Kata orang, hari-hari menjelang pernikahan itu sangatlah krusial. Ada berbagai masalah yang akan menghadang pasangan yang membuat kemantapan mereka dipertanyakan. Tidak sedikit pula yang memutuskan untuk membatalkan pernikahan karena hal tersebut.
Begitu juga dengan apa yang Raya dan Varen rasakan sekarang. Mereka sedang diuji keyakinan di hari-hari menuju pernikahan. Tepatnya 10 hari menjelang pernikahan. Saat semua sudah siap, saat undangan sudah disebar dan media massa sudah meliput besar-besaran, keraguan muncul di hati Raya. Benarkah ia harus menikah dengan Varen? Apakah ia memang benar-benar menginginkan hal ini?
“Kau mau ke mana dengan kopermu?” tanya Varen ketika melihat sebuah koper sedang ditarik Raya. “Raya, jawab aku.”
Raya berhenti melangkah. Ia menoleh ke arah Varen dan melemparkan tatapan kesal. “Kau lupa sesuatu? Hari ini Mama pulang dan aku harus menjemputnya di bandara. Sesuai dengan perjanjian, saat Mama kembali, aku akan tinggal lagi di rumah kami.”
Varen terperangah. “Jangan begitu Raya. Kita akan menikah kurang dari 2 minggu lagi. Saat kita menikah, kau juga akan tinggal di sini. Untuk apa kau pergi sekarang?”
Embusan napas kasar keluar dari mulut Raya. “Tapi kita belum menikah, Varen. Tidak seharusnya kita tinggal bersama.”
“Ada apa denganmu, ha?” kata Varen seraya menyentuh bahu Raya. “Oke, aku mengaku salah karena masalah semalam. Aku janji tidak akan bertemu dengan Cindy lagi. Tapi jangan tinggalkan aku ya? Kau tahu betapa aku mencintaimu, Raya. Pernikahan kita juga tinggal menghitung hari.”
“Tidak,” jawab Raya bersikeras. “Aku akan pergi sekarang. Kita bisa membicarakan tentang Cindy nanti.” Raya membawa kopernya keluar dari pintu rumah.
“Apa maksudmu, Raya? Hey!” Meskipun berteriak untuk memanggil Raya, Varen tetap tidak bisa mencegah wanita itu keluar dari rumahnya. Raya begitu teguh pada pendiriannya dan sulit digoyahkan dengan cara apa pun. Dan Varen sangat paham dengan kepribadian Raya tersebut.
Di saat Varen sedang terpuruk karena kepergian Raya, sebuah telepon masuk ke ponselnya. Karan, nama si penelepon. Walaupun hatinya sedang kacau, tetapi Varen tidak bisa mengabaikan Karan begitu saja. Laki-laki itu bukan sekadar teman, Karan juga investor paling berharga untuk proyek vila baru Varen.
“Ya, ada apa Karan?” tukas Varen menjawab panggilan Karan.
“Aku— hey! Ada apa dengan suaramu? Apa kau baik-baik saja?” sahut Karan di ujung panggilan.
Varen mencoba untuk berbohong. “Ya, aku baik-baik saja. Ada apa? Tidak biasanya kau meneleponku di pagi hari.”
“Benar, ada yang ingin aku bicarakan denganmu. Rencananya aku akan menyewa salah satu hotelmu seminggu lagi.”
“Kenapa kau menghubungiku? Kalau kau ingin menyewa lobi, tinggal suruh sekretarismu menemui tim penjualan kami.”
“Bukan lobi, Varen. Tapi seluruh hotelmu.”
Mata Varen terbelalak. “Apa maksudmu satu gedung hotel?”
Jawaban yang diberikan Karan begitu mengejutkan. “Bukan satu gedung hotel, tapi seluruh gedung di salah satu hotelmu.”
Setiap hotel Varen setidaknya memiliki dua gedung pencakar langit. Satunya berbentuk kamar-kamar yang bisa disewa per malam, dan satu gedung lagi berbentuk apartemen yang harus disewa minimal perbulan. Kalau Karan mau menyewa keduanya, tidak terbayang berapa uang yang harus digelontorkan laki-laki itu.
“Ayo kita bertemu. Kita harus membicarakan ini baik-baik,” ucap Varen senang. Ia seorang pengusaha, dan ia akan bahagia mendengar uang sebegitu banyak akan masuk ke rekening perusahaan.
Varen segera melupakan Raya dan persoalannya dengan perempuan itu. Menurutnya, Raya akan membaik dengan sendirinya. Bukan pertama kali Raya marah kepadanya. Mereka sempat bertengkar hebat karena sesuatu yang membuat hubungan mereka sempat retak. Tapi lihatlah selanjutnya. Mereka berbaikan lagi. Varen bahkan berhasil mengajak Raya menikah.
“Kau tidak bisa menyewa seluruh hotel milikku,” ungkap Varen ketika menemui Karan di sebuah kafe, tempat janjian mereka.
Karan tersenyum melihat Varen duduk di kursi di seberang kursinya. “Kenapa?”
“Kau bilang akan menyewanya untuk minggu depan, bukan? Kalau hanya kamar hotel, mungkin bisa. Tapi kalau itu apartemen, akan sulit karena beberapa unit sudah ditempati orang lain untuk sebulan, bahkan beberapa bulan ke depan.”
Karan mengambil cangkir kopi di depannya dan menyeruput cairan itu pelan. “Baiklah, kalau begitu aku akan menyewa yang tidak terpakai saja asalkan kau nilai itu layak untuk digunakan.”
Senyuman kecil terbit di wajah Varen. “Oke, aku akan mengurusnya. Tapi, kenapa kau tiba-tiba ingin menyewa begitu banyak kamar? Apa minggu depan ada acara penting di perusahaanmu?”
“Ya,” jawab Karan, tetapi ia tidak mengatakan keseluruhannya.
Sebenarnya bukan acara perusahaan, Karan menyewa begitu banyak kamar untuk acara pernikahannya. Karan sudah merencanakan menikah dengan Raya minggu depan. Ia bahkan sudah menyuruh Ian mengerahkan seluruh persiapan mereka untuk pernikahan itu.
Perbincangan tentang bisnis berhenti di situ, tepatnya pada kesepakatan Karan dan Varen. Selanjutnya, Karan akan membicarakan inti dari pertemuan mereka. Tentang Raya yang harus segera ia rebut dari sisi Varen.
“Bagaimana kabar Raya? Kemarin aku sempat mengantarnya pulang, tapi wajahnya tampak sedikit murung,” ungkap Karan memulai percakapan lagi.
“Sial!” umpat Varen tiba-tiba. Ia meneguk jus mangga di depannya hingga tandas. Merasa harus hanya karena mendengar nama Raya. “Aku bertengkar dengannya semalam.”
Entah mengapa Varen memutuskan untuk menceritakan masalahnya pada Karan. Mulai dari masalah tentang kesalahan toko sepatu yang membuat Raya marah besar, hingga kepergian Raya dari rumahnya. Padahal Varen sama sekali tidak bermaksud begitu. Ia tidak pernah ada niatan untuk berselingkuh dari Raya karena ia sangat mencintai wanita itu.
“Aku sudah mengerahkan segalanya, tapi aku tidak bisa mencegah Raya pergi. Astaga, dadaku terasa sesak sekarang,” celetuk Varen di ujung ceritanya.
Karan tahu rasa sesak itu. Ia sudah merasakannya hampir setiap hari selama belasan tahun. Setiap melihat Raya berdekatan dengan pria lain, dada Karan akan merasa sesak, sekalipun Karan tidak merokok pada hari itu. Karan baru tahu belakangan ini. Bahwa perasaan sesak dan ketidaksukaannya pada Raya karena ia cemburu melihat wanita itu bersama dengan laki-laki selain dirinya.
“Jangan menahannya sendiri. Cobalah untuk menjelaskannya pada Raya,” kata Karan berpura-pura menasihati. Sementara di dalam hatinya, Karan begitu senang. Ia sangat bersemangat mendengar keretakan hubungan Raya dan Varen.
Mata Varen memandang Karan. “Memang apa yang harus aku lakukan? Aku sudah coba untuk menjelaskannya, tapi Raya tidak mau dengar sama sekali.”
“Hmm, sulit.” Karan mencoba berpikir. Lalu, ia mendapatkan jawabannya. “Bagaimana kalau aku yang menjelaskannya pada Raya?”
Kening Varen mengerut. “Maksudmu?”
“Ya, aku akan mencoba jelaskan pada Raya kalau dia hanya salah paham terhadapmu. Terkadang kita perlu memakai pihak ketiga untuk menyelesaikan masalah. Itu pun kalau kau mau.”
“Aku tidak masalah, tapi bagaimana caranya kau menjelaskannya pada Raya? Kau mau menemuinya secara langsung?”
Karan menggeleng. Tidak mungkin ia bertemu dengan Raya untuk membuat wanita itu berbaikan dengan Varen. Karan ingin hubungan keduanya semakin buruk hingga pernikahan mereka dibatalkan. Dengan begitu, Karan akan bisa menikahi Raya.
“Begini, bagaimana kalau kita makan malam bersama? Sekaligus aku akan memperkenalkan kekasihku pada kalian. Aku rasa Raya akan setuju dengan itu.”
Varen tidak melihat ada yang buruk pada usulan itu. Ia pun menganggukkan kepalanya. “Baiklah, ayo kita makan bersama. Tapi kau yang mengatur semuanya.”
“Tidak masalah. Aku akan segera mengirimkan tempatnya padamu,” ujar Karan sambil tersenyum senang. Ia punya rencana dalam makan malam pasangan ini. Rencana untuk memanas-manasi Raya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Senajudifa
ish karan ini
2023-04-25
0
auliasiamatir
karan... kamu licik yaj
2023-02-08
1
Aerik_chan
Semangat Nulisnya
hai kak mmpir di karya terbaru aku, Kekasih Sementara
2023-02-05
1