NovelToon NovelToon

Lies

Kepuasan yang Tidak Seharusnya

“Jangan ...” suara serak seorang wanita saat berada di dalam dekapan mesra Karan. Wanita itu memukuli dada Karan sambil berontak. Saat ada kesempatan, ia menarik bibirnya dari bibir Karan. “Jangan di sini, Karan,” katanya terengah.

“Raya, diam!” tukas Karan yang disertai dengan geraman. Setiap saraf Karan sudah menegang sekarang, memohon-mohon sesuatu untuk dilepaskan. Dan Raya masih memikirkan tempat di mana mereka berada? Oh, ayolah, itu pemikiran yang sangat konyol!

“Ini ruang tamu, Karan. Nanti ada yang melihat.”

Raya menahan bibir Karan dengan telapak tangan kirinya, tempat di mana sebuah cincin dengan batu berlian berwarna putih dan potongan batu permata hijau melingkar cantik di sana. Cincin yang sempat menggemparkan Indonesia karena harganya yang fantastis. Cincin pernikahan mereka.

Seakan tidak peduli dengan ucapan Raya, Karan masih melancarkan aksinya dengan mengecupi telapak tangan wanita itu yang menutupi mulutnya. “Aku tidak peduli. Ini rumahku.Aku boleh melakukannya di mana saja. Jika ada yang melihat, aku tinggal menyuruh Ian mencongkel matanya,” ungkap Karan dengan tegas, sama sekali tidak menghiraukan kekhawatiran istrinya.

Mata pria itu menyalak menatap netra cokelat pekat milik Raya sembari mencium cincin berharga miliaran rupiah yang terselip di jari manis wanita itu. Bibirnya sedikit menyeringai. Merasa senang ketika mengetahui cincin pemberiannya tampak sempurna di jari Raya. Memang hanya ia sajalah yang tahu apa yang pantas dan tidak pantas untuk istrinya itu.

Raya menarik tangan dan memindahkannya ke pipi Karan, merasakan rambut-rambut halus yang entah sejak kapan mulai mengisi wajah tampan laki-laki itu. Padahal hanya tiga hari Raya tidak melihat Karan, tapi tampilannya sudah sangat berubah. Kacau dan jauh dari kata sempurna. Tidak seperti Karan yang ia lihat sering menghiasi beberapa sampul majalah ternama di mana wajah sang suami selalu tampak rupawan dengan senyum tipis khasnya.

“Tidak ... kita tidak boleh melakukannya di sini. Aku mohon.” Raya berbicara dengan menampilkan sorotan mata mengiba. Raya tahu kebutuhan fisik Karan, ia pun menginginkan hal yang sama. Terpisah selama berhari-hari membuat Raya menyimpan rindu pada sosok laki-laki berusia 28 tahun itu. Meskipun ia tidak tahu apakah Karan juga merasakan hal yang serupa dengannya.

“Kita pindah ke kamar saja ya?” pinta wanita itu lembut sambil mengusap-usap pipi Karan dengan belaian penuh janji, berharap suaminya mau menuruti permintaannya kali ini.

Gerakan tangan Raya menggoda, membuat peredaran darah Karan mengalir dengan cepat. “Egh, sial!” umpat Karan kesal. “Baiklah, tapi ini yang terakhir. Aku tidak suka kau mencari-cari alasan untuk menolakku!”

Karan menyingkirkan tubuh Raya dari tubuhnya untuk sejenak, kemudian mengendong wanita itu dan membawanya ke dalam kamar. Kali ini ia memilih kamar Raya. Kamar mewah nan cantik yang ia rancang satu tahun yang lalu dengan menggelontorkan ratusan juta rupiah hanya demi Raya. Kamar yang selalu ia jadikan sebagai sangkar emas untuk memenjarakan istrinya.

“Cepat lepaskan ini sebelum aku merobeknya!” perintah Karan pada Raya.

Maksudnya agar Raya segera menanggalkan pakaian yang melekat di tubuh perempuan itu. Terakhir kali melakukannya, Karan tidak sengaja merobek gaun malam milik sang istri. Ia terburu-buru karena hasratnya sudah membumbung tinggi. Ketika dihadapkan dengan pakaian yang rumit itu, Karan memutuskan untuk menggunakan cara instan, yakni merobeknya alih-alih melucuti satu per satu kancing yang melekat di sana.

Alhasil, Raya menangis. Karan pikir karena ia merobek baju tidur kesukaan sang istri. Itulah sebabnya setelah malam itu, Karan memerintahkan Ian mencari baju yang sama. Namun, ia salah besar. Baju itu tidak sekadar baju kesukaan Raya, tetapi rancangan pertama wanita itu. Karan tahu istrinya belakangan ini sedang belajar membuat pakaian. Tapi siapa yang sangka hasil karya pertamanya adalah sebuah gaun tipis yang begitu rumit seperti itu?

Raya menuruti perintah Karan. Tangannya bergerak membuka kancing bajunya. Satu per satu dengan gerakan perlahan hingga membuat Karan geram melihatnya. Raya tidak peduli. Ia melepas celana pendeknya sementara Karan menatap tajam dengan raut wajah menahan emosi. Celana itu meluncur dari paha dan turun ke mata kaki, meninggalkan secarik pakaian tipis yang tersisa di tubuh bagian bawah Raya.

Rasanya begitu panas, lebih menggugah daripada ratusan model berpakaian bikini apa pun yang pernah Karan saksikan. Raya dan seluruh keindahan tubuhnya benar-benar tampak menggairahkan.

Sialan! Iya tidak tahan lagi. Cepat-cepat Karan menurunkan ritsleting celana panjangnya, merasakan bagaimana miliknya mendesak celana itu.

Usai semua pakaian yang ada di tubuhnya sudah terlepas dengan sempurna, Karan menyerang Raya. Menelanjangi wanita itu dengan cepat karena ia merasa sudah tidak sabar lagi. Raya sengaja mengulur waktu. Karan tahu itu dengan pasti. Tapi Karan bukanlah pria bodoh yang akan senang melihatnya. Ia suka sentuhan fisik, bukan hanya sekadar rangsangan secara visual seperti itu.

Karan merebahkan tubuh Raya yang polos di atas ranjang dengan kasar. Ia mencium dan menjilat setiap jengkal tubuh wanita itu. Dari wajah hingga berhenti di atas perutnya. Karan memberi Raya getar-getar kenikmatan. Menaburkan banyak ciuman panas dan liar di tempat-tempat sangat sensitif serta tak mengizinkan Raya memikirkan apa pun kecuali dirinya dan semua gerakan yang mampu pria itu lakukan di atas tubuh sang istri.

“Biarkan lampunya menyala,” ucap Karan di sela-sela aktivitasnya untuk menghentikan Raya yang hendak mematikan lampu di atas nakas. Penting baginya untuk melihat Raya, setiap rintih perih dan desah nikmat di wajah wanita itu, setiap respons tubuh Raya atas tindakannya. Agar ia tahu bahwa Raya adalah miliknya. Dan tidak ada satu pun yang bisa merebut wanita itu darinya. “Kau harus melihatku saat kita bercinta, Raya. Tatap aku supaya kau sadar bahwa kau hanya milikku saja.” Suara Karan serak dan menuntut.

“Karan ...”

Raya mendesah lagi. Menyebut namanya hingga menerbitkan kebanggaan atas diri Karan. Raya membutuhkannya, menginginkannya sebanyak yang ia rasakan untuk wanita itu. Karan kembali mencium bibir Raya saat ia merasa semua telah siap. Dan ketika ia menyatukan tubuh mereka, kenikmatan yang sangat besar menyelimutinya. Inilah rasa yang dirindukannya. Rasa yang hanya bisa tercipta saat tubuhnya menyatu dengan tubuh Raya.

Karan memegang kendali atas apa yang terjadi malam itu, sama sekali tidak membiarkan Raya mengambil inisiatif apa pun. Karan bergerak dalam tempo yang ia ciptakan sendiri. Cepat lalu lambat, yang membuat seluruh energinya hanya berpusat pada inti milik Raya. Saat gelombang puncak itu hendak menyelubungi dirinya, Karan akan berhenti sejenak. Memaksa dirinya bertahan selama mungkin, kemudian mendesak Raya mencapai pelepasannya dan meneriaki namanya dengan kencang.

Ada kepuasan besar yang Karan rasakan tatkala melihat Raya meraih puncaknya. Karan menyukai seruan serak Raya, suara yang menggoda indra pendengarannya. Juga sensasi tubuh Raya yang meremas miliknya. Sampai pada akhirnya, Karan tidak bisa lagi menahan kebutuhan dirinya sendiri. Otot-ototnya sudah menegang kencang, menuntutnya agar segera mencapai keinginan terbesarnya.

“Raya ...” desah panjang Karan ketika gelombang dahsyat menyergap miliknya. Ia pun ambruk, terkulai lemas di atas ranjang seperti daun yang baru saja gugur di atas tanah. Mengatur napas agar tidak menggebu dan menetralkan detak jantungnya yang berdebar secepat ia berlari ratusan meter. Ini melelahkan sekaligus menyenangkan. Mungkin sekarang sudah waktunya ia beristirahat sejenak dengan memejamkan matanya.

Sayangnya, baru satu jam berkutat dalam tidur, Karan terbangun dan tersentak mendapati dirinya tengah berbaring di atas ranjang. Sambil memijat kening, Karan baru menyadari di mana dirinya tidur sekarang. Di dalam kamar Raya.

Karan memosisikan dirinya untuk duduk. Mendesah kasar saat melihat Raya terkulai lemas di sampingnya. Sial, makinya di dalam hati. Ini di luar dugaan Karan. Bukan begini rencana awalnya. Seharusnya Karan hanya mencium Raya, memberikan sedikit rangsangan agar wanita itu memohon padanya. Setelah itu, ia akan meninggalkan tempat itu dan menyaksikan Raya tampak sangat kesepian. Memohon dan terus mendambanya. Dengan begitu Raya akan merasakan lubang neraka yang Karan ciptakan untuknya.

Namun, hanya bersentuhan fisik dengan Raya saja membuat Karan menggila. Kulitnya yang lembut dan panas, bibirnya yang manis, dan aroma tubuhnya ... sial! Karan tidak bisa menahan diri dari semua itu. Ia berhadap bahwa ia bisa melawannya, tapi ia justru mendapati dirinya tampak menyedihkan dan tak berdaya. Raya begitu mahir menggodanya, bahkan wanita itu tidak memberikannya pilihan selain menghabiskan malam dengannya. Benar-benar wanita penggoda sialan!

Kemewahan Untuk Istriku

Karan beranjak ke kamar mandi. Keran dihidupkan dan air turun dari shower atas, membasahi tubuh Karan. Pria itu menggosok tubuhnya dengan sangat hati-hati terutama di bagian belakang. Pundaknya memang terluka akibat tancapan kuku-kuku panjang Raya, tapi itu tidak menyakitkan. Justru bagi Karan, luka-luka lama di punggungnya masih terasa perih sampai sekarang kendati sudah mengering dan sembuh.

Karan tidak pernah menunjukkan luka-luka itu pada siapa pun, termasuk pada Raya. Saat mereka berhubungan badan, Karan selalu berusaha agar Raya tidak menemukan lukanya karena wanita itu akan muntah jika melihatnya. Luka tersebut terlalu mengerikan bagi Raya yang senang dengan pemandangan indah. Mirisnya, Karan tidak bisa menghapusnya begitu saja karena luka tersebut adalah saksi betapa tersiksanya Karan 12 tahun yang lalu.

Tangan Karan menggosok punggungnya dengan kasar, berkali-kali seolah sedang menyikat noda kotor yang menempel di sana. Namun, sampai punggungnya tergores dan terasa perih, Karan masih saja tidak bisa menghilangkan noda tersebut. Mungkin selamanya Karan akan merasa noda itu menempel di tubuhnya seperti itu.

“Sialan! Semua karena kau, Raya. Karena dirimu!” umpat Karan sembari memukul tembok kamar mandinya yang terbuat dari marmer. Ia kesal dan marah kepada Raya. Kebenciannya sangat besar kepada istrinya itu tanpa tahu bagaimana cara meredamnya. Haruskah ia lenyapkan saja nyawa Raya? Mencekiknya hingga kehabisan napas mungkin salah satu pilihan yang tepat.

“Sial!” Sekali lagi ia memukul tembok dengan kasar.

Karan menyelesaikan kegiatan mandinya dengan dihiasi umpatan-umpatan yang keluar dari mulutnya. Ini tidak bisa dibiarkan. Berada di dekat Raya akan membuat Karan teringat masa lalu menyeramkan itu. Karan harus segera pergi dari rumah. Ia tidak boleh terlalu lama di sana.

“Siapkan mobil. Aku akan pergi ke bandara sekarang,” seru Karan melalui ponselnya pada Ian, sang asisten pribadi yang sudah menemaninya selama lima tahun. Sambil mengaitkan kancing-kancing kemeja kremnya, Karan berkata lagi, “Bawakan juga dokumen perjanjiannya.”

Dari seberang panggilan, Ian menjawab, “Baik Pak.”

Hanya itu saja yang bisa Ian katakan karena Karan langsung mematikan sambungan telepon mereka. Karan memasukkan ponselnya ke saku celana, lalu mengambil jam tangan yang ada di atas nakas.

Masih jam 5 subuh, tapi Karan sudah bersiap-siap untuk pergi. Hari ini jadwalnya cukup padat dan semakin padat karena ia tidak bisa menahan gairahnya semalam. Andai saja ia tidak menghabiskan malamnya dengan Raya atau minimal melakukannya secara cepat dengan wanita itu, mungkin ia bisa berangkat lebih awal dan tidak menunda jadwal penerbangannya.

Karan menatap cermin, memperbaiki letak dasinya yang sedikit melenceng. Untuk terakhir kalinya, ia mengenakan jas hitamnya. Kemudian, beranjak dari kamar ke lantai bawah.

“Anna!” teriak Karan memanggil asisten rumah tangganya—seorang wanita berusia 50 tahun.

Dari arah dapur wanita bernama Anna itu muncul dan menghampiri Karan. “Ya, Pak!”

“Aku akan pergi ke New York hari ini. Raya sedang tidur. Bangunkan dia tiga jam lagi untuk sarapan. Berikan apa yang diinginkannya, kecuali keluar dari rumah ini. Karena kalau sampai aku dengar dia kabur, aku akan memotong lehermu.”

Karan meninggikan nada suaranya. Sengaja agar memberikan penekanan pada Anna tentang ancamannya yang tidak main-main. “Ini peringatanku yang terakhir. Aku tidak mau kejadian lima hari lalu terjadi lagi, Anna. Apa kau mengerti?”

Anna tidak sanggup mengangkat wajahnya. Ia hanya bisa mengangguk sambil menjawab. “Y-ya, P-pak. Sa-saya mengerti,” katanya gugup.

Karan berjalan meninggalkan Anna saat mendengar suara mobil di depan pintu rumahnya. Di sana tampak Ian menyambutnya dengan wajah tanpa ekspresi walaupun Karan tahu laki-laki itu pasti kesal dibangunkan secara mendadak.

Begitu masuk ke dalam mobil, Karan mengeluarkan ponselnya, hendak melihat pekerjaan yang sempat ia tunda semalam sebelum pulang ke rumah. Begitu layar ponsel itu tersentuh, foto Raya muncul di sana, sangat cantik dengan balutan gaun pengantin berwarna putih pilihan Karan.

Mau tahu seberapa mahal gaun itu? Harganya cukup untuk membeli sebuah mobil sport buatan produsen mobil terkenal asal Italia. Karan memesannya secara khusus untuk Raya, bahkan jauh-jauh hari sebelum rencana pernikahan mereka diumumkan. Karena Karan tahu, istrinya itu sangat suka benda-benda prestisius yang mahal agar sesuai dengan gaya hidupnya yang glamor. Dan itu juga merupakan salah satu alasan mengapa Raya mau menikah dengan Karan. Wanita itu ingin kemewahan yang ditawarkan oleh Karan.

Sambil melihat-lihat sederetan dokumen di ponselnya, tangan Karan bergerak mencari sesuatu. “Mana rokokku?” tanya pria itu ketika tidak menemukan produk yang terbuat dari tembakau di samping kursi mobilnya. “Kau membuangnya?” sambungnya dengan nada kesal seraya menatap Ian yang sedang menyetir.

Mata Ian mengarah ke cermin di atasnya untuk memandang pria yang ada di belakang kursinya itu secara sekilas. “Bukan saya, Pak. Tapi Ibu Raya yang membuangnya.”

“Jangan bohong Ian! Istriku tidak pernah masuk ke dalam mobil ini. Bagaimana cara dia membuangnya?”

“Saya tidak bohong, Pak. Ibu Raya memang tidak pernah masuk ke dalam mobil, tapi beliau menyuruh saya membuangnya.”

“Ian!” Karan menggeram kesal. Sorotan matanya begitu tajam seolah-olah ingin menghabisi sang asisten begitu saja. “Berikan aku rokok sebelum aku membunuhmu!”

Ian tidak kuasa menolak perintah Karan. Apalagi Karan tahu ia tidak pernah benar-benar membuang benda itu. Ia hanya menyembunyikannya di dalam dashboard sebagai simbol bahwa ia menuruti perkataan Raya. “Ini Pak,” ujarnya seraya menyerahkan rokok beserta pemantiknya kepada Karan.

“Jangan sesekali kau melakukan ini lagi, Ian. Raya memang istriku, tapi kau harus mendahulukan perintahku,” balas Karan sambil mengambil kedua benda itu.

Karan menurunkan jendela mobil, menaruh ujung rokok di bibirnya dan menyalakan pemantik. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu meniupkannya keluar bersama semilir angin pagi kota Jakarta. Tidak masalah jika ia tidak sarapan atau tidak tidur, tapi masalah besar akan muncul jika ia tidak menghisap tembakaunya di pagi hari. Itu adalah kebiasaan Karan. Kebiasaan yang ia bangun saat ia tahu Raya tidak menyukainya.

“Anda tidak tidur, Pak?” ucap Ian lagi. Meskipun sudah terbiasa melihat Karan yang mencurahkan hidupnya dengan bekerja, ia tetap merasa kasihan melihat sosok majikannya yang sekarang. Mata hitam itu tampak lelah. Begitu pula dengan wajahnya yang terlihat pucat. Kemarin Karan sampai di rumah pukul 11 malam, dan hari ini mereka sudah keluar rumah bahkan sebelum matahari muncul di atas langit.

Karan melepaskan rokok dari bibirnya. Ia menyeringai. “Tidur?” tukasnya sambil terkekeh. “Kalau aku tidur, aku tidak akan bisa menghamburkan berlian di jari dan leher Raya, Ian. Aku tidak akan bisa mendirikan istana untuk wanita itu dan memakaikannya pakaian-pakaian mewah.”

Karan kembali menghisap rokoknya sambil menyelami pikirannya. Ya, benar. Semua usaha yang dilakukannya hingga saat ini, kerja keras dan semua hartanya, Karan kumpulkan hanya untuk Raya. Untuk memikat wanita itu dan membuatnya menjadi miliknya. Karena hanya itulah satu-satunya cara yang bisa mengikat Raya ke jurang dendam yang diciptakan oleh Karan. Dendam dari masa lalu belasan tahun lalu.

Karan sudah menempuh banyak cara untuk mendapatkan Raya. Dari cara termanis yang menjijikkan sampai cara-cara kotor yang menyenangkan. Termasuk cara untuk menghancurkan pertunangan Raya dengan pria lain tiga bulan lalu. Pertunangan yang seharusnya tidak dilakukan oleh Raya karena menyulut amarah Karan dan memancingnya merebut Raya dari kekasih wanita itu.

Sang Super Model

“Raya Drisana, akhirnya mengumumkan siapa pujangga hati yang telah memikatnya selama ini. Dalam acara pertunangan megah yang dilaksanan semalam di salah satu hotel mewah di kawasan Jakarta Pusat, Raya memperkenalkan tambatan hatinya kepada publik. Pria itu adalah Varen Admaja, pria yang berusia satu tahun di atas super model itu. Dalam pertunangan mereka, anak konglomerat sekaligus pengusaha hotel dan tempat hiburan tersebut menyematkan sebuah cincin berlian yang harganya lebih dari 500 juta rupiah. Pemenang Putri Kecantikan Indonesia tahun 2017 itu mengungkapkan betapa bahagianya dia malam itu. Dengan dibalut gaun berwarna merah—"

“Sialan!” Karan mengumpat kencang, merasa tak kuasa mendengar berita itu lagi. Ia nyaris melemparkan remot televisinya ke lantai jika Ian tidak mencegahnya. “Apa hebatnya laki-laki itu dibandingkan denganku?” ucap Karan dengan nada dingin dan penuh kebencian.

Matanya menyalak memandang televisi, menujukkan seberapa besar rasa cemburu dalam dirinya. Tentu saja bukan hanya sekali Raya tampil di depan kamera bersama pria lain. Terhitung sudah ke tujuh kalinya selama karier wanita itu sebagai model. Tapi sebagai tunangan? Ini pertama kalinya dan Karan tidak bisa menerima hal itu sama sekali.

“Katakan padaku, Ian. Kenapa laki-laki itu berani menyentuh tangan kekasihku?” Karan berbicara lagi. Kali ini ia menunjukkan wajah kelam penuh kemarahan ke arah Ian, yang membuat asisten pribadi Karan itu bergidik ngeri.

Dengan ragu Ian menjawab, “Saya tidak tahu, Pak.” Ian menangkap warna merah padam pada wajah Karan, tahu ketika Karan berada dalam suasana hati yang sangat buruk dan memilih untuk berhati-hati dalam berbicara agar tidak memperkeruh keadaan.

“Kau tidak tahu? Hahaha!” Karan mengeluarkan suara penuh emosi, antara tawa atau kemarahan. “Apa yang kau kerjakan selama ini, hah? Aku menyuruhmu memata-matainya agar tidak ada satu pun laki-laki yang berani berhubungan jauh dengan Raya. Dan sekarang pertunangan. Apa kau tahu seberapa besar kesalahanmu itu?”

Karan berdiri dari kursinya dan mendekati Ian. Dengan gerakan cepat, ia menarik kerah leher hingga sang asisten merasa tercekik.

“P-pak! Ma-maafkan sa-saya,” tukas Ian terbata-bata karena napasnya yang mulai tersengal.

“Bagaimana rasanya? Kau tidak bisa bernapas? Itu yang aku rasakan, Ian. Aku tidak akan bisa bernapas tanpa Raya. Kau seharusnya mengerti itu, berengsek!” Karan semakin menguatkan cengkraman tangannya di kerah Ian.

“Sa-saya me-mengerti, Pak. To-tolong maafkan saya.” Ian berusaha meminta belas kasihan Karan. Matanya sudah memerah dan sedikit berair. Jika Karan tidak segera melepaskannya, mungkin dalam waktu dekat Ian akan benar-benar kehabisan napas.

Karan luluh mendengar permohonan Ian. Tidak ada untungnya membunuh Ian sekarang. Ia masih butuh sang asisten untuk mengurus semua keperluannya, terutama yang berkaitan dengan Raya.

“Sialan!” keluh Karan sembari melepaskan tangannya dari leher Ian. Rasa kesalnya ia limpahkan dengan melemparkan cangkir kopi dari mejanya ke atas lantai hingga hancur berkeping-keping.

Ian tersentak, lalu menunduk sambil mengatur napasnya. Jujur, ini memang kesalahannya. Ia terlalu sibuk mempersiapkan acara pernikahan seperti yang diminta Karan sampai-sampai hal yang terpenting luput begitu saja. Sejak pulang dari Paris, Karan sudah memerintahkan Ian mempersiapkan pernikahannya dengan Raya. Mereka memang belum sempat bertemu, tapi Karan yakin ia bisa mendapatkan Raya dengan mudah. Sebab yang paling diinginkan Raya adalah kekayaan dan popularitas. Beruntungnya, Karan punya semua itu.

Karan Reviano merupakan satu-satunya anak dari keluarga Reviano, sebuah keluarga konglomerat yang memiliki sebuah perusahaan media massa yang menaungi beberapa stasiun televisi, media cetak dan rumah produksi film. Perusahaan media satu-satunya dengan penghasilan tertinggi tiap tahun di Indonesia.

Tidak hanya karena menopang nama keluarga, nama Karan Reviano mencuat belakangan ini berkat kerja kerasnya di dunia bisnis. Ia berhasil mendapatkan gelar magister manajemen dan bisnis serta menjadi lulusan terbaik universitas mentereng di Amerika Serikat. Baru tiga tahun lalu ia mendirikan perusahaan jam tangan yang ia beri nama KR Watch. Karena bentuk pemasaran yang baik dan massif, saat ini Karan berhasil berada dalam posisi pertama sebagai pengusaha muda terkaya di Indonesia, menggeser posisi yang selama ini diduduki oleh para pengusaha di bidang teknologi.

Dengan popularitas dan kekayaan yang besar itu tentu saja membuat banyak wanita tergiur untuk mendekati Karan. Ada banyak wanita yang silih berganti menghampirinya, menawarkan berbagai hal untuk menyenangkan Karan termasuk dengan tubuh mereka. Sayangnya, Karan tidak menggubris mereka sama sekali. Karena sejak dulu hingga sekarang, Karan hanya memusatkan perhatiannya pada Raya Drisana, seorang super model yang sangat terkenal dan sekarang dikabarkan telah bertunangan dengan laki-laki lain.

“Siapa nama laki-laki berengsek itu?” tanya Karan lagi. Ia beranjak, membuka jendela di belakang mejanya dan menghidupkan sebatang rokok di bibirnya. Untung ruangan itu sudah disulapnya menjadi ruangan yang tahan asap. Jika tidak, alarm kebakaran akan berbunyi dan air akan turun membasahi semua dokumen bernilai miliaran rupiah yang ada di atas meja kerjanya.

“Varen Admaja, Pak,” sahut Ian.

“Berengsek!” umpat Karan lagi. Ia menghisap rokoknya hingga habis, lalu menghisap yang baru sampai dadanya terasa sesak. Sesak karena asap rokok yang memenuhi paru-parunya dan bayangan Raya bersama laki-laki lain. “Cari tahu semua informasi tentang laki-laki itu, termasuk bagaimana cara untuk menghancurkannya. Tidak ada yang boleh memiliki Raya selain aku. Apa kau mengerti?”

Ian mengangguk cepat. “Saya mengerti, Pak,” sahutnya yang menuruti perintah gila dari pria yang begitu terobsesi pada sang super model itu.

...********...

Selama sisa hari itu, tidak ada yang berani berbicara kecuali telah mendapatkan izin. Dan Karan menenggelamkan diri dalam pekerjaan, lembur di ruangannya agar bisa melupakan Raya. Saat jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari, Karan memutuskan pulang ke rumah. Ia harus mencari cara untuk menemui tunangan Raya apa pun yang terjadi. Karan tidak akan membiarkan kekasihnya itu direbut oleh pria lain.

Begitu sampai di rumah besarnya, Karan mengembuskan napas panjang. Ia memilih langsung masuk ke kamar agar bisa melihat pigura besar seorang gadis yang menempel di dinding. Gadis berpakaian SMA yang sedang tersenyum ceria ke arahnya. Gadis bernama Raya Drisana.

“Bagaimana bisa kau begitu kejam padaku, Sayang? Setelah menghancurkan hidupku, sekarang kau tersenyum pada laki-laki lain? Tidak, Sayang. Kau adalah milikku! Tidak ada satu pun yang bisa menyentuh tubuhmu kecuali aku,” tukasnya.

Bayangan Raya menari-nari di depan Karan. Senyuman manis wanita itu dan tingkah mesranya bersama sang tunangan, semua tingkah Raya yang seolah mengolok-olok Karan. Bagaimana Raya bisa hidup bahagia selama ini sementara Karan begitu tersiksa?

Karan bergerak mendekati pigura itu. Ia mencium pigura itu tepat pada bagian kaki Raya. Lalu, Karan berbicara lagi, “Sayang, aku berjanji akan membawamu ke sini, ke rumah kita dan membuatmu merasakan apa yang aku rasakan 12 tahun lalu.” Sambil menatap foto Raya, bibir Karan membentuk sebuah seringai mengerikan.

Tidak ada yang bisa menghentikan Karan sekarang. Bahkan, kedua orang tuanya pun tidak. Bukan karena Karan menunjukkan seberapa besar keinginannya untuk memiliki Raya, justru sebaliknya. Di mata keluarga dan masyarakat sekitar, Karan tak ubah sesosok pangeran yang baik hati. Karan punya yayasan untuk membantu banyak orang, mulai dari penyembuhan penyakit sampai bantuan terhadap para korban bencana alam. Tak jarang masyarakat lebih memuji kesigapan bantuan yang diberikan oleh yayasan Karan dibandingkan dengan bantuan dari pemerintah.

Tidak hanya itu, Karan juga bersikap ramah kepada orang lain. Ia tetap datang ke acara perjodohan yang dibuat oleh kedua orang tuanya demi menghormati mereka. Kendati pada akhirnya, Karan menolak wanita itu dengan sopan. Ia selalu berkata bahwa hatinya sudah dimiliki oleh wanita lain, dan sampai kapan pun hanya wanita itulah yang ingin Karan nikahi. Walaupun sudah menolaknya, karena sikap Karan yang ramah membuat para wanita tetap mengejar-ngejarnya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!