Pricilia atau Pricil tertawa atas permohonan Riki lalu berkata dengan angkuh.
"Aku sama sekali tidak tertarik dengan apa yang kalian lakukan, terlebih kalian hanya pengangguran yang melakukan hal konyol bukan... Aku pergi."
"Tunggu sebentar, apa kekuatanmu juga hal yang konyol."
Ketika Pricil melewati keduanya suara Nina menghentikannya. Ia berbalik dengan emosi marah.
"Apa maksudmu?"
Bel sekolah berbunyi dan semua murid sudah memasuki sekolah. Hanya ketiga orang itu saja yang masih berdiri di luar.
"Kau bilang kami melakukan hal konyol, apakah kau sendiri sadar bahwa di sini kaulah yang melakukan hal yang lebih konyol dari kami."
"Ah, kau gadis kecil yang kurang ajar."
"Kau hanya bermain main dengan kucing tanpa tahu kami semua sedang berjuang keras melawan para siluman di luar sana, kau tahu betapa kami menderita harus menyaksikan kematian orang-orang di depan kami, apa itu yang kau katakan konyol."
"Tunggu, bagaimana kau tahu bahwa aku bermain-main dengan kucing?"
"Jangan merubah topik."
Nina jelas tidak mungkin mengatakan bahwa dia mengintip dari cctv kota.
Merasa geram Pricil berjalan mendekat, ia melayangkan sebuah pukulan pada Nina namun dengan mudah ditangkap tangan Riki yang sudah berdiri di depannya.
"Kau terlalu berlebihan hanya untuk memukul seorang anak kecil karena kekonyolanmu."
"Cih," pricil mendecapkan lidahnya kesal.
Dia menarik tangannya kembali lalu melompat, memutar tubuhnya selagi melayangkan tendangan sejajar dengan wajah Riki. Mudah saja bagi Riki menahan dengan punggung tangannya tanpa merasakan sakit ataupun terintimindasi.
Angin berhembus melewati rambutnya.
"Pakaian dalammu kelihatan loh," ucap Nina polos.
"Kyaaaaa..."
Serangan yang lebih kuat dari serangan fisik, serangan psikologi.
Selagi memegangi kepala dengan kedua tangannya, Pricil berguling guling di tanah selagi berteriak.
"Kenapa......Kenapa.....kenapa.....kenapa....kenapa....kenapa ini terjadi, aku baru menunjukkan hal memalukan pada pemuda."
"Aku tidak melihat hanya Nina saja."
Dia merasa sedikit lega.
"Kau ini bodoh kah, salahmu sendiri memperlihatkannya padaku, untunglah aku adalah gadis baik yang tidak sombong dan rajin menabung, aku merekamnya di ponsel barusan."
"Uwaaah, hapus itu... aku mohon."
Riki hanya tersenyum pahit.
"Dengan syarat, minta maaflah pada kami, selama ini kami berjuang dengan mempertaruhkan nyawa kami."
Riki berbisik pada Pricil.
"Walau dia kecil umurnya lebih tua dari kita."
"Loli kah?"
Riki mengangguk mengiyakan.
Mengesampingkan hal itu, seolah perkataan Nina masuk ke dalam pikirannya, Pricil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Aku benar-benar minta maaf atas perkataanku barusan."
Nina menunjukan video tersebut telah dihapus oleh jarinya.
"Yah, jika kau sudah mengerti, tak apa.... Tapi ngomong ngomong Riki."
Riki menoleh saat namanya dipanggil.
"Aku sudah sedikit tumbuh tinggi tahu." Nina mengembungkan pipinya selagi mengalihkan pandangannya ke samping.
Dan Riki membalasnya dengan senyuman.
Dia jelas tak ingin disebut Loli.
Keheningan terasa beberapa saat, sampai Pricil mengangkat tangannya meminta perhatian.
"Begini saja, kuyakin Riki lumayan kuat. Bagaimana kalau kita bertarung, jika kau bisa mengalahkanku, aku akan bergabung dengan kalian."
"Aku setuju saja, tapi bagaimana kalau aku yang kalah?* balas Riki.
"Salah satu kalian harus menjadi pelayanku dan mengurusi kucing-kucingku, bagaimana?"
"Taruhannya terasa berat."
"Setuju," orang yang menjawabnya tanpa ragu adalah Nina.
"Sepakat. Sekolah besok libur jadi jam 10 pagi, temui aku disini dan kita akan meyelesaikan semuanya."
"Oke."
"Tunggu sebentar."
Tanpa menghiraukan protes Riki yang tidak dianggap, Pricil meninggalkan keduanya dengan berlari panik. Wajar saja dia melakukannya karena beberapa menit yang lalu bel sudah berbunyi.
"Ah, gawat... Aku terlambat, aku pasti kena hukuman nih."
Ekornya bergoyang saat ia berlari meninggalkan keberadaan di belakangnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments