Kepercayaan

"Kecelakaan Amar membuatku membenci sepak bola. Tapi tanpa sadar aku melatih kalian untuk menjadi pemain sepak bola. Tidak hanya itu, aku juga sering menonton bola di TV maupun di lapangan. Tanpa di sadari, aku masih mencintai sepak bola." Pak Edi mengelus sarung tangan kesayangannya itu. Dia sempat benci, tapi pada akhirnya dia menggenggamnya lagi, sarung tangan tua yang pernah menjadi rekan berguling ditanah.

"Sudah kuduga Bapak masih menyukai sepak bola." Terlukis senyuman indah di wajah Al, dia lega sekaligus senang, Apa yang dia pikirkan tentang Pak Edi masih suka bola memanglah benar. walau dia sempat takut, Pak Edi akan memarahinya dan merobek sarung tangan itu karna mengingatkannya pada masa lalu yang menyakitkan itu.

"Jika saja Amar masih hidup, mungkin kami menjadi kakak adik yang bermain untuk timnas. Sayang mimpi itu tidak bisa jadi kenyataan." Sebuah penyesalan ada, masih begitu pekat di hati Pak Edi, namun tetap takdir tak bisa diubah, kematian seseorang memang sudah ditakdirkan, hanya perlu mengikhlaskan, walau jelas tidak semudah yang dikatakan.

"Boleh saya bawa sarung tangan ini mencapai tujuannya? Sejak awal sarung tangan ini bapak beli untuk membawanya ke timnas kan?"

Al serius, tatapannya penuh makna, retina matanya tidak bergetar, dia tidak goyah, itu bukan sebuah omong kosong anak berusia lima belas tahun, seolah ada takdir luar biasa di balik matanya.

Pak Edi diam, dia bisa merasakan sesuatu yang mulai bangkit, semangat yang membuat begidik. Ah Pak Edi ingat, dia jadi merasa de Javu. Pak Edi, melihat sosoknya yang penuh hasrat menjadi kuat di dalam diri Al, dia merasa familiar dengan semangat yang tak gentar itu.

"Al..."

Seketika Pak Edi tersenyum melihat tekat dan semangat anak itu, mungkin bisa dipercaya? Bolehkah Pak Edi menitipkan mimpinya untuk membawa sarung tangan itu ke jenjang internasional? Percaya pada anak yang seperti gambaran dirinya? Boleh, kan?

"Baiklah kalo begitu nih ambil saja ini buat mu. Lanjutkan perjuanganku dengannya!" Pak Edi memberikan sarung tangannya kepada Al. Bagaikan  raja yang memberikan tahtanya kepada sang Pangeran. Al harus membawa mimpi Pak Edi bersama sarung tangan ini.

"Ok siap! Saat aku menjadi kiper timnas, aku akan memamerkan sarung tangan ini kepada orang-orang!" Matanya terbuka lebar menatap Pak Edi. Al sepertinya siap meniti karir bersama sarung tangan pemberian Pak Edi itu.

Pada hari itu, hari yang tidak tercatat di dalam sejarah manapun, tidak tertulis di buku penghargaan manapun. Tapi Al tidak akan pernah melupakan hari itu.

Hari dimana dia, naik satu level untuk hasrat menjadi lebih hebat, mimpinya tak lagi sekadar menang dan mengalahkan Chandra, pandangannya terbuka, dia sadar, mimpinya lebih besar.

Pak Edi juga belum tau, pada saat itu dia menitipkan sarung tangan dan impiannya pada monster yang namanya akan dikenal diseluruh penjuru dunia, bak sang legenda.

......................

Keesokan harinya.

Tidak hanya SMA 70 yang giat berlatih. SMA Wismaraja dan SMA Trisatya juga giat untuk berlatih untuk menghadapi turnamen antar sekolah.

Terutama di SMA Wismaraja. Tampak Chandra dan Wilson melatih tendangannya.

"Weh kau kan playmeker. Harusnya berlatih untuk memberikan umpan-umpan matang ke aku bukan melatih shootingan." Ucap Wilson kepada Chandra.

"Berisik lu Son. Passing dan Drible ku sudah sekelas pemain Liga Indonesia. Lagian tidak ada salahnya untuk melatih shootingan."

"Apakah kau tidak mempercayai ku sebagai pemburu goal?" Tanya Wilson.

Mendengar hal itu Chandra terlihat kesal. Dia mencoba menarik kerah baju Wilson.

"Ngomong begitu lagi ku hantam kau!."

"Coba saja kalo kau berani." Wilson menjawab tantangan Chandra. Tentu saja dia berbadan besar dan jago berantam pula.

"Ya kau menang. Badan kau besar tentu saja aku akan kalah jika melawan mu." Chandra melepaskan genggamannya itu.

"Bukannya tidak mempercayai mu. Tapi kau sudah sering kali di tahan musuh. Saat melawan SMA 48 dan saat melawan SMA 70 kau di kalahkan." Tambah Chandra. Dia terlihat kesal jika mengingat pertandingan tahun lalu.

"Ya benar. Aku akan latihan untuk meningkatkan performa ku." Sahut Wilson.

"Playmeker dan Striker kedua posisi ini harus saling memahami satu sama lain. Jika di samakan di volly aku ibaratkan Setter dan kau ibaratkan Spiker. Makanya kau harus percaya kepadaku aku akan membuat mu menjadi striker top di kota ini!" Chandra menarik senyuman smirknya, sudut senyuman mengerikan yang mampu mengeluarkan aura mencekam, dia serius dengan omongannya.

"Yah aku akan mempercayai mu sobat." Merekapun melakukan tos sebagai tanda seling mempercayai.

"Yaudah aku akan latihan shoot kau lihat ya Son." Saat Chandra melakukan shooting. Tiba-tiba saja ada sosok pria yang lari ke arah bola.

Desh..

Tanpa Chandra sadari dia bisa menahan shootingan dari Chandra.

"Bang main bola kah? Ikut dong aku jadi kiper!" Kata pemuda dengan tinggi 171 CM tersebut.

Siapa dia? Reflek dan loncatannya mengerikan padahal tingginya hampir setara denganku

Batin Chandra.

"Oi siapa kau?" Tanya Wilson ke orang itu.

"Oh gue Alfian Gustiawan. Gue anak baru di sekolah ini baru pindah hari ini dari Jakarta." Sahut pemuda itu. Ternyata namanya Alfian dia adalah murid pindahan dari Jakarta. Wajahnya sangat tampan bahkan dia selalu di ikuti cewek-cewek di sekolahan.

"Gak usah pakai Lo Gue dah ini bukan Jakarta coy." Wilson terlihat kesal dengan Alfian. Tetapi tidak dengan Chandra. Dia terlihat menarik di mata Chandra.

"Keren ... Eh tadi namamu Alfian kan? Bagaimana jika kau masuk Ekskul sepak bola kami?" Chandra menawarkan ekskul kepada Alfian. Tentu saja karena Alfian berhasil menarik perhatian Chandra.

"Ekskul bola? Wahh keren gue mau dong." Alfian dengan senang hati menerima tawaran Chandra.

"Nice... Lo sekarang anggota ekskul sepak bola SMA Wismaraja. Ayo kita memenangkan turnamen bersama." Ucap Chandra, dia tampak senang.

"Syarat utama masuk ekskul tidak boleh pakai kata lo gue. Sekali lagi ku katakan, ini bukan Jakarta." Wilson kesal dengan cara omongnya Alfian. Terlihat dari Ekspresi wajahnya.

Setelah itu Wilson pergi meninggalkan Alfian dan Chandra.

"Dia adalah kapten jika kau tidak mendengarkan perkataannya kau akan di hantam." Ucap Chandra memberitahukan Alfian untuk tidak main-main dengan Wilson.

"Iyakah? Astaga ngerinya..." Tapi ekspresi Alfian benar-benar tidak sinkron dengan kalimat yang baru dia ucapkan barusan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!