“Jangan ... jangan pergi Raya!” teriak Karan dalam tidurnya.
Pria itu terbangun dengan pakaian basah penuh dengan keringat. Bahkan, butir-butir keringat masih berjatuhan dari keningnya.
Begitu membuka mata, Karan tersadar di mana ia berada sekarang. Di rumahnya. Di dalam kamarnya. Karan menghela napas lega sembari mengatur detak jantungnya yang bergemuruh. Setelah dirasa cukup, Karan beranjang dari ranjang ke meja di dekat televisi, tempat di mana ia meletakkan teko yang berisi air minum.
“Sialan!” umpat Karan usai menandaskan air mineral dari gelas kacanya. “Argh!” Karan menggeram frustrasi. Mimpi itu muncul lagi. Mimpi di mana Raya meninggalkannya dengan cara yang kejam. Karan tidak menyangka ia akan bermimpi seperti itu setelah sebulan ini tampak baik-baik saja. Mungkin karena Karan terlalu memikirkan Raya, atau lebih tepatnya, mimpi itu mengingatkan Karan bahwa Raya adalah wanita yang harus ia benci hingga akhir.
PRANG!
Gelas kaca yang tadi ada di tangan Karan terjatuh ke atas lantai dan menimbulkan suara yang cukup keras. Karan terkejut melihatnya, namun ia lebih terkejut melihat respons dari tubuhnya. Karan tidak menyadari kedua tangannya gemetar hebat. Ia ketakutan sekarang. Takut ditinggalkan. Takut dilupakan. Karan takut hidupnya hanya menjadi angin lalu bagi Raya.
Tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Karan harus melakukan sesuatu setidaknya demi kenyamanan hatinya. Persetan dengan mendekati Raya dengan cara yang lembut. Karan bisa melakukan apa pun, termasuk cara yang kasar dan kejam hanya demi membuat Raya menjadi miliknya. Kemudian, ia akan menyiksa Raya dengan cara yang sama dengan apa yang pernah ia alami di masa lalu.
“Ian, kita pergi satu jam lagi.”
Karan memberi perintah kepada Ian melalui sambungan telepon. Padahal hari masih menunjukkan pukul tiga dini hari, namun Karan sudah akan pergi ke kantor. Karan tidak peduli dengan apa yang akan Ian katakan nanti. Ya, pasti sang asisten akan melayangkan protes padanya. Tapi apa yang harus Karan lakukan? Berdiam diri di rumah tanpa bisa melakukan apa-apa bukan ciri khas Karan. Ia lebih suka bekerja, menghabiskan waktu dengan tumpukan dokumen dan mengunjungi anak perusahaannya daripada terus-menerus terpaku pada mimpi itu.
“Pak, Anda kesulitan tidur lagi?” tanya Ian begitu Karan masuk ke mobil. Sambil menyetir, Ian sesekali melihat ke cermin yang ada di atasnya. “Apa kita langsung ke kantor?” sambung Ian setelah Karan tidak menjawab pertanyaan pertamanya.
Karan menjauhkan rokok dari bibirnya. Ia menatap ke depan, ke arah Ian. “Tidak, kita ke hotel Y terlebih dahulu. Aku harus menemui orang itu,” ucapnya tegas dengan mata yang sayup tanda bahwa ia kesulitan tidur malam ini. Tanda bahwa ia benar-benar tersiksa karena sosok Raya.
...*******...
Keesokan harinya, Karan menemui Raya. Bukan kebetulan Karan bertemu dengan Raya di lokasi pemotretan produk perusahaan. Karan juga melakukan pemotretan untuk memperbaharui situs perusahaannya. Masalahnya pria itu sengaja mengatur jadwalnya agar sama dengan jadwal Raya. Dengan begitu ia bisa bertemu Raya dengan mudah.
“Aku akan mengantarkanmu. Kebetulan aku ada urusan di lingkungan sekitar rumah Varen. Kau tidak keberatan bukan?” Karan menahan pintu lift dan membiarkan Raya masuk.
“Apakah tidak masalah? Sepertinya kau sangat sibuk.”
Raya sedikit ragu. Ia tidak bisa begitu saja membiarkan Karan mengantarnya sementara ia melihat Ian begitu kesulitan mengejar-ngejarnya. Bahkan, sekadar meminta tanda tangan pun Ian terlihat kesulitan. Raya merasa iba melihat wajah Ian yang frustrasi.
Seolah bisa membaca isi pikiran Raya, Karan menanggapi, “Kalau yang kau maksud itu Ian, kau tidak perlu khawatir. Dia memang begitu. Meskipun aku sedang liburan di rumah, dia akan mendatangiku dengan sejumlah dokumen.”
Karan menggerutu dan Raya terkekeh mendengarnya. Raya bisa membayangkan wajah Ian sesuai dengan apa yang dijelaskan Karan. Benar-benar laki-laki yang unik.
Tapi, ada yang aneh dengan perkataan Karan. Liburan di rumah? Mengapa pria itu berlibur di rumahnya saja? Karan bukanlah pria miskin yang tidak punya uang. Mungkin hanya sekali bernapas saja uang ratusan dolar sudah di tangannya. Liburan ke Eropa bahkan keliling dunia pasti perkara yang mudah bagi sang CEO.
“Kenapa kau liburan di rumah?” Pertanyaan itu tercetus dari bibir Raya pada akhirnya. Ia tidak bisa menutupi rasa ingin tahunya tentang Karan.
“Memangnya aku harus ke mana?”
“Ya, ke mana pun. Keluar negeri misalnya.”
“Aku ke luar negeri bukan untuk berlibur, tapi kerja,” sahut Karan jujur sembari meratapi kemalangannya. Benar-benar pria yang membosankan. Seperti itulah yang dipikirkan kebanyakan orang tentang Karan. Mungkin Raya pun begitu.
Karan mengerling ke arah Raya. Alih-alih menunjukkan wajar remeh, Raya justru mengangguk-anggukkan kepalanya seakan-akan ia memahami apa yang Karan rasakan sekarang. “Ya, kau benar. Aku juga seperti itu. Kebanyakan kegiatanku di luar negeri hanya untuk bekerja. Hanya hitungan jari aku ke sana untuk benar-benar liburan.”
“Tapi itu akan segera berubah, bukan?” Tangan Karan menjulur lagi ketika pintu lift terbuka. “Hati-hati, heels-mu bisa tersangkut di tengah-tengah,” ujar laki-laki itu memperingati. Pasalnya sebulan yang lalu Karan harus naik tangga karena pintu lift rusak. Anehnya kerusakan itu disebabkan oleh sebuah sepatu wanita yang tersangkut.
“Terima kasih,” balas Raya. “Dan apa maksudmu akan segera berubah?”
Sekali lagi Karan bersikap sangat ramah pada Raya. Kali ini ia membukakan pintu mobilnya untuk sang super model, lalu ia beranjak ke kursi kemudi.
“Apa?” tanya Karan bingung melihat Raya menatapnya dengan intens.
Raya memajukan bibirnya, kemudian menggerutu. “Kau belum menjawabnya.”
“Oh, itu. Astaga!” Karan tersenyum tipis. “Maksudku status kita berubah. Kau akan menikah dengan Varen, sementara aku akan segera bertunangan dengan wanita lain.”
Raya tidak langsung menjawab. Ia terdiam, sedikit terkejut mendengar ucapan Karan tentang pertunangan. Raya tahu ada banyak gosip tentang hubungan Karan dengan berbagai macam wanita. Namun, tidak ada satu pun yang benar-benar Karan kenalkan sebagai kekasihnya. Mengapa sekarang Karan akan menikah?
Yang lebih anehnya adalah sikap Raya. Wanita itu tampak seperti orang yang sedang khawatir. Padahal Karan adalah orang asing baginya. Karan hanya teman dari calon suaminya, yang tidak ada hubungan apa-apa dengan Raya.
“Oh, iya,” kata Raya pelan. “Omong-omong, aku dan Varen belum pernah melihat kekasihmu. Bagaimana kalau kita bertemu langsung? Kita akan makan malam bersama. Bagaimana?”
Walaupun sibuk menyetir, Karan masih bisa menjawab perkataan Raya. “Ya, itu ide yang bagus. Aku akan menyampaikannya pada kekasihku.”
Keheningan tercipta secara tiba-tiba. Raya fokus pada ponselnya, berusaha menelepon Varen yang sulit dihubungi hari ini. Sedangkan Karan hanya fokus menyetir, berusaha menarik konsentrasinya dari Raya ke jalan agar bisa membawa mobil itu dengan tenang.
“Bagaimana? Apa kau sudah bisa menghubungi Varen?” Karan berbicara lagi begitu mereka berhenti di lampu lalu lintas. Layar ponsel Raya sempat terlihat olehnya, itulah mengapa Karan bisa tahu siapa orang yang sedang Raya hubungi berkali-kali.
Raya menggelengkan kepalanya. “Tidak bisa. Sepertinya dia sibuk,” celetuknya dengan lesu, terlihat sangat kecewa dengan sikap Varen.
“Sepertinya juga begitu. Sebentar lagi kalian menikah. Varen pasti sibuk mengurusi segala hal agar bisa fokus ke acara pernikahan kalian.” Karan mencoba menenangkan Raya, tapi dengan harapan agar Raya sama sekali tidak tenang. Rasa kecewa Raya terhadap Varen adalah hal bagus untuk Karan. Dengan begitu, Karan bisa mendekati wanita itu sebagai pengganti sosok Varen, kendati Karan benci dengan kata pengganti.
“Ya, mungkin.” Raya memilih menyerah. Ia memasukkan ponselnya ke tas dan mengalihkan pandangannya ke jalanan.
“Tapi Varen punya sekretaris yang bagus. Wanita itu terlihat begitu kompeten. Aku sepertinya harus mencari sekretaris seperti itu,” lanjut Karan lagi.
Raya mengernyit. “Sekretaris? Wanita? Apa maksudmu?”
“Itu ... aku sedang membicarakan tentang Cindy, sekretaris Varen yang aku temui di salah satu restoran. Varen sendiri yang bilang kalau wanita itu adalah sekretarisnya.”
“Apa?” Raya terbelalak. Cindy bukanlah nama asing di telinga Raya. Ia tahu siapa Cindy. Bukan sekretaris, tetapi teman dekat Varen. Teman yang dianggap sebagai adik oleh laki-laki itu. “Oh, iya, Cindy. Dia memang sekretaris yang bagus,” ucap Raya berbohong.
Karan menyeringai. Jelas Karan tahu siapa Cindy sebenarnya. Ian sudah mencari tahu tentang biografi wanita itu. Karan hanya ingin memancing reaksi Raya. Dan Raya memilih untuk berbohong. Benar, tidak mungkin wanita itu akan membeberkan kecurigaannya terhadap laki-laki yang akan menjadi suaminya dalam hitungan hari ke depan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
auliasiamatir
karan, kamu yah.... hummmm udah terobsesi dama raya.
2023-02-08
1
Aerik_chan
Semangat kak...aku mampir
2023-02-03
1
mom mimu
iklannya lagi eror kayanya, aku ganti 🌹 aja deh, semangat terus ya 💪🏻💪🏻💪🏻
2023-01-20
1