Pikiran terhadap Raya membuat Karan tidak bisa berkonsentrasi di sisa harinya. Ia pun memutuskan pulang. Lagi pula, pekerjaannya tidak terlalu mendesak hingga mengharuskannya lembur semalaman penuh. Karan butuh istirahat malam ini karena ia punya agenda menyenangkan yang akan ia lakukan. Karan akan bertemu dengan Raya lagi, lebih tepatnya mereka akan berkencan.
Ya, kencan dalam perspektif laki-laki itu.
“Pak, makan malam Anda sudah siap,” cetus Anna di depan kamar Karan.
Dari dalam kamar, Karan menyahut, “Baiklah, aku akan segera turun.”
Anna hanya berlalu dari tempat itu tanpa banyak bicara. Aneh. Malam ini merupakan malam yang janggal bagi Anna. Selama tiga tahun bekerja di rumah itu, Karan tidak pernah meminta untuk disiapkan makan malam. Mungkin sarapan pernah, itu pun jarang sekali. Karan adalah pebisnis yang sibuk. Kesehariannya dihabiskan di kantor dan di luar kota. Seandainya Karan pulang ke rumah, pria itu hanya akan tidur saja.
Anna sempat bertanya-tanya mengapa Karan membangun rumah sebesar ini jika pria itu saja jarang tinggal di sini. Terlebih Karan juga menyiapkan sebuah kamar besar yang ukurannya hampir sama dengan kamar yang sekarang ditempati Karan. Kamar mewah tanpa penghuni yang harus dibersihkan setiap hari oleh para pelayan. Seolah-olah kamar itu disiapkan untuk seseorang yang entah kapan akan datang.
“Masakan yang enak, Anna, terima kasih,” ucap Karan usai menyantap makan malamnya.
Tangan Anna yang senang menuangkan air minum ke gelas Karan, berhenti mendadak. Kepalanya menoleh, menatap sang majikan dengan tatapan terkejut. Aneh bukan? Karan mengatakan terima kasih padanya? Oh ayolah! Pria itu Karan Reviano, satu-satunya putra konglomerat yang akan mewarisi seluruh perusahaan milik keluarganya.
Mungkin di depan orang lain Karan akan tampak ramah dan baik, tapi untuk Anna dan seluruh pekerja di rumah itu, Karan tak ubah majikan menyeramkan yang tidak segan-segan melakukan apa saja agar keinginannya tercapai.
Sekarang, pria mengerikan itu mengucapkan terima kasih padanya? Apakah Anna sedang berhalusinasi?
“Oh, ya, apakah kamar itu sudah siap, Anna?” Karan berbicara seraya membersihkan sudut-sudut bibirnya dengan serbet.
Anna mengangguk. Ia tahu kamar mana yang dimaksudkan Karan. Kamar besar yang tidak berpenghuni itu. “Sudah Pak. Saya juga membersihkannya setiap hari sesuai perintah Bapak.”
“Bagus. Kau harus memperhatikan kamar itu dengan baik. Kalau ada perabotan yang kurang, kau bisa memintanya pada Ian. Dia akan memberikan sebanyak yang kau butuhkan untuk kamar itu.”
“Baik Pak. Tapi, apakah ada tamu yang akan memakai kamar itu, Pak?” tanya Anna sangat penasaran. Orang tua Karan saja tidak pernah diizinkan menempati kamar itu. Lantas, siapa orang penting yang akan memakainya?
Dengan suara dalamnya Karan berbicara lagi. “Bukan tamu, tapi istriku. Dia akan memakai kamar itu setelah kami menikah sebulan lagi.”
Kedua bola mata Anna terbelalak. Sejak kapan Karan mempunyai istri? Kemudian wanita paruh baya itu tersentak. Jangan-jangan yang dimaksud Karan adalah gadis yang fotonya terpajang besar di kamar Karan. Anna sempat salah mengira bahwa gadis itu adalah adik Karan karena fotonya yang masih muda. Tidak disangka gadis itu ternyata nyonya yang akan segera datang ke rumah ini.
“Baik Pak,” balas Anna lagi. “Apakah saya harus memindahkan barang Anda ke kamar itu?”
Karan menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu. Kami akan memakai kamar yang terpisah.”
Pria itu berdiri dari kursinya. Saat hendak meninggalkan ruang makan, ia berpesan lagi kepada sang asisten rumah tangga. “Istriku adalah Raya Drisana. Kau pasti pernah melihatnya di TV. Kau tahu ‘kan dia sangat suka kemewahan, jadi saat dia ada di sini, perlakukan dia dengan baik. Berikan barang apa saja yang diinginkannya. Dan kau tidak perlu izin menggunakan uang bulanan jika dia menginginkan makanan apa pun. Apa kau mengerti, Anna?”
Sekali lagi Anna mengangguk dan menjawab, “Iya Pak. Saya mengerti.”
Begitu Karan beranjak ke lantai atas, Anna hanya terpaku di tempatnya. Ia begitu syok mendengar nama Raya Drisana tercetus dari bibir Karan. Anna tidak mengenal wanita itu secara langsung, tapi ia sering melihatnya di televisi. Wanita itu adalah seorang super model yang begitu terkenal yang dikabarkan sudah bertunangan dan akan menikah dalam hitungan hari.
Mengapa Karan menyebutnya sebagai istri? Apalagi pria itu mengatakan akan menikah dengan Raya sebulan lagi. Apakah Karan akan merebut Raya dari calon suaminya?
*******
Flashback
“Matematika. Aku sangat suka matematika,” tukas Karan pada seorang gadis yang ada di sampingnya saat Karan sedang sibuk membaca buku pelajaran.
Karena ujian matematikanya selalu sempurnanya, Karan mempunyai sebuah julukan, Einstein Kecil. Tidak diketahui siapa yang pertama kali menyematkan julukan itu. Tapi, siapa pun itu Karan perlu berterima kasih berkatnya pemuda itu mendapatkan banyak perhatian.
“Oh ya?” Gadis di samping Karan menanggapi. “Ternyata kau benar-benar Einstein ya.”
Gadis itu melontarkan kalimat yang sama dengan para siswa yang lain, tetapi Karan merasa ada yang asing. Suaranya atau mungkin tanggapannya. Entahlah. Karan begitu penasaran hingga berlarih ke kiri dan menatap gadis itu di mana ia juga sedang memandang tepat ke arahnya, dengan mata yang memancarkan ekspresi antusias.
“Kau bukan dari kelas ini?” tanya Karan karena ini pertama kalinya ia melihat gadis itu di kelasnya. Total ada sembilan kelas di kelas 10. Karan pernah bertemu beberapa temannya, tetapi ia tidak ingat penah bertemu dengan gadis itu.
“Benar, aku dari kelas 10-5. Aku ke sini karena ingin menemuimu.” Sembari menunjukkan sederetan gigi putihnya yang rapi, gadis itu tersenyum pada Karan.
“Kenapa?” sahut Karan dengan melempar tatapan curiga.
“Karena aku tidak lulus ulangan harian kemarin, jadi aku diminta bu guru untuk menemuimu, si Einstein Kecil.”
“Kau lulus atau tidak ulangan harian, bukan urusanku. Kenapa aku harus peduli dengan itu?” balas Karan dengan ketus.
Ada kekecewaan yang terselip di hatinya ketika mendengar tujuan gadis itu menemuinya. Ternyata karena matematika. Karan bosan mendengarnya. Hampir semua siswa mendekati Karan secara terang-terangan, tetapi tidak ada satu pun yang benar-benar tulus berteman dengan Karan. Itulah yang membuat Karan kesal mendengar ucapan gadis tersebut.
“Itu ... Maksudku— hei!”
Belum sempat gadis itu berbicara, Karan sudah keluar dari kelas. Ia berjalan menuju ke ruang ganti lapangan basket untuk berganti pakaian olahraga. Sebelum ia masuk, gadis itu menyentuh tangannya.
“Dengar dulu, huh!” Napas sang gadis terengah-engah. Tampaknya ia berlari mengejar Karan sampai ke sana. “Aku tidak bilang apa-apa ‘kan tadi? Bu guru hanya memintaku menemui, bukan berarti dia memintaku untuk membuatmu peduli pada nilaiku ‘kan? Aku hanya ingin bilang kalau aku sudah melakukan tugasnya. Itu saja, jadi jangan salah paham!” Sang gadis menjelaskannya dengan wajah emosi.
Karan terdiam, bukan karena terpaku mendengar penuturan gadis itu, melainkan karena sentuhan gadis itu pada tangannya. Mendadak jantungnya berdebar. Tidak ada yang berani menyentuh tangannya, namun gadis ini malah memegangnya dengan erat.
“K-kau sudah menemuiku. Jadi, tugasmu sudah selesai,” ucap Karan seraya menepis tangan gadis itu dan masuk ke ruang ganti. Ada yang aneh dengan dirinya hari ini dan sepertinya karena gadis itu. Karan tidak boleh terlalu dekat dengannya.
Sayangnya, keinginan Karan berbanding terbalik dengan apa yang terjadi. Setiap gadis itu mendapatkan nilai jelek, guru matematika mereka pasti menyuruhnya menemui Karan, yang membuat mau tidak mau gadis itu harus mengikuti Karan hampir setiap hari. Bahkan, teman-teman sekelas Karan salah mengira bahwa gadis itu adalah kekasih Karan.
“Hey Raya Drisana!” panggil Karan dengan kesar saat gadis itu mengikutinya ke toilet. “Apa kau mau masuk toilet laki-laki?”
Sang gadis tersentak. Ia terbelalak melihat lambang laki-laki ada di depan pintu toilet. “I-itu ...” Ia terdiam, tidak bisa mengatakan apa-apa karena terkejut.
Karan mengembuskan napasnya, lalu masuk ke dalam toilet. Karan pikir gadis bernama Raya itu akan pergi dari sana dan berhenti mengganggunya. Akan tetapi, saat Karan keluar dari toilet, ia melihat gadis itu sedang berdiri di depan pintu. Menyambut kedatangannya dengan mata berbinar-binar.
Napas panjang keluar dari mulut Karan. Pria itu menyerah. Ia mendekati Raya dan berbicara padanya. “Siapkan bukumu dan datang ke kelas 10-1 setiap pulang sekolah. Aku akan membuat guru-guru berhenti memintamu menemuiku.”
Raya tersenyum senang. Ia tahu apa maksud dari ucapan Karan. Artinya Karan akan mengajarinya matematika. Sebab dengan begitulah nilai Raya akan naik yang membuat Raya berhenti menemui Karan.
Hari lepas hari, dua kali dalam seminggu Karan harus mengajari Raya yang bodoh dalam pelajaran matematika dengan susah payah. Awalnya Karan melakukannya hanya untuk menyingkirkan Raya. Tapi begitu nilai Raya membaik, Karan tidak menghentikan pembelajarannya.
Pelan-pelan Karan menyukai Raya. Terlebih saat melihat gadis itu tersenyum manis ke arahnya. Karan pun semakin dekat dengan Raya, hingga pada suatu hari, Karan menyatakan perasaannya pada Raya.
Raya menerima perasaan Karan. Akan tetapi, saat semua Karan pikir akan baik-baik saja, Raya malah mengkhianatinya dan meninggalkannya dengan begitu kejam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 173 Episodes
Comments
Senajudifa
mampir lg thor
2023-02-16
1
auliasiamatir
hummm raya..m🙁🙁🙁🙁
2023-01-31
1
auliasiamatir
oooo jadi awalnya raya butuh karan buat perbaikan nilai
2023-01-31
1