Mimpi

......................

"Ah, maaf sudah bertanya Pak." Al menunduk merasa bersalah, setelah dia mendengar segala cerita dari Pak Edi, soal masalalunya, soal mimpi dan impiannya yang harus dia kubur dalam-dalam di dalam lubuk hatinya, karna trauma yang mungkin tak kan pernah hilang.

Pun dengan Adit, dia diam saja dengan pandangan menunduk kebawah, tidak berani menatap mata dan ekspresi wajah Pak Edi.

Pak Edi hanya diam, dia mencoba mengatur suaranya, tangisannya tertahan di tenggorokan, rasa sakit dan teriakan ia simpan di ujung lidahnya, tidak boleh keluar barang sedikitpun.

Mata yang berbinar, mencoba menahan sesak yang melanda di dada, padahal dia tau berat membahas ini, tapi dia tetap membahasnya. Kenapa?

Al yang ada disebelah Pak Edi bisa merasakan aura gelap itu, Al juga ikut merasa sesak.

"Kalian, latihan dulu sendiri. Saya ada urusan." Pak Edi bangkit berdiri, pada akhirnya dia kalah pada air mata yang nyaris tumpah. Sebagai orang dewasa yang banyak pengalaman, Pak Edi memutuskan menjauh sebelum air mata itu jatuh.

Tidak mudah untuknya membahas soal sang adik, sangat berat untuk mengangkat kembali cerita kelam yang selalu menjadi beban di punggungnya.

"Ah, ya, baik Pak. Terimakasih sebelumnya sudah mau menemani kami latihan." Al diam, sesak yang dia rasa juga sama halnya dengan yang Adit rasa.

Hening.

Al dan Adit sama-sama diam, menatap punggung Pak Edi yang perlahan mengecil, hilang terhalang pintu.

Pak Edi pergi, Al dan Adit hanya sisa berdua.

"Ayo latihan Al, kita gak--"

"Gak boleh buang-buang waktu kan Bang? Paham! Ayo latihan Bang!"

Al mengerti, dia juga ikut bersimpati, tapi itu sudah cerita lama, meski membuat Al kepikiran, Al tetap harus melanjutkan latihan hari ini, dia tidak lagi boleh membuang-buang waktu. Masih ada Chandra diujung sana, masih ada Ferza yang mungkin nyaris di garis akhir, masih banyak orang yang ingin Al kejar.

Dia harus latihan!

Al dan Adit bangkit berdiri, keduanya sama-sama bersiap untuk berlatih lagi, tidak boleh buang-buang waktu.

Latihan

Latihan

Latihan,

Sampai mereka bisa merasakan menyenangkan berdiri di lapangan dengan mengangkat kemenangan.

Latihan kembali dilanjutkan, namun yang tidak Al maupun Edi sadari adalah, Danang yang sejak awal memperhatikan mereka. Danang juga mengambil posisi dimana dia bisa mendengar kembali cerita Edi yang dia lihat sendiri puluhan tahun lalu.

Baik Edi, Danang pun tak bisa melupakan cerita yang sudah lama berlalu itu. Rasa sakitnya masih terasa, seolah tragedinya baru kemarin Selasa.

Danang kembali mengingatnya, puluhan tahun yang lalu, ekspresi Edi memaksa Danang kembali mengingat detail-detail tragedi itu, dimana setelahnya Danang benar-benar kehilangan sosok rekan kiper yang sehebat Edi. Tidak ada partner luar biasa yang Danang temukan lagi, tidak ada kiper yang bisa menjadi standar tendangannya sebaik Edi.

Flashback

Saat pemakaman Amar. Edi tampak yang paling terpukul atas kematian adiknya. Danang mencoba menenangkan teman seperjuangannya itu.

"Edi sabar ya. Amar pasti sudah tenang disana." Ucap Danang.

Edi tetap menangis, memangnya apa? Ucapan Danang itu sihir? Mustahil kan Edi berhenti menangis saat sang adik tiada begitu cepatnya. Tapi tetap, Edi berterimakasih atas simpati yang Danang berikan.

Setelah pemakaman Amar. Semua orang pulang ke rumah duka. Teman-teman Edi pamit pulang ke rumah masing-masing karena sudah sore.

"Edi kami pulang dulu ya sudah sore mau mandi nanti kami di cariin orang tua kami." Ucap Danang mewakili teman-temannya.

"Ya hati-hati makasih udah datang." Sahut Edi dengan suara yang pelan.

Semua pulang, terkecuali Danang. Dia berpura-pura pulang. Danang khawatir dengan Edi. Dia mencoba memantau keadaan Edi dari jauh, bagi Danang Amar sendiri sudah seperti adiknya, dia juga ikut terpukul akan kepergian Amar yang tiba-tiba.

Saat sedang bersembunyi memantau Edi. Tiba-tiba saja Edi keluar dari rumah sembari membawa peralatan sepak bolanya. Edi pergi sejauh mungkin dari rumah. Danang pun mengikuti kemana Edi pergi.

Sampai pada disuatu tempat. Edi meletak semua peralatan sepak bolanya di tanah. Dia mengeluarkan korek api yang ada di dalam kantong celananya. Dia membakar semua peralatan sepak bolanya dimulai dari bolanya lalu sepatunya. Sampai pada akhirnya hanya tersisa sarung tangan kesayangannya. Edi tampak ragu-ragu untuk membakar sarung tangan tersebut. Tapi tekatnya sudah bulat. Dia menjatuhkan sarung tangannya di kobaran api tersebut lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Melihat itu. Danang cepat-cepat mengambil air lalu memadamkan apinya. Danang hanya bisa menyelamatkan sarung tangan Edi. Walaupun sudah banyak yang terbakar.

Danang memperbaiki sarung tangan itu secara diam-diam. Dia dibantu Ibunya untuk menambal sarung tangan itu. Danang berniat memberikan kepada Edi kembali. Tetapi Edi tampaknya sudah membeci sepak bola. Dia bahkan tidak terlihat lagi di lapangan bola.

......................

"Semuanya boleh pulang."

Setelah mendengar aba-aba Pak Danang, semuanya kembali bersiap untuk pulang. Toh memang waktu pulang mereka sudah ditentukan.

"Al, kamu ikut Bapak sebentar." Pak Danang memanggil Al. Sedikit heran, tapi Aku tetap mengikuti langkah Pak Danang.

Dan disinilah mereka, disebuah ruangan yang sepi, hanya ada Pak Danang sendiri dan juga Al. Al diam, terus memperhatikan Pak Danang yang sejak tadi mengulik tasnya.

"Pak, kenapa bapak manggil saya kesini?" Tanya Al lagi, saat pertanyaannya tadi belum dijawab sama sekali.

Pak Danang masih diam, dia tidak mengatakan apa-apa dan hanya terus fokus membongkar tasnya saja.

"Pak? Saya mau pu--"

"Edi udah cerita soal impian dan tragedi yang terjadi sama adiknya kan?"

Perkataan Pak Danang sontak membuat Al terdiam ditempatnya, mulutnya kelu, dia bingung mau jawab apa, tidak mudah pastinya untuk Pak Edi maupun Pak Danang.

"Ya, Pak Edi sudah cerita, turut berduka cita ya Pak." Al menunduk, dia jadi kembali kepikiran lagi. Seseorang yang harus mengubur mimpinya karna trauma dan rasa bersalah.

"Sejak saat itu, Edi gak mau lagi main bola, dia bahkan membuang juga membakar seluruh barang-barang yang berkaitan dengan sepak bola, termasuk sarung tangan kesayangannya." Pak Danang akhirnya menunjukkan barang yang sejak tadi dia cari. Sebuah sarung tangan yang lusuh, nampak tua, banyak kain perca yang tertambal disana.

Sebuah sarung tangan usang yang tak lagi kuat, abu hitam masih lengket disana walau sudah dicuci berulang kali.

Pak Danang, menyimpannya selama ini, beliau selalu membawanya kemana-mana, mencari waktu yang tepat untuk mengembalikannya. Ia membawa sarung tangan, lambang dari impian Edi kecil, berharap bisa diterima oleh Edi dewasa saat ini.

Tapi sayang, waktu baik tak pernah datang, Danang yakin Edi akan membakar sarung tangan itu lagi, jika dia memberikannya. Karna luka trauma atas rasa bersalah itu tak pernah reda bahkan setelah waktu berlalu selama ini.

"Sarung tangan ini ... adalah simbol impian teman masa kecil ku. Edi, ingin membawa sarung tangan ini sebagai kiper timnas Indonesia kelak." Danang tersenyum penuh makna, tatapannya penuh kenangan, berat untuk mengingat, tak kuasa untuk melepaskan. Baik atau buruk, kenangan adalah bagian perjalanan hidup. Danang mengerti hal itu.

"Sarung tangan tua yang masih ada, saat pemiliknya mencoba memusnahkannya."

Deg

Al tersentak halus, bola matanya sedikit membesar, seperti ada angin segar yang menerpa dirinya, kepakan sayap terdengar di kepalanya, sebuah cahaya entah darimana seolah merasuk dirinya.

Sesak.

Impian adalah semangat hidup, saat impian itu redup, semangat hidup juga nyaris tertutup.

......................

Aku ... rasanya tidak bisa menutup mata, berpura-pura tidak tau bahwa aku pernah mendengar cerita ini.

Al terus berlari kencang, gelap malam tak menghalanginya, berat ransel yang ia bawa tak boleh memberatkan langkahnya untuk terus cepat-cepat menuju kesana. Ia sudah berkeliling parkiran sejak tadi, guna menemukan orang itu.

Lucky!

"Pak Edi!!" Teriak Al, akhirnya dia bisa menemukan pria tua itu. Pria tua yang baru saja membuka pintu mobilnya.

"Ada apa kamu larian begitu? Hah? Ada hantu kah?"

Al tidak mempedulikan pertanyaan konyol itu, Al sibuk menarik napasnya, mengatur setiap oksigen yang masuk dalam tubuhnya.

"Bapak, apa masih memiliki mimpi untuk menjadi kiper timnas?!" Al menatap Pak Edi, matanya tajam, pupil hitamnya gak bergetar, dia serius, pertanyaan ini bukan basa-basi semata.

Deg

Satu tombak tajam menancap tepat di jantung Pak Edi, langsung memberikan serangan sesak yang membuat sulit bernapas. Antara marah dan kesal, juga sedikit rasa haru, Pak Edi mendecih sebentar.

"Aku sudah tua, usia ku tidak mendukung. Tapi, bahkan jika aku masih muda sekalipun, aku tidak akan bermain sepak bola lagi." Pak Edi membuang wajahnya, ia tak ingin menatap Al lagi.

"Lantas, apa mimpi bapak itu benar-benar sudah padam? Tolong katakan dengan jelas Pak!" Al tidak bergeming, dia masih butuh jawaban.

"Hanya karna saya menceritakan masa lalu itu, bukan berarti saya masih ingin menjadi kiper--"

"Bagaimana janji bapak dengan sarung tangan ini? Bapak berjanji kan untuk membawanya?" Al menunjukkan sarung tangan itu pada Pak Edi.

Sarung tangan yang jelas sangat Pak Edi kenali, sarung tangan yang menjadi rekan seperjuangannya dulu, sarung tangan yang paling dia sayangi, dia cuci dan jaga sepanjang hari.

Mana mungkin, Pak Edi bisa lupa begitu saja kan?

Terpopuler

Comments

Lthf

Lthf

cerita nya baguss lanjutt htorr

2023-01-14

1

Zul Khaidir

Zul Khaidir

up

2023-01-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!