Karan beranjak ke kamar mandi. Keran dihidupkan dan air turun dari shower atas, membasahi tubuh Karan. Pria itu menggosok tubuhnya dengan sangat hati-hati terutama di bagian belakang. Pundaknya memang terluka akibat tancapan kuku-kuku panjang Raya, tapi itu tidak menyakitkan. Justru bagi Karan, luka-luka lama di punggungnya masih terasa perih sampai sekarang kendati sudah mengering dan sembuh.
Karan tidak pernah menunjukkan luka-luka itu pada siapa pun, termasuk pada Raya. Saat mereka berhubungan badan, Karan selalu berusaha agar Raya tidak menemukan lukanya karena wanita itu akan muntah jika melihatnya. Luka tersebut terlalu mengerikan bagi Raya yang senang dengan pemandangan indah. Mirisnya, Karan tidak bisa menghapusnya begitu saja karena luka tersebut adalah saksi betapa tersiksanya Karan 12 tahun yang lalu.
Tangan Karan menggosok punggungnya dengan kasar, berkali-kali seolah sedang menyikat noda kotor yang menempel di sana. Namun, sampai punggungnya tergores dan terasa perih, Karan masih saja tidak bisa menghilangkan noda tersebut. Mungkin selamanya Karan akan merasa noda itu menempel di tubuhnya seperti itu.
“Sialan! Semua karena kau, Raya. Karena dirimu!” umpat Karan sembari memukul tembok kamar mandinya yang terbuat dari marmer. Ia kesal dan marah kepada Raya. Kebenciannya sangat besar kepada istrinya itu tanpa tahu bagaimana cara meredamnya. Haruskah ia lenyapkan saja nyawa Raya? Mencekiknya hingga kehabisan napas mungkin salah satu pilihan yang tepat.
“Sial!” Sekali lagi ia memukul tembok dengan kasar.
Karan menyelesaikan kegiatan mandinya dengan dihiasi umpatan-umpatan yang keluar dari mulutnya. Ini tidak bisa dibiarkan. Berada di dekat Raya akan membuat Karan teringat masa lalu menyeramkan itu. Karan harus segera pergi dari rumah. Ia tidak boleh terlalu lama di sana.
“Siapkan mobil. Aku akan pergi ke bandara sekarang,” seru Karan melalui ponselnya pada Ian, sang asisten pribadi yang sudah menemaninya selama lima tahun. Sambil mengaitkan kancing-kancing kemeja kremnya, Karan berkata lagi, “Bawakan juga dokumen perjanjiannya.”
Dari seberang panggilan, Ian menjawab, “Baik Pak.”
Hanya itu saja yang bisa Ian katakan karena Karan langsung mematikan sambungan telepon mereka. Karan memasukkan ponselnya ke saku celana, lalu mengambil jam tangan yang ada di atas nakas.
Masih jam 5 subuh, tapi Karan sudah bersiap-siap untuk pergi. Hari ini jadwalnya cukup padat dan semakin padat karena ia tidak bisa menahan gairahnya semalam. Andai saja ia tidak menghabiskan malamnya dengan Raya atau minimal melakukannya secara cepat dengan wanita itu, mungkin ia bisa berangkat lebih awal dan tidak menunda jadwal penerbangannya.
Karan menatap cermin, memperbaiki letak dasinya yang sedikit melenceng. Untuk terakhir kalinya, ia mengenakan jas hitamnya. Kemudian, beranjak dari kamar ke lantai bawah.
“Anna!” teriak Karan memanggil asisten rumah tangganya—seorang wanita berusia 50 tahun.
Dari arah dapur wanita bernama Anna itu muncul dan menghampiri Karan. “Ya, Pak!”
“Aku akan pergi ke New York hari ini. Raya sedang tidur. Bangunkan dia tiga jam lagi untuk sarapan. Berikan apa yang diinginkannya, kecuali keluar dari rumah ini. Karena kalau sampai aku dengar dia kabur, aku akan memotong lehermu.”
Karan meninggikan nada suaranya. Sengaja agar memberikan penekanan pada Anna tentang ancamannya yang tidak main-main. “Ini peringatanku yang terakhir. Aku tidak mau kejadian lima hari lalu terjadi lagi, Anna. Apa kau mengerti?”
Anna tidak sanggup mengangkat wajahnya. Ia hanya bisa mengangguk sambil menjawab. “Y-ya, P-pak. Sa-saya mengerti,” katanya gugup.
Karan berjalan meninggalkan Anna saat mendengar suara mobil di depan pintu rumahnya. Di sana tampak Ian menyambutnya dengan wajah tanpa ekspresi walaupun Karan tahu laki-laki itu pasti kesal dibangunkan secara mendadak.
Begitu masuk ke dalam mobil, Karan mengeluarkan ponselnya, hendak melihat pekerjaan yang sempat ia tunda semalam sebelum pulang ke rumah. Begitu layar ponsel itu tersentuh, foto Raya muncul di sana, sangat cantik dengan balutan gaun pengantin berwarna putih pilihan Karan.
Mau tahu seberapa mahal gaun itu? Harganya cukup untuk membeli sebuah mobil sport buatan produsen mobil terkenal asal Italia. Karan memesannya secara khusus untuk Raya, bahkan jauh-jauh hari sebelum rencana pernikahan mereka diumumkan. Karena Karan tahu, istrinya itu sangat suka benda-benda prestisius yang mahal agar sesuai dengan gaya hidupnya yang glamor. Dan itu juga merupakan salah satu alasan mengapa Raya mau menikah dengan Karan. Wanita itu ingin kemewahan yang ditawarkan oleh Karan.
Sambil melihat-lihat sederetan dokumen di ponselnya, tangan Karan bergerak mencari sesuatu. “Mana rokokku?” tanya pria itu ketika tidak menemukan produk yang terbuat dari tembakau di samping kursi mobilnya. “Kau membuangnya?” sambungnya dengan nada kesal seraya menatap Ian yang sedang menyetir.
Mata Ian mengarah ke cermin di atasnya untuk memandang pria yang ada di belakang kursinya itu secara sekilas. “Bukan saya, Pak. Tapi Ibu Raya yang membuangnya.”
“Jangan bohong Ian! Istriku tidak pernah masuk ke dalam mobil ini. Bagaimana cara dia membuangnya?”
“Saya tidak bohong, Pak. Ibu Raya memang tidak pernah masuk ke dalam mobil, tapi beliau menyuruh saya membuangnya.”
“Ian!” Karan menggeram kesal. Sorotan matanya begitu tajam seolah-olah ingin menghabisi sang asisten begitu saja. “Berikan aku rokok sebelum aku membunuhmu!”
Ian tidak kuasa menolak perintah Karan. Apalagi Karan tahu ia tidak pernah benar-benar membuang benda itu. Ia hanya menyembunyikannya di dalam dashboard sebagai simbol bahwa ia menuruti perkataan Raya. “Ini Pak,” ujarnya seraya menyerahkan rokok beserta pemantiknya kepada Karan.
“Jangan sesekali kau melakukan ini lagi, Ian. Raya memang istriku, tapi kau harus mendahulukan perintahku,” balas Karan sambil mengambil kedua benda itu.
Karan menurunkan jendela mobil, menaruh ujung rokok di bibirnya dan menyalakan pemantik. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu meniupkannya keluar bersama semilir angin pagi kota Jakarta. Tidak masalah jika ia tidak sarapan atau tidak tidur, tapi masalah besar akan muncul jika ia tidak menghisap tembakaunya di pagi hari. Itu adalah kebiasaan Karan. Kebiasaan yang ia bangun saat ia tahu Raya tidak menyukainya.
“Anda tidak tidur, Pak?” ucap Ian lagi. Meskipun sudah terbiasa melihat Karan yang mencurahkan hidupnya dengan bekerja, ia tetap merasa kasihan melihat sosok majikannya yang sekarang. Mata hitam itu tampak lelah. Begitu pula dengan wajahnya yang terlihat pucat. Kemarin Karan sampai di rumah pukul 11 malam, dan hari ini mereka sudah keluar rumah bahkan sebelum matahari muncul di atas langit.
Karan melepaskan rokok dari bibirnya. Ia menyeringai. “Tidur?” tukasnya sambil terkekeh. “Kalau aku tidur, aku tidak akan bisa menghamburkan berlian di jari dan leher Raya, Ian. Aku tidak akan bisa mendirikan istana untuk wanita itu dan memakaikannya pakaian-pakaian mewah.”
Karan kembali menghisap rokoknya sambil menyelami pikirannya. Ya, benar. Semua usaha yang dilakukannya hingga saat ini, kerja keras dan semua hartanya, Karan kumpulkan hanya untuk Raya. Untuk memikat wanita itu dan membuatnya menjadi miliknya. Karena hanya itulah satu-satunya cara yang bisa mengikat Raya ke jurang dendam yang diciptakan oleh Karan. Dendam dari masa lalu belasan tahun lalu.
Karan sudah menempuh banyak cara untuk mendapatkan Raya. Dari cara termanis yang menjijikkan sampai cara-cara kotor yang menyenangkan. Termasuk cara untuk menghancurkan pertunangan Raya dengan pria lain tiga bulan lalu. Pertunangan yang seharusnya tidak dilakukan oleh Raya karena menyulut amarah Karan dan memancingnya merebut Raya dari kekasih wanita itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Ucy (ig. ucynovel)
emm, kisah apakah itu 🤔
2023-04-03
0
🤗🤗
mengerikan
2023-01-26
1
🤗🤗
pasti lukanya parah dulunya.
2023-01-26
2