Cemburu? Mungkin saja Raya merasakannya. Tapi, bukan seperti yang dikatakan Karan. Rasa cemburu yang dirasakan Raya sekarang sangat berbeda dan sedikit aneh. Raya ingin menyangkalnya, itulah sebabnya ia tidak melanjutkan perbincangannya dengan Karan.
Beruntungnya Varen segera datang. Disusul Sekar yang ikut menghampiri mereka, yang membuat kecanggungan Raya pelan-pelan mencair.
“Bisakah kita pulang sekarang? Aku merasa tidak enak badan,” ucap Raya pada Varen, memohon agar kali ini pria itu mengikuti keinginannya. Raya benar-benar tidak bisa berada di sana terlalu lama. Ia butuh udara segar yang membuat pikiran dan perasaannya membaik.
Varen menatap Raya dengan cemas, takut barangkali kekasihnya itu terluka karena sesuatu. “Apa kau baik-baik saja?”
Raya mengangguk. “Ya, aku hanya butuh istirahat sebentar.”
Tidak ada kata yang bisa diungkapkan Varen. Terlebih ketika Raya menunjukkan wajahnya yang pucat. Sepertinya Raya benar-benar sakit. “Maaf karena tidak bisa melanjutkan acara hari ini. Aku harus mengantar Raya pulang,” kata Varen meminta pengertian Karan. Biar bagaimana pun Karanlah yang mengatur pertemuan ini. Ada baiknya Varen meminta izin agar terlihat sopan.
“Ya, tidak apa-apa. Kesehatan Raya adalah segalanya. Lagi pula, Raya bukan hanya tunanganmu. Raya juga brand ambassador produkku.”
Varen menanggapi dengan tersenyum ucapan ringan Karan. “Terima kasih. Kalau ada waktu, kita bisa atur pertemuan kita lagi.”
“Ya, dan aku yakin status kita sudah berbeda saat itu.”
Kembali, senyuman merekah sempurna di wajah Varen. Ia mengira Karan sedang membicarakan tentang pernikahannya dengan Raya yang akan berlangsung beberapa hari ke depan. Artinya, status Varen sudah berubah menjadi suami.
Padahal yang Karan pikirkan sangat bertentangan dengan hal itu. Karan tidak pernah peduli dengan Varen. Pria itu hanya membicarakan mengenai dirinya sendiri. Mengenai pernikahannya yang akan segera dilaksanakan dalam waktu dekat. Tentu saja pernikahannya dengan Raya.
“Baiklah. Kalau begitu, kami pamit dulu. Selamat malam,” pamit Varen sembari membawa Raya keluar restoran.
Sepeninggalan Varen dan Raya, Karan masih duduk tenang di mejanya. Ia baru bergerak saat Ian datang menghampirinya dan mengatakan bahwa mobilnya sudah ada di depan pintu restoran. Karan pun pergi dari restoran tersebut.
Di belakang Karan, Sekar membuntuti. Ia tidak mengerti apa yang terjadi, tetapi Sekar hanya ingin mengikut Karan. Penting bagi Sekar untuk tahu apakah Karan akan memberikan balasan dari aktingnya, meskipun Sekar tahu Karan tidak akan pernah ingkar janji. Wanita itu hanya ingin memastikan agar hatinya merasa tenang.
Karan tidak keberatan Sekar bergabung di mobilnya. Hanya saja, Karan tidak mengizinkan Sekar duduk di sampingnya. Sekar hanya diperbolehkan duduk di kursi depan, kursi yang berada di samping sopir— tempat Ian sedang menyetir.
Sekar merasa aneh dengan suasana mobil yang tenang itu. Terlalu tenang malah dan hampir tidak terdengar apa pun selain mesin kendaraan. Samar-samar Sekar mengintip ke belakang. Ternyata Karan sedang tidur. Ia cukup senang melihat hal itu karena menurut informasi yang ia dapatkan dikatakan bahwa Karan kesulitan tidur tiap malam. Jika pria itu terlelap di mobil sekarang, pasti karena ia merasa tenang.
“Berhenti memandangi Pak Karan. Beliau akan terganggu,” hardik Ian sembari memperingati Sekar agar berhenti melihat wajah Karan dengan pandangan memuja seperti itu.
Tidak hanya Sekar saja yang menginginkan Karan, ada puluhan bahkan ratusan wanita setiap harinya yang menatap Karan dengan tatapan seperti itu. Ian hanya mengingatkan Sekar, dan itu semua demi kebaikan wanita itu sendiri. Sebab cepat atau lambat, Sekar akan merasakan apa yang wanita-wanita lain rasakan. Tercampakkan dengan sangat kejam.
“Saya hanya memandanginya. Apakah tidak boleh? Saya ini kekasih Pak Karan, walaupun hanya pura-pura,” sahut Sekar tak gentar mendengar hardikan Ian.
Embusan napas Ian terdengar berat. Kepercayaan diri Sekar sungguh bermasalah. Tidak seharusnya Sekar memancing Karan yang sama sekali tidak tertarik pada wanita selain Raya.
“Saya hanya mengingatkan Anda. Berhenti menatap Pak Karan!” Kali ini Ian mengungkapkan kalimatnya dengan lebih tegas.
Lagi-lagi Sekar tidak mengindahkan larangan Ian. “Saya akan terus memandangi Pak Karan karena saya suka.”
“Tapi—”
“Ian!” Suara berat terdengar dari kursi belakang. Karanlah yang memanggil Ian.
Dengan terkejut Ian menjawab, “Iya Pak?”
“Berhenti di sini sekarang!”
Perintah Karan tidak hanya membuat Ian kaget, tapi Sekar pun merasa heran. Lokasi apartemennya masih sangat jauh. Tempat tinggal Karan pun tidak berada di sekitar mobil mereka. Lantas, mengapa mereka tiba-tiba berhenti? Terlebih di tempat yang cukup sepi seperti ini.
Ian mematuhi perintah Karan. Ia menghentikan laju kendaraannya tepat di depan sebuah minimarket. “Ada apa Pak?”
“Turunkan Sekar di sini!” perintah Karan lagi.
Sontak Sekar terbelalak. “Ya? Di sini? Kenapa?”
“Karena kau terlalu berisik. Cepat turun dari mobilku sekarang sebelum aku membatalkan kontrak kerja samamu dengan rumah produksi milikku. Kau tahu aku tidak pernah main-main, bukan?”
Perkataan Karan sungguh membuat Sekar tercengang. Karan yang dilihatnya baik hati dan ramah selama ini tak ubah sebuah kamuflase. Karan tidak seperti itu aslinya. Pria itu hanyalah pria yang kejam karena menurunkan wanita di jalan.
Sayangnya, Sekar tidak punya pilihan kecuali menurut. Ia turun dari mobil Karan sembari menggerutu. Wajahnya tampak begitu kesal. Andai tidak berada di tempat umum, Sekar pasti sudah mengumpati Karan dengan sangat kasar.
“Jalan!” Karan mengeluarkan suara lagi yang membuat Ian menjalankan mesin mobil.
“Apakah tidak masalah Pak? Sekar bisa saja membuat rumor buruk tentang Anda hari ini,” ungkap Ian sedikit khawatir. Bukan tanpa sebab sang asisten merasa cemas. Pasalnya, jika ada masalah pada Karan, Ianlah yang akan membereskannya.
“Coba saja, dia tidak akan berani padaku. Kalau itu benar-benar terjadi, aku tinggal membeberkan semua rumor tentangnya ke media. Dalam hitungan menit, kariernya akan hancur,” jelas Karan tanpa rasa bersalah sedikit pun kendati sedang membicarakan tentang kehancuran seorang artis.
Karan membuka dompetnya dan memandangi foto Raya. “Kau tahu aku hanya menginginkan Raya, Ian. Aku tidak ingin ada wanita lain yang menempel seperti lintah padaku. Itu terasa menjijikkan.”
*******
Di sisi lain, Raya dan Varen berada di dalam mobil menuju ke rumah Raya. Situasi di sana terasa sepi. Tidak ada yang berbicara. Semua fokus pada pemikiran masing-masing.
Raya memang belum berbaikan dengan Varen secara benar. Mereka pergi bersama-sama murni karena Karan. Jika tidak, Raya akan menghabiskan waktu di rumah sambil melakukan perawatan wajah dan tubuh. Sesuatu yang sangat disukainya.
Raya mungkin menyesal karena datang ke tempat itu dan menemui Karan bersama kekasih pria itu. Yang lebih buruk, kekasih Karan adalah seseorang yang berasal dari dunia yang sama dengan Raya, industri hiburan. Masalahnya, wanita itu memiliki daya pikat yang lain. Belum lagi keterkenalannya belakangan ini. Dalam sekejap, Raya sudah merasa berang mengingatnya.
Sekeras mungkin Raya melawan gejolak emosi yang menyesakkan dada, menyangkal bahwa hatinya memanas mengetahui Karan berkencan dengan wanita lain. Bahkan, Raya bisa yakin perasaan ini jauh lebih besar dan dalam ketimbang apa yang ia rasakan saat mengetahui Varen memiliki hubungan khusus dengan Cindy. Padahal Varen adalah tunangannya, calon suaminya. Sedangkan Karan hanyalah orang asing.
Namun, penyangkalan tidak sesuai dengan suasana hatinya sekarang ketika ia saja merasakan kemarahan bercampur kegetiran hanya dengan mengingat Karan dan Sekar. Ya, tidak bisa dipungkiri bahwa Raya tertarik pada Karan dan semua yang berhubungan dengan laki-laki tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Aerik_chan
Aku mampir kak...semangat
2023-02-10
1