“Raya, kau baik-baik saja?” Varen berseru seraya mendekati brankar Raya. Keningnya penuh keringat dan kerahnya sedikit berantakan. Bahkan, laki-laki itu tidak menggunakan jasnya. Hanya kemeja biru muda yang lengannya digulung hingga ke siku saja yang Varen gunakan.
“Maafkan aku, Sayang. Aku terlambat datang karena ada pekerjaan yang mendesak,” tutur Varen mencoba menjelaskan pada Raya. “Aku benar-benar panik saat mendapat telepon dari Karan. Bagaimana kau bisa pingsan, hm?” Pria itu bertanya sembari mengusap pipi Raya.
Raya tahu betapa khawatirnya Varen pada kondisi tubuhnya. Pria itu tidak berbeda sejak dulu. Sejak mereka masih berkuliah bersama di kampus. Varen selalu mengutamakan Raya apa pun yang terjadi. Ia tidak ragu meninggalkan kelas ketika mendengar Raya sakit. Atau mendatangi Raya ketika wanita itu kesulitan.
“Aku hanya kelelahan. Kau tahu ‘kan persiapan pernikahan kita begitu padat,” balas Raya berusaha menghilangkan kekhawatiran Varen. Raya juga merasa bersalah karena seperti telah berselingkuh dari sang calon suami meskipun bukan Raya yang terlebih dahulu memulai ciuman itu. Raya memang memanfaatkan Varen demi popularitasnya, tapi ia bukan wanita murahan yang berhubungan dengan laki-laki lain ketika ia masih mempunyai kekasih.
Varen merasa iba. Ia memeluk tubuh Raya dengan erat. “Maafkan aku, Raya. Seharusnya aku tidak membebankan persiapan pernikahan kita padamu. Aku benar-benar menyesal.”
Senyuman lembut terbit di bibir Raya. “Tidak apa-apa Varen, aku tahu kau sibuk. Aku tidak mau mengganggu bisnismu.”
“Apa yang kau katakan, Sayang? Kau tidak pernah menggangguku sama sekali.” Varen menjauhi Raya. Matanya memindai sekelilingnya, mencari sosok yang telah berjasa melindungi sang kekasih. Namun, Varen tidak menemukan sosok itu.
Seolah tahu apa yang sedang dicari Varen, Raya langsung menanggapi, “Karan sudah pergi dari sini. Dia punya pekerjaan penting yang harus diurus.”
“Ah, benar. Dia orang yang sangat sibuk. Kita tidak bisa mengganggu orang sibuk sepertinya.”
Perasaan Raya selalu tidak baik tiap membicarakan tentang Karan. Hatinya gelisah dan jantungnya berdebar kencang. Karan memiliki daya tarik yang sulit dilepas oleh Raya. Daya tarik untuk melakukan hal terlarang.
“Bisakah kita pulang?” tanya Raya sambil bangkit dari brankarnya.
“Hati-hati Sayang!” Varen menyambut tubuh Raya, membantu wanita itu agar berdiri dengan baik di atas lantai. “Kau masih sangat lemah. Apa kau yakin pulang sekarang? Kita bisa menunggu sampai besok. Jangan terlalu memaksakan diri.”
Raya menggeleng dengan tegas. “Tidak. Aku bisa pulang sekarang. Aku tidak mau buang-buang waktu di rumah sakit. Lebih baik aku beristirahat di rumah saja. Ada Mama di rumah. Mama pasti menjagaku dengan baik.”
Bukan itu alasan sebenarnya Raya meminta agar segera meninggalkan rumah sakit. Pertama karena ia takut wartawan akan segera menyusulnya ke sana. Dan yang kedua, Raya merasa tidak nyaman berada di tempat itu. Bayangan Karan muncul setiap kali ia memejamkan mata, terlebih ketika pria itu mencium dan menjilat bibirnya.
Eh, tunggu dulu! Menjilat?
Sontak Raya membekap mulutnya dengan kedua tangannya. Kendati masih setengah sadar, akhirnya Raya tahu benda lembap yang berkeliaran di bibirnya bukan hanya bibir Karan, melainkan lidah pria itu juga. Jika sudah sampai sejauh itu, rasanya tidak mungkin Karan tidak sengaja menciumnya. Karan benar-benar menciumnya dengan sangat liar.
“Kenapa? Apa kau mual?” Varen tampak panik melihat Raya menutup mulutnya. Cepat-cepat tangannya berpindah ke kening sang kekasih saat menemukan semburat merah menghiasi wajah wanita itu. “Kau demam?”
Raya menggeleng. “Tidak,” katanya sembari menurunkan tangannya. “Aku hanya merasa tidak enak badan. Tapi kau tenang saja. Aku tidak akan muntah dan aku juga tidak demam.”
Varen mencoba untuk percaya. “Baiklah. Tunggu di sini. Aku akan panggil dokter untuk menanyakan apakah kau sudah boleh pulang atau belum.”
Varen meninggalkan Raya yang sedang menata perasaannya. Tak lama kemudian, pria itu datang dengan membawa dokter di belakangnya. Karena cairan di botol infus sudah habis, Raya diizinkan pulang. Tentu saja dengan sederetan nasihat agar Raya menjaga pola makannya dengan benar dan menghindari diet ketat yang menyiksa.
“Baik Dok. Akan saya ingat. Terima kasih sudah merawat tunangan saya,” ungkap Varen tulus kepada sang dokter.
Seketika dokter itu terperangah. Belum lama ia berbicara dengan Karan di mana Karan menjelaskan bahwa Raya adalah kekasihnya. Bagaimana mungkin sekarang ada pria lain yang menganggap Raya sebagai tunangan? Meskipun penasaran, sang dokter tidak sampai melewati batas untuk bertanya. Ia memilih pergi dari sana setelah menunaikan tugasnya sebagai tenaga medis.
“Pelan-pelan Sayang. Hati-hati,” ucap Varen saat ia membimbing wanita itu masuk ke dalam mobilnya. Tubuh Raya masih sangat lemas. Varen takut Raya akan pingsan karena kehilangan tenaga.
“Varen, aku hanya sakit maag, bukan cacat. Jadi, berhentilah bersikap khawatir seperti itu!” hardik Raya agar Varen mengendurkan kewaspadaannya.
“Iya, aku tahu. Tapi kau sangat kurus, Raya. Wajahmu juga pucat. Wajar ‘kan kalau aku khawatir?”
Tidak ada jawaban yang bisa Raya berikan. Wanita itu hanya memutar bola matanya karena merasa jengah.
Mobil buatan Jerman itu pun berjalan. Varen menyalakan pendingin mobil dengan suhu yang nyaman untuk Raya dan menghidupkan musik kesukaan wanita itu. Varen berharap Raya bisa tertidur dalam perjalanan karena Raya butuh banyak sekali istirahat supaya tubuhnya bisa cepat pulih.
Alih-alih tertidur pulas seperti harapan Varen, Raya justru duduk dengan gelisah. Matanya memang terpejam, tapi pikirannya melayang jauh.
“Varen,” panggil Raya dengan mata yang tetap terpejam.
Varen menoleh ke arah Raya sejenak, kemudian kembali menyetir. “Ya?”
“Apa kau benar-benar dari kantor?”
Tidak ada jawaban sejenak sebab Varen terlihat begitu terkejut. “Iya, aku dari kantor. Kenapa?”
Sebelum menjawab, Raya menghela napas panjang. “Tidak. Aku hanya merasa bersalah padamu karena membuatmu datang dengan terburu-buru.”
“Sayang, jangan berkata seperti itu. Kau calon istriku, kau tidak perlu merasa bersalah seperti itu.”
“Ya, benar. Aku calon istrimu. Apa pun yang terjadi, kita akan segera menikah.”
Itu adalah kalimat pengakuan yang seharusnya membuat Varen senang, namun nyatanya tidak. Ada nada getir dalam kalimat yang dilontarkan Raya yang membuat hati Varen bergetar. Kalimat itu tak ubahnya seperti kalimat perpisahan yang pernah Raya sampaikan padanya dulu, ketika Raya memutuskan untuk fokus pada dunia model.
“Kau benar, Sayang. Kita akan menikah beberapa hari lagi. Jadi, tidak perlu khawatir tentang apa pun,” ucapnya sambil mengelus puncak kepala Raya sebentar lalu kembali pada setir mobil.
Varen tidak menyadarinya, tapi air mata baru saja menetes dari kedua pelupuk mata Raya. Bohong. Mereka berdua sedang menipu satu sama lain. Raya tahu Varen tidak benar-benar dari kantor. Pria itu pergi bersama wanita menggunakan mobil ini. Aroma parfumnya saja masih tertinggal jelas. Aroma bunga anggrek yang tidak pernah digunakan Raya.
Tidak sembarang orang bisa duduk di kursi di sebalah Varen dalam mobil ini. Raya tahu itu. Selain keluarga inti Varen, hanya dua orang wanita yang pernah mendudukinya. Pertama tentu saja Raya. Namun, orang kedua adalah Cindy, teman wanita yang lebih terlihat seperti wanita simpanan Varen.
Sungguh, Raya ingin membahas ini dengan Varen. Tetapi seandainya Raya membahasnya, semua akan runyam. Pertengkaran hebat akan terjadi yang ujung-ujungnya akan memengaruhi pernikahan mereka. Raya sudah menyerahkan tenaga dan waktunya demi pernikahan itu. Ia tidak mau pernikahannya batal begitu saja.
Lagi pula, Raya juga menjadi pihak yang bersalah hari ini. Diam-diam ia membiarkan pria asing mencium bibirnya. Ya, anggap saja ini sebuah kompensasi dari perbuatannya hari ini. Anggap saja Raya memaafkan Varen karena ia pun melakukan kesalahan yang besar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
auliasiamatir
kenapa gak saling jujur sih, biar nanti kebohongan itu gak jadi duri dalam hubungan kalian.k
2023-03-12
0