Selsai makan, Ayya masuk ke kamarnya. Dilihatnya Ali sudah tertidur lelap di tempat tidurnya, Ayya tidak berani tidur satu ranjang bersama suaminya karena takut mengganggu, jadi dia hanya tidur di sofa malam ini.
****
Pagi hari kali ini, Ayya tidak terburu-buru pergi ke dapur karena dia pikir Ali tidak akan lagi mau memakan masakannya, jadi Ayya membiarkan bik Nur saja yang memasak. Suasana di meja makan sedikit hening. Ali menghentikan makannya disuapan keduanya, padahal biasanya wajah Ali berseri-seri menatap makanan dan selalu menghabiskannya.
Bik Nur merasa bersalah karena sejak tadi malam hingga sekarang pun Ali masih kehilangan nafsu makannya.
“Den, jam istirahat nanti, pulanglah untuk makan siang di rumah, bibik akan minta non Ayya yang masak lagi, gimana?” ucap bik Nur.
“Gak usah, bik,” jawab Ali datar.
“Kenapa memangnya, bukankah den Ali suka dengan masakan non Ayya? bahkan kue-kue yang ada di toples itu, den Ali 'kan yang menghabiskannya?” ucap bik Nur sedikit bercanda.
Ali sudah cukup terpojok di depan Ayya gara-gara ucapan bik Nur barusan.
“Den Ali tidak usah malu untuk mengakuinya,” ucap bik Nur lagi.
“Cukup, bik! Saya tegaskan ya sekali lagi, saya tidak suka, apapun yang dikerjakannya, saya tetap tidak suka!” dengan lantang Ali melontarkan kata-kata itu di depan Ayya. Ayya berdiri dengan mata berkaca-kaca.
“Baiklah! Ayya minta maaf karena sudah menjadi Gulma selama ini, mulai sekarang Ayya tidak akan muncul lagi di depan mas Ali.” Ucap Ayya lalu pergi ke kamar membereskan pakaiannya, kali ini niatnya sudah bulat untuk kembali ke kampung.
Ali pun merasa kaget dengan ucapannya sendiri, sebenarnya ia tidak bermaksud mengatakan itu pada Ayya, mungkin karena dia merasa terpojok dan gengsi mengakui yang sebenar ya lalu spontan ia mengatakan itu untuk menyembunyikan perasaannya.
Sementara Bu Lastri menjadi merasa bersalah terhadap Ayya dan orang tuanya karena selama ini selalu menempatkan Ayya dalam situasi yang sulit gara-gara anaknya sendiri.
“Al, ibu heran dengan kamu, di usiamu sekarang, kenapa kamu tidak pernah bersikap dewasa terhdap istrimu sendiri.” Ucap ibunya lalu menyusul Ayya ke kamarnya. Dilihatnya Ayya sedang mengemas baju-baju kedalam kopernya, Bu Lastri berpikir mungkin ada baiknya Ayya pulang ke kampung dulu, dari pada dia menderita di sini. Bu Lastri mencari pak Karman di belakang supaya menyiapkan mobil untuk mengantar Ayya.
Sebelum Ayya melangkahkan kakinya keluar rumah, ia menatap ke semua arah, karena rumah ini pernah dia anggap seperti rumahnya sendiri tapi hari ini dia harus pergi. Bahkan Ayya tidak sanggup untuk berpamitan dengan mertuanya karena dia takut berubah pikiran lagi. Dia hanya pergi menyelinap yang penting dia bisa pergi dari hidup Ali.
Ayya sudah berjalan sangat jauh ketika Bu Lastri mencari pa Karman.
“Pa Karman, cepat siapkan mobil. Kita akan mengantar Ayya pulang” perintah Bu Lastri.
Tiba-tiba Ali datang menyodorkan tangannya, meminta kunci mobil pada pada pa Karman. Pa Karman memberikan kunci mobil itu sambil bengong dan melirik pada Bu Lastri. Tanpa berkata apapun Ali langsung pergi menyusul Ayya.
Daerah ini sedikit jauh dari perkotaan, jadi Ayya harus berjalan lumayan jauh untuk mendapatkan taxi, akan tetapi tiba-tiba klakson mobil di belakang menghentikan langkahnya. Ayya menoleh ke belakang dan dia melihat Ali sedang mengikutinya. Kembali Ali membunyikan klakson namun Ayya tidak menghiraukannya. Lalu Ali menghentikannya mobilnya, turun dan mengambil koper dari tangan Ayya.
“Naiklah ke mobil, aku akan mengantarmu,” ucap Ali.
“Tidak perlu! aku bisa pergi sendiri, kau pergi saja bekerja ini sudah terlalu siang.”
“Ya ampun, ternyata kamu masih peduli padaku. Istri yang baik.” Ucap Ali sambil memasukan koper Ayya ke dalam mobilnya.
“sshhh, bicara apa dia? Seenaknya memasang wajah tak berdosa,” gumam Ayya sambil mengerutkan bibirnya.
“Ini bagian dari pekerjaanku, Ayy. Memastikan keselamatan warga ku karena di sini tempat yang sepi, sangat rawan kejahatan. Kamu mau di culik?” ucap Ali sambil melajukan mobilnya mendekati Ayya.
“Baiklah, antar aku sampai menemukan taxi.” Ucap Ayya sambil membuka pintu belakang yang sengaja di kunci Ali.
“Duduklah di depan, aku bukan supirmu, Ayy.”
Ayya menurut dan segera membuka pintu depan dengan sedikit kesal.
Ali hanya membawa Ayya berkeliling-keliling di daerah itu.
“Kenapa kita hanya berkeliling-keliling di tempat ini, bagaimana bisa aku mendapatkan taxi di sini,” ucap Ayya.
“Apakah kamu tidak menyadarinya, Ayy. Ini tempat yang sangat indah, berada di sini, kita tidak seperti sedang berada di kota Jakarta, bukan?"
Ayya menatap pemandangan sekitar, memang sangat indah, membuat Ayya ingin tinggal lebih lama seandainya saja sikap Ali tidak seburuk itu.
“Kamu lihat? Di sana ada sebuah rumah.” ucap Ali sambil mengarahkan mobilnya ke rumah itu.
“Iya, itu rumah yang bagus, memangnya kenapa?”
Ali menghentikan mobilnya di depan rumah itu.
Ali turun, pandangannya lurus ke arah rumah yang berada tepat di hadapannya, lalu ia menoleh pada Ayya yang masih duduk di dalam mobil.
“Ayo turun!” ucapnya.
Ayya pun turun dengan perasaan yang penuh tanda tanya.
“Bagaimana menurutmu dengan rumah ini?”
“Sangat bagus, pemandangan sekellilingnya pun sangat indah,” jawab Ayya sambil memandang terkagum-kagum.
“Aku membangun rumah ini 5 tahun yang lalu.”
“I-ini rumah mu?” tanya Ayya sambil menoleh ke arah Ali.
Ali membuka pintu rumah itu dan mengajak Ayya masuk bersamanya. Ayya kaget bukan kepalang karena seisi rumah di penuhi foto seorang wanita cantik dan beberapa diantaranya adalah foto Ali bersama wanita itu bahkan satu foto dengan bingkai paling besar terpasang di dinding ruang tamu, itu adalah foto pernikahan Ali dengan Vina, 5 tahun yang lalu. Sungguh Ayya tidak menyangka bahwa suami nya ternyata sudah beristri, dia merasa pilihannya untuk pulang ke kampung kali ini tidak salah lagi.
Ali menoleh ke arah Ayya yang masih terpaku memandangi foto-foto itu.
“Kamu tidak ingin bertanya padaku, Ayy?” tanya Ali yang sedang ingin menjelaskan banyak hal pada Ayya.
Ayya menunduk menahan rasa sesak di dadanya.
“Tidak perlu lagi, karena aku bukan siapa-siapa, kamu tidak perlu menjelaskan apapun,” ucap Ayya yang saat itu ingin sekali menjatuhkan butiran bening di sudut matanya.
“Namanya Vina, dia adalah satu-satunya teman yang aku miliki sejak aku tinggal di jakarta, sejak SMP aku tinggal bersama orang tua Ibra di Jakarta ini, sementara Ayah sama ibu masih bolak balik ke kampung karena harus menjaga kakek yang sakit waktu itu.
Bisa di bilang Vina adalah cinta monyet-ku tapi kami tidak pernah putus sampai melanjutkan sekolah di SMA yang sama, bahkan hubungan kami berlanjut meskipun kami kuliah di tempat yang berbeda.
Aku menyukainya karena dia gadis yang sederhana dan polos, hidupnya tidak seberuntung orang lain, karena aku sering melihat dia menjadi sasaran kemarahan ayah tirinya, kesulitan hidupnya membuat dia berubah menjadi gadis yang ambisius, apalagi sejak dia terjun ke dunia modeling, aku seperti tidak mengenalinya lagi, meskipun begitu aku tetap menyayanginya karena aku terlalu nyaman dengannya.
Kami tetap merencanakan masa depan bersama-sama dan akhirnya memutuskan untuk menikah 5 tahun yang lalu.”
“Di mana saat ini dia berada?” tanya Ayya sambil menatap mata Ali yang kosong.
Ali terdiam sebelum melanjutkan ceritanya.
BERSAMBUNG ...
pertama tekan like 👍, terus tekan love ❤️ supaya dpt notif kalau eps baru sudah up, selanjut nya boleh komen positif, kasih bintang 5 dan vote juga, makasih 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Rifaatul mahmuda Rifa
kasian juga
2023-03-09
0
Devi Triandani
pulang aja ayya...masih banyak laki2 yg lbh baik darinya
2022-10-15
0
Gahara Rara
harusnya biarkan ayya pulang dulu...biarkan ali betul-betul menyadari kesalahannya... emosiku belum ilang ini thor udah baikan aja 😀😀😀
2021-12-16
0