Harus ku tangkis!

Al meminta Pak Edi buat melempar bola tenis kepadanya. Dia tampak bersemangat ingin menangkis bola itu, tatapannya tajam, kedua sisi giginya ia rapatkan, hingga terdengar suara gigi geraham berbenturan pelan.

"Lempar sini sekuat mungkin akan kutangkis." Ucap Al dengan percaya diri. Tangannya ia rentangkan, matanya fokus mengikuti kemanapun arah boleh itu pergi, perhitungannya harus sampai, bola itu harus ditangannya.

Harus!

"Yah, itu pun kalau bapak bisa menembus pertahanan saya." Al menarik sudut bibirnya, ekor matanya menatap pak Danang penuh percaya diri.

Dia fokus.

Deg!

Seperti gagak hitam yang mengepakkan sayapnya dengan gagah, Al merentangkan tangannya, dari dirinya jelas terpancar aura berat yang bisa menekan Atmosfer disekitarnya.

Pak Edi bisa merasakan semangat itu, seperti ada aliran segar yang berjalan di hatinya yang sesak, tidak jelas apa yang membuat Al tampak berbeda, tapi yang jelas Pak Edi seperti ingin memberikan perhatian penuh pada bocah yang menarik ini.

"Boleh juga kau." Pak Edi tersenyum tipis, anak ini menarik di matanya, namun apakah kepercayaan dirinya sebanding dengan skillnya? Beliau cukup penasaran.

Tanpa pikir panjang Pak Edi mengambil ancang-ancang. Tangan kanannya memegang raket dan tangan kirinya memegang bola yang akan di lempar ke arah Al. Sesekali dia memantulkan bola ke tanah sebelum melemparkannya.

Dengan sekuat tenaga Pak Edi melempar bola itu ke arah Al. Bola begitu cepat arahnya juga tidak mudah untuk di tebak. Jelas ini lebih sulit dari yang tadi. Sepertinya Pak Edi ingin menguji kecepatan refleknya Al.

Al dengan insting kipernya melompat dan mencoba untuk meraih bola tenis itu. Namun sayang bola tenis hanya mengenai ujung dari sarung tangan Al. Dia terlambat sekian detik saja untuk menangkis bola itu. Dia terjatuh melihat bola tenis itu sudah melewatinya.

Kesal!

Seperti diteriaki ribuan penonton Al kecewa pada dirinya sendiri, tapi jatuhnya bola ke tanah tidak membuatnya menyerah, api semakin membara tatkala dia bertekad untuk membuat bola itu mendarat ditangannya dengan sempurna.

Pak Edi menyipitkan matanya.

Tidak terlalu buruk.

Pak Edi tersenyum tipis, refleks Al lumayan untuk seorang pemula. Tak banyak kiper pemula bisa memiliki refleks hingga menyentuh bola tenis yang beliau lemparkan.

Pak Edi pun meminta Adit bersiap untuk gilirannya. Tapi Al meminta Pak Edi untuk mengulangnya.

"Lagi." Ucapnya dengan senyuman seakan akan dia benar-benar kecanduan dengan menangkis bola.

Tidak boleh! Al belum menangkisnya! Bola itu tadi jatuh ke tanah, dahaga nafsu untuk menangkis tak kan hilang jika Al belum mencapainya. Nafsu membara bagaikan sungai kering itu, akan terisi sempurna jika Al berhasil menangkis lemparan yang membuatnya jatuh tadi.

"Nanti gantian dulu." Sahut Pak Edi agar Adit mendapatkan gilirannya juga. Pak Edi memang tertarik dengan Al, tapi dia juga harus adil dan melihat potensi yang Adit miliki.

"Percaya saya, sekali lagi saja! Akan saya buktikan saya layak dilatih sebagai kiper!" Al semakin semangat, terlihat jelas di ekspresi wajahnya.

Seperti magnet yang menarik, Al fokus pada bola kecil yang dipegang pak Edi, sulit bagi beliau untuk menolak hasrat menangkap bola yang Al miliki. Matanya memancarkan ketidakpuasan pada dirinya sendiri.

Pak Edi melempar bola itu sekuat tenaga. Al mengikuti pergerakan bola itu.

Fokus!

Al bergerak bagai serigala yang melompat menerkam mangsanya.

Dia berhasil!

Bola itu tak lagi menyentuh ujung jarinya, tapi sudah dia tahan walau menggunakan wajahnya. Refleks tangan belum memumpuni.

Seketika Al tertidur diam di rumput. Pak Edi mencoba menghampirinya karena khawatir dengannya.

"Al kamu gapapa?" Tanya Pak Edi.

Al bangun lalu berteriak.

"Yaa. Aku berhasil menangkis bolanya!!" Tidak memperdulikan kondisi hidungnya yang bercucuran darah. Dia tampak senang karena berhasil melewati level latihan kali ini. Teriakannya tersebut sampai terdengar oleh pemain lainnya dan langsung membakar semangat pemain lainnya untuk bersungguh-sungguh latihan.

"Semangat kali dia, kita gak boleh kalah ayo latihan!" Ucap Ridwan yang mendengar teriakan Al. Teriakan Al memicu semangat pemain lainnya, tidak boleh kalah, tidak boleh lengah.

Riski yang tadi lelah kembali bersamangat, Sang striker kita yang satu ini tak ingin kalah heboh dengan sang kiper yang tampaknya sudah mencapai satu level disana.

Begitu juga dengan para pemain lainnya, teriakan kesuksesan Al membuat mereka semakin berusaha, tidak akan mereka biarkan Al naik level sendirian.

Terlihat dari jauh Pak Danang tersenyum melihat anak asuhnya tersebut. Sudah dia duga sejak awal, Al itu menarik.

"Hidung mu berdarah jangan teriak. Nah ini tisu cepat di lap." Ucap Pak Edi sedikit khawatir dengan kondisi Al.

"Gimana Pak dah jago belum?" Tanya Al sembari membersihkan darah di hidungnya.

"Gak B aja. Yok Adit siap-siap." Sahut Pak Edi.

"Jahatnya." Meski begitu Al senang, dia bisa menahan bola itu agar tidak melewati dirinya. Kesenangan seperti ini yang membuat Al terus lagi dan lagi ingin bermain bola sebagai seorang kiper.

......................

Sekian lama berlatih para pemain di minta untuk beristirahat. Pak Edi memberikan minum kepada Al dan Adit yang sudah keletihan karena latihan. Hidung Al sudah lebih baik, walau masih ada sisa kemerahan di hidungnya.

"Kenapa bapak dulu berhenti jadi kiper?" Tanya Al sembari mengelap keringat di dahinya. Tidak ada alasan khusus, hanya penasaran saja.

Medengar pertanyaan Al. Pak Edi terdiam sejenak dia sesekali memandangi langit sebelum menjawab pertanyaan Al.

"Dulu Bapak punya mimpi jadi kiper timnas Indonesia. Mimpi Bapak di dukung penuh oleh keluarga Bapak termasuk Adik Bapak satu-satunya." Setelah sekian lama diam Pak Edi mencoba menjawab pertanyaan Al dengan pelan-pelan.

"Bagus dong Pak kalo di dukung penuh oleh keluarga." Sambung Al. Jarang-jarang orang tua mensupport anaknya seperti ini, kebanyakan orang tua lebih suka anaknya mengejar pendidikan akademis yang katanya lebih pasti dibanding menjadi seorang atlet. Padahal setiap orang memiliki bakat dan kemampuannya sendiri kan?

"Ya bagus jika insiden itu tidak terjadi."

"..."

Hening, baik Al maupun Adit keduanya sama-sama diam, mereka membatu saat melihat Pak Edi meneteskan air mata itu.

Padahal jika melihat watak Pak Edi saat latihan tadi, beliau itu bukan orang yang mudah menangis, lantas kenapa? Apa yang terjadi?

Insiden apa yang membuat pria tua ini mengubur mimpinya menjadi kiper timnas Indonesia?

Terpopuler

Comments

Zul Khaidir

Zul Khaidir

up

2023-01-08

0

Mhd Alzain

Mhd Alzain

Up thor jan lama² penasaran nih sama kelanjutannya😅

2023-01-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!