“Tante tidak mau tahu. Sebentar lagi kau akan menikah. Berat badanmu harus terjaga, Raya. Apa kau mau terlihat jelek di kamera? Ingat gaun pengantinmu. Ingat akan banyak orang yang melihatmu.”
Sang bibi terus-menerus mengingatkan Raya tentang berat badannya. Meskipun hanya satu kilogram, bagi wanita yang sudah mendidiknya selama belasan tahun itu, akan menjadi sangat masalah. Apalagi tubuh Raya sedikit unik. Saat berat badannya naik, pipinya akan membesar. Dan seandainya sedang ada pemontretan, pipi Raya akan terlihat penuh dan Raya akan tampak gendut.
Raya hanya bisa menunduk. Ia tidak mampu membantah sang bibi sekalipun wanita itu membawanya ke sebuah ruangan kosong yang diisi alat-alat kebugaran dan menghukumnya berolahraga di sana. Selama seharian Raya menghabiskan waktu di ruangan itu tanpa makan sama sekali. Sang bibi hanya memberikan air mineral agar Raya tidak dehidrasi.
Tidak ada ponsel dan jam yang menujukkan waktu. Raya hanya menduga pukul berapa saat ini dari cahaya matahari yang ia lihat dari jendela kaca ruangan itu. Matahari sudah tenggelam dan terbit lagi. Artinya lebih dari 24 jam Raya ada di sana. Dibandingkan ruang untuk berolahraga, Raya menganggap ruangan itu seperti ruang penghukuman. Bahkan, adik kandung sang ibu menyiapkan ruangan itu lengkap dengan sofa, sebuah lemari yang berisi beberapa pasang pakaian dan toilet. Dengan begitu Raya tidak punya alasan untuk keluar dari sana. Persis seperti penjara.
Ketika Raya melihat timbangan, ia bernapas lega. Akhirnya berat badannya turun. Bukan hanya satu kilogram, selama lebih dari 24 jam berolahraga, Raya berhasil mengurangi berat tubuhnya hingga nyaris tiga kilogram. Ia tersenyum tipis lalu menekan sebuah tombol di dekat pintu. Semacam tombol bel petanda bahwa misinya sudah selesai.
Benar saja, tak lama berselang, sang bibi membuka pintu itu, mengeluarkan Raya yang lemah dan membawanya ke kamar. Alih-alih membiarkan keponakannya beristirahat, wanita itu justru memerintahkan Raya untuk memakai pakaian yang sudah disiapkan di atas tempat tidur. Ia juga sudah menyiapkan penata rias untuk membantu Raya berdandan.
Raya tidak pernah tahu ke mana ia dibawa oleh bibinya. Sang super model baru mengetahuinya ketika melihat plang sebuah butik muncul di sebelah mobilnya. Ternyata mereka ke butik tempat Raya menyiapkan gaun pengantin. Raya yakin mereka tidak hanya akan melihat gaun pengantin yang akan Raya gunakan kurang dari seminggu lagi. Sang bibi pasti sedang menyiapkan sesuatu.
“Varen di mana? Kenapa dia tidak ke sini juga?” tanya Raya pada bibinya. Pernikahan ini adalah pernikahan mereka berdua, tetapi Varen tidak ada. Bagaimana Raya tidak kesal dengan itu?
Sambil membenahi letak gaun Raya, sang bibi menjawab, “Jangan pikirkan Varen. Fokus saja pada hidupmu. Kau harus ingat tujuan pernikahan ini. Popularitas. Gunakan nama besar Varen untuk mendapatkan itu.”
“Tapi Tante, Varen itu calon suamiku. Dia harusnya ada di sini,” protes Raya.
“Varen sedang sibuk, Raya! Sudahlah. Jangan bahas itu lagi. Ada yang harus kau lakukan setelah ini. Cepat ganti pakaianmu.”
Raya belum sempat menikmati keindahan tubuhnya di depan cermin, tapi sekarang ia sudah harus menanggalkan gaun itu. Raya ingin berontak, sayangnya ia terlalu lemah. Untuk berdiri saja sudah sangat sulit, apalagi untuk berdebat dengan bibinya. Raya lebih memilih menuruti perkataan sang bibi.
Wajah Raya sudah sangat pucat sekarang. Bedak yang menempel di wajahnya tidak bisa menutupi kondisi tubuh Raya. Hampir dua hari ia tidak makan. Hanya air mineral beberapa liter saja yang Raya konsumsi selama dua hari belakangan. Kepalanya pusing dan perutnya terasa sakit.
Celakanya tepat di depan pintu butik, ada beberapa wartawan yang sudah menunggu kedatangan Raya. Inilah rencana yang disiapkan oleh bibinya. Mengumpulkan wartawan untuk meliput kegiatan Raya selama persiapan acara pernikahan.
Seandainya kondisi tubuhnya baik-baik saja, Raya akan dengan senang hati menghadap mereka karena itulah keinginan Raya. Menjadi pusat perhatian. Sayangnya Raya tidak sanggup melakukannya. Ia tidak bisa keluar dan menampilkan kesehatannya yang memprihatinkan seperti ini. Raya tidak bisa menghancurkan pernikahannya begitu saja.
Selagi sang bibi dan manajernya menghadapi wartawan, Raya memilih keluar dari pintu belakang butik. Ia ingin kabur walaupun tidak tahu harus ke mana. Saking terburu-burunya, wanita itu tidak melihat sebuah mobil melintas di sampingnya dan nyaris menabraknya. Entah karena syok atau karena kondisi tubuhnya yang sudah lemas, Raya jatuh pingsan. Ia terkapar di atas aspal jalanan.
******
“Bagaimana kondisi pacar saya, Dok?” tanya Karan dengan tergesa-gesa setelah dokter memeriksa kondisi Raya. “Kenapa dia belum bangun? Sudah lebih tiga jam dia diinfus, kenapa matanya masih tertutup?”
Kendati didesak oleh Karan, dokter itu masih bisa bersabar. Ia akan menganggap Karan sebagai orang yang panik karena kekasihnya pingsan. “Beliau akan segera sadar, Pak. Beliau pingsan karena tidak makan selama beberapa hari. Asam lambungnya naik.”
“Apa?” Karan tersentak. Ia pikir Raya jatuh pingsan karena terkejut akibat mobil yang ia kendarai nyaris menabrak wanita itu. Karan bahkan terguncang hebat melihat tubuh Raya terkulai lemas di atas aspal. Nyaris saja ia menghantamkan kepala Ian ke bahu jalan karena hampir melukai Raya. Untung saja Raya masih bisa bernapas saat itu yang membuat nyawa Ian juga terselamatkan.
Padahal tujuan Karan ke butik itu hanya untuk melihat Raya yang dikabarkan sedang memakai baju pengantinnya. Karan memang tidak suka gaun pengantin yang dipilih Varen, namun ia tidak bisa menampik betapa cantiknya Raya memakai gaun itu. Bagi Karan, Raya satu-satunya wanita yang cocok memakai gaun pengantin, terlebih jika Raya memakai gaun pengantin pilihannya.
“Kenapa? Kenapa dia bisa kelaparan?” tanya Karan lagi merasa kebingungan.
Sama seperti Karan, dokter itu pun merasa kebingungan. Karan adalah kekasih dari wanita itu, bagaimana mungkin Karan tidak mengetahui kondisi kekasihnya sendiri? Atau mungkinkah hubungan mereka sedang rumit?
“Dugaan awal saya mungkin karena diet ekstrem yang beliau lakukan selama satu atau dua hari ini.” Sang dokter memberikan kesimpulan awalnya. Hanya itu yang bisa ia katakan saat ini karena ia belum melakukan pemeriksaan keseluruhan.
Bukannya sedih, Karan malah menampilkan ekspresi yang aneh. Sebelah bibirnya terangkat, pria itu menyeringai. “Baiklah Dok. Terima kasih,” ujar Karan pada akhirnya sembari memperbolehkan sang dokter meninggalkan ruangan Raya.
“Kau kelaparan, Sayang? Kenapa? Kau ingin bernostalgia dengan masa lalu? Atau kau ingin mengejekku?” bisik Karan di telinga Raya. Hatinya sakit melihat Raya tidak berdaya seperti sekarang, tapi ia juga merasa senang. Setidaknya satu dari ribuan rasa sakit yang Karan rasakan 12 tahun lalu sedang rasakan Raya. Sakit karena perut tidak terisi makanan.
Karan duduk di kursi yang ada di sebelah brankar Raya. Ia mengelus dengan lembut puncak kepala Raya. “Kau sangat beruntung, Sayang. Ketika kau sakit, aku ada di sisimu. Aku membawamu ke rumah sakit dan menjagamu. Tapi, di mana kau saat aku sakit? Di mana kau saat aku begitu merindukanmu?”
Tangan Karan berpindah ke leher Raya. Ia merenggangkan ibu jari dari jari telunjuknya hingga membentuk gerakan seolah-olah bersiap mencekik Raya. “Kenapa Sayang? Kau tidak bisa menjawabnya?”
Karan kembali menampilkan seulas seringai di wajah tampannya. “Tenang saja Sayang. Aku akan memberikan rasa sakit yang jauh lebih mengerikan dari ini. Rasa sakit yang membuatmu lebih menginginkan kematian segera datang padamu. Rasa sakit yang selalu aku rasakan waktu itu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
auliasiamatir
sentimem banget sih kamu karan...🤨
2023-03-03
0
auliasiamatir
obsesi karan membuatnya kehilangan kewarasan nya,
2023-03-03
1
Aerik_chan
Aku mampir kak
2023-02-21
0