan Umi,” pesan Pak Ramlan pada putri bungsunya.
“Baik Abi,” ucap Ayya sambil menyalami para tetua. “Pak, Bu, Ayya mohon maaf karena datang terlambat.” Ayya tak henti-hentinya menunduk karena merasa bersalah.
“Panggil Ayah, jangan panggil Pak,” ucap Pak Maulana.
“I-iya, baik, Ayah!” ucap Ayya yang masih merasa sedikit canggung.
“Istrahatlah dulu, karena besok kamu ikut kami ke Jakarta,” ucap Bu Lastri.
“Baik, Bu. Kalau begitu, Ayya permisi masuk kamar dulu.”
****
Ayya duduk termenung di tepi tempat tidur. Tangannya mencengkram dan meremas kain sprei sambil memejamkan mata. Berharap semua ini hanya terjadi dalam mimpinya saja.
Mertua ... Suami ... menjadi istri ....
Batin Ayya yang terus meracau semakin kacau. Lalu ia mengguncang pipinya dengan kedua telapak tangan.
Tentang statusnya yang berubah secara tiba-tiba, lalu tentang suami yang dalam sekejap telah menikahinya dan juga tentang pernikahan yang sangat jauh dari bayangannya, ini semua sulit dipercaya.
Aku yakin ini adalah pernikahan yang tidak pernah didambakan oleh gadis mana pun.
Akhh, sudahlah. Walau bagaimanapun pernikahan ini tetap sah di mata Agama, batin Ayya mencoba pasrah dengan keadaan.
Keesokan harinya. Ayya sudah tahu apa yang harus dia lakukan. Bersiap-siap, dan membereskan pakaian juga barang-barangnya. Setelah itu Ayya menemui Ibunya di kamar.
“Umi!” seru Ayya sambil membuka daun pintu kamar Ibunya.
“Ayya, ada apa? Bukannya kamu harus berkemas?” sahut Bu Aisyah.
Ayya duduk di sebelah Ibunya lalu meletakan kepalanya di pangkuan Bu Aisyah.
“Kenapa Ayy?” tanya Bu Aisyah seraya mengusap jilbab yang menutupi kepala Ayya.
“Mi, gimana perasaan Umi saat pertama kali nikah sama Abi?” tanya Ayya.
Bu Aisyah menjawab sambil tersenyum pada anak bungsunya itu. “Sepertinya tidak jauh beda denganmu Ayy. Karena Umi juga dulu dijodohkan oleh orang tua.”
“Seperti apa Umi menjalani rumah tangga atas dasar perjodohan? apakah Umi selalu bahagia bersama Abi?”
“Mana ada rumah tangga yang melulu bahagia sepanjang waktu. Yang ada, Umi harus belajar. Belajar mengenal karakter suami Umi, belajar menghadapi masalah demi masalah. Dan untungnya Abimu itu orangnya sabar dan pengertian,” ucap Bu Aisyah. “Belajarlah mengenal suamimu, seperti Umi mengenal Abimu, Ayy.” Tatapan wanita paruh baya itu begitu teduh, nasihatnya menenangkan hati gadis satu-satunya.
Ayya mengangkat kepalanya lalu menghadap wajah sang ibu.“Baiklah, Umi. Ayya akan berusaha menjadi istri yang baik seperti Umi.” Dia menarik napas seraya meremas jemari ibunya. Menata hati untuk memulai kehidupan baru.
“Sekarang cepatlah ajak mertuamu sarapan dulu.”
“Baik Umi.”
Ayya mengetuk pintu kamar Bu Lastri.
“Ayah, Ibuk! sarapan sudah siap,” seru Ayya dari balik pintu.
Bu Lastri membuka pintu kamar sambil tersenyum ramah, ia menggandeng tangan menantunya menuju meja makan, diikuti Pak Ramlan yang berjalan di belakangnya.
“Ayy, kamu sudah mengemasi barang-barangmu?”
“Sudah Buk,” jawab Ayya sambil tersenyum.
“Setelah sarapan, kita berangkat naik bis, gak apa-apa kan Ayy?”
“Ga apa-apa Buk.”
“Nanti Ibu telepon Ali suruh jemput di terminal,” tutur Bu Lastri.
Ayya tersenyum tipis sambil mengangguk.
***
Singkat kata mereka tiba di kota Jakarta, duduk di terminal menunggu Ali yang akan datang menjemput. Dari kejauhan Bu Lastri sudah bisa melihat mobil Ali sudah datang. Bu Lastri segera berdiri memberi isyarat bahwa mereka ada di sana. Mobil berhenti tepat di sampingnya, akan tetapi Bu Lastri sedikit kecewa karena yang mengemudi ternyata bukan Ali, melainkan supir mereka-Sukarman.
“Kemana Ali, Man?” tanya Pak Maulana.
“Den Ali pulang sebentar lalu berangkat lagi,” jawab Sukarman.
“Gimana sih itu anak? Bukannya jemput istrinya yang baru datang, malah ngilang,” gerutu Bu Lastri.
Lalu Bu Lastri memperkenalkan Pak Karman sebagai supir di rumahnya.
“Ohh ya, Ayy. ini Pak Karman supir di rumah kita.”
“Pak karman, Ayya ini istrinya Ali.”
“Ohh, jadi ini istrinya Den Ali? Cantiknya … cocok bener sama Den Ali.”
“Terima kasih Pak Karman,” ucap Ayya dengan senyumnya yang manis.
Pak Karman memasukan barang-barang bawaan ke dalam mobil, setelah itu mereka berangkat. Mereka tiba di sebuah rumah, akan tetapi bukan rumah yang terletak di kawasan perumahan elit karena lelaki yang menikahi Ayya bukanlah seorang CEO atau pun seorang Presdir tampan dengan harta yang melimpah ruah, melainkan hanya seorang polisi biasa, seorang abdi negara.
Rumah berlantai dua yang bergaya klasik ini, memiliki halaman yang sangat luas. Di sekelilingnya banyak pepohonan yang rindang dan udaranya pun sangat sejuk.
Bu Lastri juga mengenalkan pembantu di rumahnya, yaitu Bik Nur yang tak lain adalah istrinya Pak Karman. Mereka menempati rumah kecil di ujung kolam.
“Jadi, inilah rumah kita Ayy. Tidak terlalu besar sih, mudah-mudahan kamu betah,” ucap Bu Lastri.
“Rumahnya nyaman sekali, Buk. Ayya betah di sini.”
Bu Lastri tersenyum lalu membawa Ayya ke sebuah kamar di lantai atas.
“Ini kamar Ali, dan akan menjadi kamar kamu juga. Beristirahatlah dulu, jika makan siang sudah siap, Ibu akan memanggilmu.”
Ayya mengangguk. Setelah Bu Lastri pergi, Ayya menutup pintu dan melihat-lihat sekeliling kamar lalu merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Karena kelelahan Ayya tertidur pulas di sana.
Setelah beberapa jam tertidur, perlahan mata Ayya terbuka. Seseorang membuka pintu kamarnya dan masuk begitu saja tanpa mengetuk pintu.
Seorang laki-laki yang penuh bulu di wajahnya, brewoknya sangat lebat hampir menutupi mulutnya, menoleh ke arah Ayya sambil meletakan tasnya di lantai lalu ia masuk ke kamar mandi.
Ayya segera bangun dari tidurnya, mengucek-ngucek matanya seakan tak yakin dengan penglihatannya sendiri.
Apakah dia suamiku? Jadi dia setua itu? ucapnya dalam hati sambil duduk di ujung tempat tidur.
Ayya spontan berdiri sambil menunduk ketika suaminya keluar dari kamar mandi dengan sikat gigi di mulutnya. Ali mengambil handuk kecil dari lemari lalu menoleh sebentar ke arah Ayya sebelum kembali masuk ke kamar mandi.
“Kenapa masih berdiri disitu? Keluarlah! Aku tidak mau kalau kamu sampai melihatku telanjang,” ucap Ali lalu masuk ke kamar mandi.
Ayya kaget, dan bertanya-tanya. Kenapa suaminya berkata sangat kasar, kesalahan apa yang telah di perbuatnya?
Sambil berpikir Ayya keluar dari kamarnya, lalu berjalan menuju ke dapur.
“Ayy, kamu sudah bangun?” tanya Bu Lastri.
“Sudah Bu. Maaf ya Bu, Ayya gak bantu masak di dapur, tadi ketiduran,” ujarnya.
“Gak apa-apa Ayy, ada Bik Nur, kok, yang biasa masak.”
“Oh ya, Buk. tadi yang …,” ucap Ayya sambil nunjuk-nunjuk ke kamarnya lalu meraba dagunya sendiri.
“Kenapa Ayy?” tanya Bu Lastri sedikit bingung.
“Anu, Buk. Tadi yang brewokan itu … apa dia Mas Ali?” tanya Ayya terbata-bata.
Bu Lastri tersenyum lalu bertanya, “Maksud kamu, orang yang sedang berdiri di belakangmu?” sambil menunjuk ke arah belakang Ayya.
Ayya menoleh kebelakang lalu dia spontan menggeser badannya, ketika melihat laki-laki yang berbeda, ada di belakangnya.
BERSAMBUNG ...
pertama tekan like 👍, terus tekan love ❤️ supaya dpt notif kalau eps baru sudah up, selanjutnya boleh komen positif, kasih bintang 5 dan vote juga, makasih 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Halimatussakdiah Matondang
apa mereka dua orang yg berbeda,tapi kok bisa masuk ke kamar pengantin
2023-05-19
0
Supriati
cerita lucu
2023-05-19
0
Supriati
ceritanya seru
2023-05-19
0