Lies
“Jangan ...” suara serak seorang wanita saat berada di dalam dekapan mesra Karan. Wanita itu memukuli dada Karan sambil berontak. Saat ada kesempatan, ia menarik bibirnya dari bibir Karan. “Jangan di sini, Karan,” katanya terengah.
“Raya, diam!” tukas Karan yang disertai dengan geraman. Setiap saraf Karan sudah menegang sekarang, memohon-mohon sesuatu untuk dilepaskan. Dan Raya masih memikirkan tempat di mana mereka berada? Oh, ayolah, itu pemikiran yang sangat konyol!
“Ini ruang tamu, Karan. Nanti ada yang melihat.”
Raya menahan bibir Karan dengan telapak tangan kirinya, tempat di mana sebuah cincin dengan batu berlian berwarna putih dan potongan batu permata hijau melingkar cantik di sana. Cincin yang sempat menggemparkan Indonesia karena harganya yang fantastis. Cincin pernikahan mereka.
Seakan tidak peduli dengan ucapan Raya, Karan masih melancarkan aksinya dengan mengecupi telapak tangan wanita itu yang menutupi mulutnya. “Aku tidak peduli. Ini rumahku.Aku boleh melakukannya di mana saja. Jika ada yang melihat, aku tinggal menyuruh Ian mencongkel matanya,” ungkap Karan dengan tegas, sama sekali tidak menghiraukan kekhawatiran istrinya.
Mata pria itu menyalak menatap netra cokelat pekat milik Raya sembari mencium cincin berharga miliaran rupiah yang terselip di jari manis wanita itu. Bibirnya sedikit menyeringai. Merasa senang ketika mengetahui cincin pemberiannya tampak sempurna di jari Raya. Memang hanya ia sajalah yang tahu apa yang pantas dan tidak pantas untuk istrinya itu.
Raya menarik tangan dan memindahkannya ke pipi Karan, merasakan rambut-rambut halus yang entah sejak kapan mulai mengisi wajah tampan laki-laki itu. Padahal hanya tiga hari Raya tidak melihat Karan, tapi tampilannya sudah sangat berubah. Kacau dan jauh dari kata sempurna. Tidak seperti Karan yang ia lihat sering menghiasi beberapa sampul majalah ternama di mana wajah sang suami selalu tampak rupawan dengan senyum tipis khasnya.
“Tidak ... kita tidak boleh melakukannya di sini. Aku mohon.” Raya berbicara dengan menampilkan sorotan mata mengiba. Raya tahu kebutuhan fisik Karan, ia pun menginginkan hal yang sama. Terpisah selama berhari-hari membuat Raya menyimpan rindu pada sosok laki-laki berusia 28 tahun itu. Meskipun ia tidak tahu apakah Karan juga merasakan hal yang serupa dengannya.
“Kita pindah ke kamar saja ya?” pinta wanita itu lembut sambil mengusap-usap pipi Karan dengan belaian penuh janji, berharap suaminya mau menuruti permintaannya kali ini.
Gerakan tangan Raya menggoda, membuat peredaran darah Karan mengalir dengan cepat. “Egh, sial!” umpat Karan kesal. “Baiklah, tapi ini yang terakhir. Aku tidak suka kau mencari-cari alasan untuk menolakku!”
Karan menyingkirkan tubuh Raya dari tubuhnya untuk sejenak, kemudian mengendong wanita itu dan membawanya ke dalam kamar. Kali ini ia memilih kamar Raya. Kamar mewah nan cantik yang ia rancang satu tahun yang lalu dengan menggelontorkan ratusan juta rupiah hanya demi Raya. Kamar yang selalu ia jadikan sebagai sangkar emas untuk memenjarakan istrinya.
“Cepat lepaskan ini sebelum aku merobeknya!” perintah Karan pada Raya.
Maksudnya agar Raya segera menanggalkan pakaian yang melekat di tubuh perempuan itu. Terakhir kali melakukannya, Karan tidak sengaja merobek gaun malam milik sang istri. Ia terburu-buru karena hasratnya sudah membumbung tinggi. Ketika dihadapkan dengan pakaian yang rumit itu, Karan memutuskan untuk menggunakan cara instan, yakni merobeknya alih-alih melucuti satu per satu kancing yang melekat di sana.
Alhasil, Raya menangis. Karan pikir karena ia merobek baju tidur kesukaan sang istri. Itulah sebabnya setelah malam itu, Karan memerintahkan Ian mencari baju yang sama. Namun, ia salah besar. Baju itu tidak sekadar baju kesukaan Raya, tetapi rancangan pertama wanita itu. Karan tahu istrinya belakangan ini sedang belajar membuat pakaian. Tapi siapa yang sangka hasil karya pertamanya adalah sebuah gaun tipis yang begitu rumit seperti itu?
Raya menuruti perintah Karan. Tangannya bergerak membuka kancing bajunya. Satu per satu dengan gerakan perlahan hingga membuat Karan geram melihatnya. Raya tidak peduli. Ia melepas celana pendeknya sementara Karan menatap tajam dengan raut wajah menahan emosi. Celana itu meluncur dari paha dan turun ke mata kaki, meninggalkan secarik pakaian tipis yang tersisa di tubuh bagian bawah Raya.
Rasanya begitu panas, lebih menggugah daripada ratusan model berpakaian bikini apa pun yang pernah Karan saksikan. Raya dan seluruh keindahan tubuhnya benar-benar tampak menggairahkan.
Sialan! Iya tidak tahan lagi. Cepat-cepat Karan menurunkan ritsleting celana panjangnya, merasakan bagaimana miliknya mendesak celana itu.
Usai semua pakaian yang ada di tubuhnya sudah terlepas dengan sempurna, Karan menyerang Raya. Menelanjangi wanita itu dengan cepat karena ia merasa sudah tidak sabar lagi. Raya sengaja mengulur waktu. Karan tahu itu dengan pasti. Tapi Karan bukanlah pria bodoh yang akan senang melihatnya. Ia suka sentuhan fisik, bukan hanya sekadar rangsangan secara visual seperti itu.
Karan merebahkan tubuh Raya yang polos di atas ranjang dengan kasar. Ia mencium dan menjilat setiap jengkal tubuh wanita itu. Dari wajah hingga berhenti di atas perutnya. Karan memberi Raya getar-getar kenikmatan. Menaburkan banyak ciuman panas dan liar di tempat-tempat sangat sensitif serta tak mengizinkan Raya memikirkan apa pun kecuali dirinya dan semua gerakan yang mampu pria itu lakukan di atas tubuh sang istri.
“Biarkan lampunya menyala,” ucap Karan di sela-sela aktivitasnya untuk menghentikan Raya yang hendak mematikan lampu di atas nakas. Penting baginya untuk melihat Raya, setiap rintih perih dan desah nikmat di wajah wanita itu, setiap respons tubuh Raya atas tindakannya. Agar ia tahu bahwa Raya adalah miliknya. Dan tidak ada satu pun yang bisa merebut wanita itu darinya. “Kau harus melihatku saat kita bercinta, Raya. Tatap aku supaya kau sadar bahwa kau hanya milikku saja.” Suara Karan serak dan menuntut.
“Karan ...”
Raya mendesah lagi. Menyebut namanya hingga menerbitkan kebanggaan atas diri Karan. Raya membutuhkannya, menginginkannya sebanyak yang ia rasakan untuk wanita itu. Karan kembali mencium bibir Raya saat ia merasa semua telah siap. Dan ketika ia menyatukan tubuh mereka, kenikmatan yang sangat besar menyelimutinya. Inilah rasa yang dirindukannya. Rasa yang hanya bisa tercipta saat tubuhnya menyatu dengan tubuh Raya.
Karan memegang kendali atas apa yang terjadi malam itu, sama sekali tidak membiarkan Raya mengambil inisiatif apa pun. Karan bergerak dalam tempo yang ia ciptakan sendiri. Cepat lalu lambat, yang membuat seluruh energinya hanya berpusat pada inti milik Raya. Saat gelombang puncak itu hendak menyelubungi dirinya, Karan akan berhenti sejenak. Memaksa dirinya bertahan selama mungkin, kemudian mendesak Raya mencapai pelepasannya dan meneriaki namanya dengan kencang.
Ada kepuasan besar yang Karan rasakan tatkala melihat Raya meraih puncaknya. Karan menyukai seruan serak Raya, suara yang menggoda indra pendengarannya. Juga sensasi tubuh Raya yang meremas miliknya. Sampai pada akhirnya, Karan tidak bisa lagi menahan kebutuhan dirinya sendiri. Otot-ototnya sudah menegang kencang, menuntutnya agar segera mencapai keinginan terbesarnya.
“Raya ...” desah panjang Karan ketika gelombang dahsyat menyergap miliknya. Ia pun ambruk, terkulai lemas di atas ranjang seperti daun yang baru saja gugur di atas tanah. Mengatur napas agar tidak menggebu dan menetralkan detak jantungnya yang berdebar secepat ia berlari ratusan meter. Ini melelahkan sekaligus menyenangkan. Mungkin sekarang sudah waktunya ia beristirahat sejenak dengan memejamkan matanya.
Sayangnya, baru satu jam berkutat dalam tidur, Karan terbangun dan tersentak mendapati dirinya tengah berbaring di atas ranjang. Sambil memijat kening, Karan baru menyadari di mana dirinya tidur sekarang. Di dalam kamar Raya.
Karan memosisikan dirinya untuk duduk. Mendesah kasar saat melihat Raya terkulai lemas di sampingnya. Sial, makinya di dalam hati. Ini di luar dugaan Karan. Bukan begini rencana awalnya. Seharusnya Karan hanya mencium Raya, memberikan sedikit rangsangan agar wanita itu memohon padanya. Setelah itu, ia akan meninggalkan tempat itu dan menyaksikan Raya tampak sangat kesepian. Memohon dan terus mendambanya. Dengan begitu Raya akan merasakan lubang neraka yang Karan ciptakan untuknya.
Namun, hanya bersentuhan fisik dengan Raya saja membuat Karan menggila. Kulitnya yang lembut dan panas, bibirnya yang manis, dan aroma tubuhnya ... sial! Karan tidak bisa menahan diri dari semua itu. Ia berhadap bahwa ia bisa melawannya, tapi ia justru mendapati dirinya tampak menyedihkan dan tak berdaya. Raya begitu mahir menggodanya, bahkan wanita itu tidak memberikannya pilihan selain menghabiskan malam dengannya. Benar-benar wanita penggoda sialan!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Ucy (ig. ucynovel)
aku baru mampir kak 😊
2023-04-03
0
Pink Blossom
aku udah mampir ya kak☺ semangat💪💪
2023-01-31
2
Ayu Ap
ceritanya menarik kak
2023-01-25
2