JANGAN PERGI!

Tiba di perusahaan, Sean membawa Zura ke ruangan yang akan menjadi tempatnya bekerja. Saat masuk, Zura tidak pernah membayangkan sebelumnya jika ruangan itu luas juga besar. "Apa ruangan sekretaris di semua perusahaan sebesar ini?" ucapnya dalam hati. Sean memberitahu adiknya jika itu adalah tempat bekerjanya. Dia juga akan meminta seseorang untuk mengajari Zura menjadi seorang sekretaris handal juga profesional. Saat mereka berada di ruangan, tidak lama Edgar datang.

"Kau? Untuk apa kau datang kemari?" tanya Zura.

"Aku yang memintanya untuk datang." jawab Sean.

Sean memberitahu Zura jika Edgar adalah orang yang akan mengajarinya selama satu bulan ini. Dia akan memberitahu semua hal yang berkaitan dengan pekerjaannya sebagai seorang sekretaris bos. Mendengar hal itu, baik Zura maupun Edgar sama-sama terkejut.

"Apa tidak ada orang lain yang bisa mengajariku kakak? Aku tidak ingin dia terus ada bersamaku. Dia itu banyak bicara juga suka mengatur." keluh Zura.

"Apa kau pikir aku juga bersedia mengajarimu? Kau ini sangat cerewet. Jika aku terus mendengarkan ocehanmu itu, nanti yang ada telingaku itu akan sakit." ucap Edgar.

"Apa kau bilang? Kakak, apa kau dengar apa yang dikatakan Edgar tentangku?" ucap Zura.

"Sudah cukup! Jika kalian sama-sama keberatan, baiklah sekarang ini juga aku akan mencari wakil bos juga asisten yang baru." ucap Sean.

"Jangan!" ucap Edgar dan Zura bersamaan.

"Baiklah, aku bersedia." ucap Zura.

"Aku juga," sambung Edgar.

\*\*\*

Pagi itu, selesai sarapan Hakim pergi menemui Walid. Dia menanyakan tentang perubahan sikap Humaira padanya belakangan ini. Saat mereka saling bicara, Walid meminta maaf karena dia sama sekali tidak tahu tentang semua itu. Dia juga tidak ingin terlalu mengatur hubungan yang ada di antara mereka berdua. Bahkan, selama ini Humaira tidak pernah mengatakan apapun tentang hubungannya maupun perasaannya. Tetapi, Walid sendiri merasa jika putrinya itu tidak sedekat dulu dengan Hakim. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah sakit. Saat Hakim latihan pun, Humaira tidak pernah bisa hadir karena jadwal padat yang ia miliki.

"Apa kau merasakan perubahan ini sejak lama?" tanya Walid.

"Entahlah ayah, tapi belakang ini Humaira seakan sedang menjaga jarak dariku." jawab Hakim.

"Apa dia sudah memberitahumu akan kepulangannya ke Maroko?"

"Ya, aku sangat terkejut saat mengetahuinya. Saat memberitahuku semua itu, dia tidak banyak bicara."

"Biar aku yang akan bicara padanya nanti," ucap Walid.

Pagi itu, Humaira sedang mengemasi semua barang-barangnya di hotel. Tidak lama dia mendapat telepon dari Aiyse. Dia meminta Humaira untuk segera datang ke rumah sakit. Walau Humaira sudah meminta cuti, dia tetap pergi ke rumah sakit demi menolong pasiennya. Tiba disana, Humaira bertemu dengan Aiyse. Dari wajahnya dia terlihat sangat khawatir.

"Maafkan aku Humaira, seharusnya ini adalah hari kepulanganmu, tapi aku tidak tahu harus kepada siapa lagi meminta bantuan." ucap Aiyse.

"Tidak apa-apa nyonya Aiyse, masih banyak waktu yang tersisa untuk aku pergi." jawab Humaira.

Aiyse memberitahu Humaira jika pasien itu adalah keponakannya. Dia mengalami luka tembak saat berada di bandara. Dia akan datang dengan menggunakan helikopter. Aiyse dan Humaira langsung pergi ke lantai atas. Kurang lebih sepuluh menit, akhirnya helikopter itu tiba. Mereka langsung membawa pasien dan segera melakukan tindakan operasi. Saat melihat wajah pasien itu, Humaira langsung mengenalinya. Dia adalah perempuan yang ditolongnya ketika mengalami kecelakaan. Beberapa jam kemudian, operasi akhirnya selesai dilaksanakan. Humaira memberitahu Aiyse jika keponakannya itu baik-baik saja. Dia berhasil mengeluarkan peluru yang ada di dalam tubuhnya. Waktu jam makan siang, Humaira kedatangan Azizah di rumah sakit. Dia sengaja datang untuk menemuinya.

"Nenek? Kau disini?" ucap Humaira.

"Aku merasa sangat bosan di rumah, karena itu aku datang kemari. Apa kau sudah makan siang?" tanya Azizah.

"Belum nek, aku baru saja selesai melakukan operasi."

"Baiklah, ayo kita pergi makan!"

"Maaf nenek, aku harus segera pergi ke bandara."

"Untuk apa?"

Humaira meminta maaf pada Azizah karena tidak sempat memberitahu akan kepulangannya ke Maroko. Kepergiannya begitu mendadak. Dia harap Azizah mengizinkannya pulang untuk beberapa Minggu saja. Mendengar hal itu, Azizah sedikit kecewa karena Humaira memberitahunya tiba-tiba. Entah kenapa, mengetahui Humaira akan pulang, Azizah merasa sangat berat untuk melepas kepergiannya. Dia benar-benar sudah menganggap dia sebagai cucunya sendiri.

"Setelah urusanku selesai di sana, aku berjanji pada nenek untuk segera kembali. Aku akan kembali dengan membawa syal yang nenek minta waktu itu." ucap Humaira.

"Baiklah, kalau begitu hati-hati." ucap Azizah.

Humaira segera pergi ke hotel untuk mengambil semua barangnya. Saat melihat jam di tangannya, masih tersisa tiga puluh menit lagi waktu untuk pemberangkatannya. Dia sangat berharap jika penerbangannya itu tepat waktu.

\*\*\*

Siang itu, Sean menghubungi Azizah untuk mengetahui keadaannya. Saat menerima telepon suara Azizah sedikit berbeda.

"Kau kenapa nenek? Apa kau sakit?" tanya Sean.

"Tidak nak, nenek sedang berada di rumah sakit. Apa kau bisa datang menjemputku?" pinta Azizah.

"Baiklah, aku akan kesana sekarang."

Saat tiba di rumah sakit, Sean mengajak Azizah untuk masuk ke dalam mobil. Dalam perjalanan, Azizah memberitahu Sean jika Humaira akan kembali ke Maroko siang ini. Mendengar hal itu, Sean memberhentikan mobilnya dengan mendadak. "Maaf nek," ucapnya. Azizah memberitahu Sean jika Humaira akan pergi beberapa Minggu untuk sebuah urusan, setelah selesai dia akan segera kembali. Dia tidak bisa meninggalkan pekerjaannya itu di Qatar karena pihak rumah sakit sudah mengontraknya selama satu setengah tahun. Setelah mengantar neneknya sampai ke rumah, Sean langsung bergegas ke bandara. Dia tidak ingin jika Humaira pergi meninggalkan kota ini. Tidak lama Edgar menghubunginya. Dia memberitahu Sean jika siang ini ada pertemuan penting dengan klien. Mendengar hal itu, Sean meminta Edgar untuk hadir dalam pertemuan itu untuk menggantikan dirinya. Di satu sisi, Zura baru menyelesaikan makan siangnya. Dia dikejutkan dengan kehadiran Edgar di ruangannya.

"Sejak kapan kau ada di ruanganku?" tanya Zura.

"Kita akan pergi meeting siang ini." jawab Edgar. "Tolong siapkan semua berkasnya!"

"Berkas yang mana? Aku tidak tahu apapun tentang berkas-berkas ini." ucap Zura sambil mencari-cari berkas yang ada di atas meja kerjanya.

"Ya ampun kau ini, jika seperti ini kita bisa terlambat bertemu dengan klien. Sementara Sean, dia selalu datang sepuluh menit lebih awal." ucap Edgar.

Edgar mencari berkas itu di antara tumpukan berkas-berkas. Tidak lama dia mendapatkannya. Edgar dan Zura langsung pergi ke tempat meeting. Saat dalam perjalanan, Zura meminta maaf karena ini adalah hari pertamanya bekerja. Dia juga belum menguasai betul pekerjaannya itu. Mengenai berkas-berkas itu, dia berjanji untuk lain waktu akan mengingat setiap berkas yang ia kerjakan. Mendengar permintaan maaf Zura, Edgar seakan merasa kasihan. Tidak seharusnya dia menyalahkan Zura untuk meeting ini. Lagi pula, dia baru saja mulai bekerja. Tidak mudah baginya untuk mempelajari semua itu.

"Aku yang seharusnya minta maaf, aku tadi sangat terburu-buru sampai tidak bisa mengontrol nada bicaraku." ucap Edgar.

"Ternyata dia lembut juga, berbeda dengan yang aku pikirkan." ucap Zura dalam hati.

Tiba di bandara, Sean mencari-cari keberadaan Humaira. Dia mencari jadwal penerbangan ke Maroko. Saat melihat di daftar yang ada disana, ternyata pesawat menuju Maroko sudah berangkat sepuluh menit yang lalu. Sean terlihat sangat putus asa. Dia merasa sangat sedih karena tidak bisa melihat kepergian Humaira. Di satu sisi, Humaira sedang duduk di bangku. Dia sangat menyayangkan karena harus ketinggalan pesawatnya. Jika saja jalanan kota tidak macet, mungkin sekarang ini dia sedang berada di dalam pesawat. "Aku akan mencari penerbangan lain waktu saja," ucapnya. Humaira beranjak dari tempat duduknya sambil membawa koper miliknya. Saat sedang berjalan keluar, Humaira tidak sengaja menabrak seorang anak kecil.

"Maafkan aku sayang, apa kau baik-baik saja?" tanya Humaira.

"Aku baik-baik saja kakak," jawab anak kecil itu dengan imutnya.

Saat akan pergi menuju mobil, Sean sempat membalikkan badannya. Dia terkejut saat melihat Humaira. Sean berlari dan langsung memeluknya. "Jangan pergi!" ucapnya. Humaira sedari tadi diam mendapati Sean yang memeluknya erat. Dia tidak tahu itu mimpi atau nyata. Saat Sean melepas pelukan itu, Humaira menyentuh wajahnya dan sejak itu dia tahu jika semua itu bukanlah mimpi.

\*\*\*

Hari sudah malam. Aiyse menemui keponakannya di UGD. Dia sangat senang melihat keponakannya itu sudah sadarkan diri. Keponakan Aiyse tidak lain adalah Hana Anisah.

"Kau baik-baik saja, sayang?" ucap Aiyse.

"Aku baik-baik saja, bibi." jawab Hana lemas.

Saat Aiyse keluar dari ruangan, dia tidak sengaja mendengar kakaknya berbicara di telepon. Mengetahui keberadaan Aiyse, Savas langsung menutup teleponnya.

"Siapa lagi yang akan menjadi korban selanjutnya Savas?" tanya Aiyse.

"Apa maksudmu?"

"Jangan kau pikir aku ini bodoh. Aku tahu jika Hana terluka akibat keangkuhan mu itu. Kau ini memiliki banyak musuh sampai musuhmu itu melukai putrimu."

"Pelankan suaramu itu!" pinta Savas.

"Sudah aku katakan, berhenti dari pekerjaan kotor ini. Hari ini putrimu yang terluka, besok entah siapa lagi yang akan menjadi korban keangkuhanmu itu." ucap Hana sambil bergegas pergi.

Di satu sisi, Humaira pulang dengan di antar Sean. Saat tiba di hotel, Sean melihat pria yang selama ini ia cari.

"Untuk apa dia kesana?" ucap Sean dalam hati. Tidak lama Humaira turun. "Terima kasih sudah mengantarku," ucapnya pada Sean.

Setelah memastikan Humaira masuk, tidak lama Sean turun dan mencari pria itu ke dalam hotel. Dia menemui resepsionis untuk mencari data tentang pria itu.

"Maaf, aku sedang mencari temanku. Dia baru saja datang kemari dengan setelan serba hitam. Dia juga memakai topi berwarna coklat. Apa kau bisa memberitahuku di kamar nomor berapa dia menginap?" tanya Sean pada resepsionis itu.

"Tunggu sebentar tuan Sean, akan aku lihat dulu." jawab resepsionis itu.

"Dia menginap di kamar nomor 209," ucap resepsionis itu.

"Terimakasih."

Sean langsung menuju kamar pria itu. Sementara itu, Humaira lupa jika dia meninggalkan ponselnya di mobil Sean. Saat menatap ke luar jendela, dia masih melihat mobil Sean yang terparkir di depan hotel. "Kenapa Sean masih ada disitu?" ucapnya. Humaira langsung turun untuk mengambil ponsel itu di dalam mobil. Tiba disana, Humaira tidak melihat keberadaan Sean. Dia hanya mengambil ponselnya lalu pergi. Di satu sisi, Sean terus mendesak pria itu untuk mengatakan siapa bos yang sudah menyuruhnya, tetapi pria itu tetap saja bungkam. Habis sudah kesabaran Sean, dia mengeluarkan pistol dan menembak pria itu. Saat melewati sebuah kamar hotel, Humaira dikejutkan dengan suara tembakan. Dia melihat salah satu pintu kamar hotel terbuka. Dia berjalan masuk. Saat dilihat, Humaira diam seribu bahasa dengan apa yang dia lihat.

"Sean?" ucap Humaira.

Mendengar suara itu, Sean langsung membalikkan badannya. Dia terkejut saat melihat Humaira.

"Untuk apa kau disini?" tanya Sean.

"Jangan mendekat!" pinta Humaira. "Aku pikir kau ini pria yang baik, tapi aku salah. Kau ternyata tidak lebih dari seorang penjahat." ucapnya bergegas pergi.

"Humaira tunggu!"

"Jangan dekati aku lagi! Aku tidak ingin mengenal seorang penjahat seperti mu." ucap Humaira.

Sean terlihat sangat marah pada dirinya sendiri. Humaira sudah salah paham padanya. Jika saja dia tahu Humaira ada di belakangnya, mungkin penembakan itu tidak akan terjadi. Humaira tidak akan marah padanya seperti itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!