Setelah menunggu selama seminggu, Ian menunjukkan kelasnya sebagai mata-mata. Ia menemukan cara agar Karan bisa berhubungan baik dengan Raya dan Varen. Ian tahu Varen sering mengunjungi sebuah pusat kebugaran mewah di ibu kota. Tempat yang hanya didatangi oleh orang-orang kaya yang memiliki banyak uang. Tidak sembarang orang bisa masuk ke sana. Bahkan, Ian harus membuat kartu anggota berwarna emas agar Karan bisa berada dalam ruangan yang sama dengan Varen.
Ada satu hal yang sama antara Karan dan Varen. Mereka sama-sama menyukai dunia bisnis. Pertemuan yang dibuat seolah-olah tak sengaja dengan Varen pun berbuah manis. Mereka menjadi akrab dan mulai berteman. Apalagi Varen punya ambisi untuk mendirikan vila atas namanya sendiri. Dan Karan mengatakan bahwa ia bersedia menjadi investor Varen asalkan Karan bisa memakai beberapa hotel milik Varen untuk acara perusahaannya.
Hubungan dekat Karan dan Varen berimbas pada hubungan Karan dan Raya. Untuk menandatangani kontrak kerja sama mereka, Varen mengundang Karan makan malam di rumahnya. Karan datang dengan senang hati, terlebih saat ia tahu Varen akan mengundang Raya bersama mereka.
“Bagaimana penampilanku?” tanya Karan pada Ian begitu keluar dari rumah. Seulas senyum melekat di wajah tampannya. Ia baru bercukur tadi, seharusnya tidak ada yang salah dengan wajahnya. Yang membuat Karan ragu adalah pakaiannya. Meskipun hanya makan malam dengan laki-laki yang hendak ia hancurkan, tapi ia harus tampil sempurna di depan Raya.
Ian terperangah. Pertama, karena mendengar Karan bersuara ringan padanya seolah-olah sedang menanyakan pendapat pada seorang sahabat. Kedua, karena Karan menanyakan penampilannya.
Benar, biasanya Karan memang tidak terlalu memperhatikan penampilan saat bekerja. Ian merasa seperti bekerja dengan robot. Tujuan Karan memakai pakaian cukup praktis, setelan jas rapi saat ke kantor. Atau paling sederhana kemeja batik lengan panjang dengan celana kain jika ingin bertemu dengan pejabat negara. Selain itu, Karan hanya akan menggunakan kaus di dalam rumah. Itu pun hanya tiga warna yang dimiliki oleh pria itu, hitam, abu-abu dan putih. Benar-benar selera mode yang kaku.
Sekarang, Karan tampak begitu berbeda. Wajahnya yang biasanya ditumbuhi oleh rambut-rambut halus, kini bersih total. Rambutnya pun tampak berkilauan dengan penataan yang rapi. Sepertinya inilah alasan mengapa Karan menyuruh Ian memanggil penata rambut ke rumah. Rupanya agar membuat tampilan sang CEO tampak sempurna di depan Raya.
“Anda terlihat luar biasa, Pak,” puji Ian dengan jujur. Bukan sekadar basa-basi agar menyenangkan Karan, tapi pujian itu memang benar adanya. Seandainya pun ia seorang wanita, ia pasti mengatakan betapa tampannya Karan saat ini.
“Benarkah?” Karan tampak tidak puas. Ia menurunkan wajahnya, mencoba menghirup aroma parfum yang tadi ia semprotkan. “Sepertinya sudah cukup wangi,” komentarnya lagi setelah mendapati aroma musk pada pakaiannya. Raya sangat suka aroma itu. Setidaknya itulah yang Karan ketahui dari mata-mata yang Ian suruh untuk mengikuti wanita itu setiap hari. “Kalau begitu ayo kita pergi!” tambah pria itu.
Senyuman terus merekah di wajah Karan. Ia berdebar, napasnya pun tersengal. Setelah 12 tahun, akhirnya ia bertemu lagi dengan Raya. Kali ini dengan tampilan berbeda. Dengan posisi yang berbeda pula. Karan bukan lagi pemuda miskin dengan pakaian lusuh yang memalukan. Kini Karan merupakan seorang pengusaha kaya yang sanggup membelikan apa saja untuk Raya, termasuk hati wanita itu.
Sayangnya, senyuman itu segera memudar ketika Karan bertemu dengan Raya dan Varen. Lebih tepatnya saat ia mendengar kenyataan yang membuat dunianya seakan berhenti berputar secara tiba-tiba.
“Apa? Kalian tinggal bersama?” Karan terengah, berusaha menekan amarah dan rasa cemburunya yang membesar. Ia menatap pasangan yang ada di seberang meja makannya. Memberikan sorotan tajam tanda kebencian yang begitu dalam.
Varen tersenyum sambil merangkul Raya. “Ya, untuk sementara. Karena aku tidak bisa meninggalkan Raya sendiri di rumahnya. Mama sedang pergi ke luar kota menemui temannya.”
“Mama?” Karan berkata dengan penuh keterkejutan. Sekarang bahkan Varen memanggil ibu Raya dengan sebutan Mama? Berengsek! Walaupun orang itu bukan ibu kandung Raya, melainkan adik dari ibu kandungnya, tapi Raya sudah menganggapnya sebagai ibu. Setidaknya di depan kamera karena Raya selalu memperlakukan bibinya dengan begitu baik.
“Ah, maksudku ibunya Raya. Maaf membuatmu bingung karena aku sering memanggilnya Mama,” jelas Varen.
Karan meneguk air dari dalam gelasnya dengan cepat. Ketika kedua orang itu tidak melihatnya, cepat-cepat Karan melonggarkan dasi yang seperti mencekiknya saat ini.
“Aku benar-benar penasaran bagaimana kalian bisa bertemu? Siapa yang jatuh cinta duluan?” tanya Karan mulus sembari menyembunyikan niat terselubungnya. Karan tahu alasan Raya mendekati pria-pria lain selama ini. Raya suka kemewahan dan ketenaran. Untuk mencapai hal itu, ia rela melakukan segala cara termasuk membual soal cinta kepada banyak lelaki. Raya tahu mana mobil mewah kualitas terbaik yang dikendarai oleh seorang pria. Ia pintar mengendus aroma pria kaya.
Tapi, ada apa dengan Varen? Apa yang membuat Varen begitu istimewa sehingga Raya mempertimbangkan hubungan serius hingga tahap ke pertunangan? Bahkan kabarnya, pernikahan mereka akan berlangsung satu bulan lagi. Tidak mungkin Raya puas dengan seorang pria yang kekayaannya jauh di bawah Karan. Tidak mungkin pula Raya jatuh cinta pada Varen. Ya, tidak mungkin karena hanya Karanlah satu-satunya pria yang berhak menerima rasa cinta tulus dari Raya. Yang kemudian akan pria itu hancurkan hingga berkeping-keping.
“Kami bertemu di New York. Saat menghadiri New York Fashion Week dan Raya sebagai salah satu penampil di sana. Kau tahu, Raya begitu cantik memakai gaun merah itu. Aku bahkan tidak bisa melupakannya hingga sekarang,” tutur Varen dengan begitu bangga.
Apakah Varen baru saja menjelaskan bagaimana kecantikan Raya dengan balutan gaun merah dengan potongan dada dan paha begitu minim saat itu? Bagaimana cara Raya melenggak-lenggok di atas karpet hitam di hadapan ribuan orang? Bibir Karan mengencang. Ia benci saat laki-laki lain memikirkan wanitanya.
“Sial!” umpat Karan secara tiba-tiba. Kemudian ia tersentak saat mengetahui mulutnya berbicara tanpa bisa ia kontrol. Lihat itu, baik Varen maupun Raya terlihat sangat terkejut mendengar umpatan tersebut.
“Ah, maaf.” Dengan cepat Karan meralat ucapannya. “Maksudku, aku merasa sial karena tidak bisa hadir dalam pergelaran itu. Mungkin saja aku bisa melihat kecantikan Raya seperti yang kau sebutkan.”
Karan meremas tangannya di bawah meja. Andai saja ia tidak ingat harus membalaskan dendam dengan cara yang halus, sudah pasti ia akan melayangkan garpu di tangannya ke bola mata Varen yang telah lancang memandangi Raya dengan tatapan memuja. Ia benar-benar ingin memisahkan kedua orang itu secepat mungkin.
Namun, Karan berusaha untuk tetap tenang. Kekesalan tidak ingin lepas dari dirinya. Kalau Ian melihat wajah Karan sekarang, pria itu pasti akan mengamuk. Mengapa Karan yang sudah menyiapkan pertemuannya dengan Raya selama belasan tahun, menjadi sangat tidak terkendali emosinya hanya karena sebuah ucapan membuat Ian pasti tidak mengerti.
Perubahan suasana di ruang makan terasa tidak nyaman. Karan meminum air di gelasnya hingga tandas. Pasti sangat buruk jika ia buka suara sekarang.
“Ya, aku sudah sering mendengarnya,” ungkap Varen tiba-tiba. Meskipun sedikit terkejut mendengar penuturan Karan terhadap kekasihnya, tapi Varen bisa mengerti hal tersebut. Karan yang ia tahu dari media selalu memuji para wanita yang ada di sekelilingnya dengan cara apa pun. Raya hanya salah satu dari mereka. Mungkin saja Karan sedang menunjukkan keramahannya pada wanita itu, namun dengan cara yang agak berbeda dan sedikit blak-blakkan.
Karan menampilkan sebuah senyum tipis di bibirnya untuk menutupi bukti nyata dari kemarahannya terhadap Varen. “Kau pria yang sangat beruntung bisa mendapatkan super model seperti Raya,” sahut Karan.
Kali ini pandangan Karan berpindah ke wajah Raya. Senyuman manis tercetak di bibir merah muda Raya.
Astaga, bibir itu! Karan nyaris mengumpat lagi. Darahnya berdesir ketika bola mata cokelatnya menatap bibir Raya. Lebih indah dari yang ada di layar kaca. Lebih menggoda dari yang selama ini ia lihat dari lembaran foto yang dikirimkan anak buahnya. Karan yakin bibir itu akan semakin sempurna jika bersentuhan dengan bibirnya.
Sial! Karan berharap bisa mencium Raya sekarang. Ia tahu ini gila, tapi ia tidak bisa menahannya lagi. Seandainya Varen tidak ada di sana, Karan pasti akan berpindah tempat ke sisi Raya dan mencium bibirnya dengan liar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Ucy (ig. ucynovel)
tenang karan... tarik nafas dlu, buang perlahan
2023-04-03
0
Pink Blossom
bunga mawar sdh mendarat,, smngtt ya kak Author💪💪
2023-02-25
0
Shinta Ohi (ig: @shinta ohi)
Karan suka banget sama Raya
2023-01-30
2