Laborasi: PERTEMPURAN

Kahar bersama Kapten Charlie yang baru dia temui menapak kaki di tengah hujan yang lambat laun menutup hari. Dua pasang kaki itu melaju sama cepat menuju universitas. Dari kejauhan yang sebentar lagi lenyap, terdengar suara tembakan bersahutan.

“Itu datang dari sayap kanan,” desis Kapten Charlie dalam mode harimaunya. Kahar melompati pagar disusul Kapten Charlie, mereka sekali lagi berlari berharap langkahnya tidak kalah cepat dengan nasib buruk.

“Pertempuran menanti di setiap sisi sejak kau memiliki kekuatan, benar?” tanya basa-basi Kapten Charlie sembari terus berlari di belakang Kahar.

Pertanyaan itu tak menghendaki jawaban. Kahar terus berlari sampai mereka tiba di kolam Fakultas Perikanan dan Kelautan, tempat di mana Kahar bertemu Clara pertama kali. Kali ini, bukan Clara yang sedang dalam masalah di sana, ada dua orang tentara berpakaian hitam terkapar tak berdaya di sana bergelimang darah segar.

...----------------...

Panggilan panik datang radio komunikasi. Regu dua sedang dalam masalah. Entah apa yang mendatangi mereka, yang pasti sosok itu membahayakan nyawa. Regu satu segera berlari dari kolam. Belum jauh langkah mereka, beberapa sosok monster terbang keluar dari kolam.

Corbetti yang berada di barisan belakang berhasil ditangkap mmonster. Senapan Corbetti patah menjadi dua saat mencoba menahan makhluk itu. Cakaran monster menjijikkan berlendir itu berkali-kali mencoba merobek helm Corbetti. Dari depan, Hartono dan Amonsis melepaskan tembakan yang dilakukan berhati-hati untuk tidak menyentuh Corbetti. Satu monster mati, sisa empat lagi yang mendatangi mereka. Corbetti yang terkapar sekarang berdiri lagi, meraih pisau kerambit dan menyerang satu monster dari belakang. Tusukan berkali-kali dia hujamkan dan mampu menusuk. Namun, itu tidak berguna. Monster itu melayangkan pukulan backhand yang secara cepat melayangkan Corbetti.

Hartono dan Amonsis terus menembak monster yang teralihkan perhatiannya. Tiga lagi mati. Sisa satu yang berlari cepat, monster itu mengabaikan rasa sakit yang diterimanya dari peluru tajam. Serangan terakhir mampu monster itu berikan ke perut Amonsis lewat cakar tajamnya yang merobek seragam pelindung. Monster itu mati bersama Amonsis.

“Ferdinand, bertahanlah!” jerit Corbetti mencoba bangkit dari rasa sakit. Terus Corbetti mencoba bangkit, dia buka helm dan topeng pelindung yang retak. Tampak wajah seorang laki-laki tua dipenuhi keriput. Corbetti yang terus berusaha bangkit tak mampu melakukan itu. Akhirnya dia menyeret raganya mendekati Amonsis yang tergeletak.

“Corbetti, tunggu di sana. Aku akan panggil bantuan,” lontar Hartono coba menghubungi regu lain. “Regu tiga masuk, Amonsis terluka parah, halo? Masuk!” bentak Hartono pada radio komunikasi. Tak ada jawaban.

“Frans, aku pulang, teman,” hembus Amonsis pelan. Mata menatap kosong pada langit yang basahi lukanya. Darah terus keluar dari luka yang menganga.

“Aku bisa hentikan pendarahan ini, tetap bersamaku, Pak.” Hartono menekan luka. Mencoba melakukan yang dia ingat dari pelatihannya dulu.

“Hentikanlah,” ucap lemah Amonsis.

Corbetti yang menyeret badannya telah sampai di samping sahabat karibnya. Dia berbaring dan memegang erat tangan Amonsis. Dari mata prajurit itu mengeluarkan air mata yang disapu hujan. Tangan Corbetti dibalas genggam Amonsis.

“Tenanglah, sekarang kau bisa pensiun,” bisik Corbetti. Tangan Amonsis mendingin, ini bukan sebab hujan. Dingin ini mengisyaratkan sebuah nyawa telah selesai. Genggaman tangan Amonsis yang erat telah menjadi lemah. Satu orang telah jatuh untuk selamanya.

Corbetti tak bisa menahan air matanya. Dia dimandikan darah, air mata, dan hujan yang membawa duka. Corbetti coba sekali lagi bangkit tapi tetap tak bisa.

“Kemungkinan leherku patah, Nak. Pergilah, akan berbahaya jika kau sendirian di sini. Hanya permainan waktu sampai maut datang.” Corbetti selesai. Cedera itu terlalu parah. Dia tidak bisa lagi melanjutkan pertempuran. Dua orang telah terkapar di sana tanpa nisan yang menandai jenazah mereka. Hartono yang patuh pada perintah akhirnya beranjak pergi menuju regu dua dan tiga di laboratorium.

...----------------...

“Kalian? Frans? Ferdinand?” tanya Kapten Charlie pada dua anak buahnya yang terkapar. Dari nadanya, dia tidak terdengar seperti harimau. Nada Kapten Charlie lembut.

“Kapten, maaf aku kalah,” bisik Corbetti dengan sisa nafas yang dia punya. Kapten Charlie langsung mengangkat tubuh Corbetti dan berujar pelan, “Bertahanlah, Frans. Aku akan membawamu menjauh.”

“Teri-mah kasih,” ucap Corbetti sebelum tangganya terjulur ke bawah. Matanya tertutup. Dari mulut keluar darah. Ini adalah akhir seorang tentara. Kapten Charlie mengangkat kepalanya tinggi, menurunkan tubuh Corbetti.

Air mata tak sedikit pun keluar, mata harimau itu kembali terlihat setajam harimau. Suara tembakan terdengar berdentang tak henti dari arah laboratorium.

“Kita lanjutkan,” kata Kapten Charlie teguh. Kahar memandang sosok Kapten Charlie yang tegar dengan kematian orang di sekitarnya. Mata Kapten Charlie terlihat terisak, bibirnya terkatup rapat, dan dahinya berkerut dalam. Tubuhnya terasa sangat tegang, seolah ia sedang berjuang untuk menahan diri agar tidak terlihat lemah di depan Kahar. Namun, sesekali Kapten Charlie terlihat menghembuskan napas panjang dan menutup mata, seolah ia tidak bisa menghadapi penderitaan yang ia rasakan. Di balik ketegarannya, terlihat jelas bahwa ia sedang mengalami keadaan mental yang sangat sulit.

Kahar terlihat sangat kehilangan juga, melihat Kapten Charlie, dia kembali teringat Paman Samsul. Mata Kahar terlihat berkaca-kaca, dan ia terus memandang ke arah Kapten Charlie. Tangannya tergetar saat ia mencoba untuk membasuh muka dari air yang terus datang deras. Kahar tampak sangat merasa bersalah, seolah dia merasa tidak mampu melindungi Paman Samsul yang dia sayangi. Namun, dia tetap teguh pada tugas yang harus dia selesaikan, meskipun terlihat jelas bahwa Kahar sangat terpukul oleh kehilangan yang baru dia alami. Wajah Kahar penuh dengan kesedihan dan rasa sakit yang mendalam.

“Pertempuran memang sudah begini, Nak. Kau menangis, tangisan memang tidak berkata-kata tetapi berbicara banyak hal – Faisal Oddang. Simpan air matamu, Nak.”

...----------------...

Di laboratorium, tembakan pecah. Delapan orang yang tersisa bahu membahu menghancurkan musuh yang ada di depan mereka. Monster yang dihadapi Hartono bertubuh kecil, tak sampai satu meter. Tapi mereka sangat cepat dan kejam. Mereka saling menyerang dengan sekuat tenaga, dengan suara dentuman senjata yang terus bergemuruh di sekitar mereka. Udara terasa panas dan penuh dengan bau peluru yang terbakar. Di satu sisi, monster laut kecil terus meluncur maju dengan cepat, sementara di sisi lain, Hartono dan pasukannya terus mengeluarkan serangan demi serangan dengan sekuat tenaga.

“Peluruku habis, magasinku habis.” Virganta mundur dan bersiap dengan kerambit di depan, seandainya monster brengsek itu mampu menerobos rentetan tembakan.

“Mundur!” teriak sejadi-jadinya Altaica mencoba mengalahkan suara senjata.

“Jangan biarkan mereka mendekat, terus tembak,” lanjutnya.

Keadaan Hartono di tengah pertempuran melawan monster begitu tertekan dan takut. Dia tidak yakin tentang apa yang harus dilakukan dan merasa terancam oleh monster tersebut. Hartono mungkin merasa siap secara fisik, namun tidak secara mental untuk menghadapi pertempuran tersebut, baru kali ini dia melihat musuh seperti itu dalam karier militernya. Sebagai anggota baru, Hartono tidak memiliki banyak pengalaman dalam pertempuran aneh seperti ini. Dia merasa tidak yakin tentang bagaimana cara menangani situasi ini. Hartono sekali lagi merasa tertekan oleh tekanan untuk memenuhi harapan tim dan untuk melindungi teman-temannya, terlebih lagi dia baru kehilangan dua rekan regunya.

“Jangan lengah, Benggala! Terus tembak selagi masih ada peluru!” teriak terus-menerus Altaica.

“Aku kehabisan peluru, mereka terlalu banyak,” jerit Sumatrae lalu maju bersiap dengan kerambit. Enam orang dengan senapan yang tersisa peluru, terus menggelegar di ruang sempit bertembok kaca.

“Jika kalian kehabisan peluru dan magasin, bersiap untuk pertempuran jarak dekat dengan kerambit. Selagi masih ada peluru, lindungi kami.” Altaica sekarang yang mengeluarkan kerambit.

Keadaan tak baik, sangat buruk. Makhluk cebol itu tak ada habisnya. Juru tembak semakin berkurang, buat gerombolan makhluk itu bisa meraih Altaica, Sumatrae, dan Virganta di garis depan. Dengan sekuat tenaga dan dengan semua kemampuan yang mereka bisa. Mereka bertiga melawan monster kecil tersebut yang menggigit dengan gigi kecil setajam silet.

Luka mulai menggores kaki mereka, Balica yang akhirnya kehabisan peluru, maju dan menghajar monster itu dengan popor senapan. Dia bertarung brutal. Menghantam monster itu tak pandang bulu. Sumatrae terjatuh, dia mulai dikerumuni monster.

“Lindungi, Sumaterae.” Altaica meraih senjatanya yang terjatuh, menghajar monster yang hendak mendekati Sumatrae yang terluka.

“Aku kehabisan peluru.” Hartono yang jadi penembak terakhir menjatuhkan senjatanya. Dia tahu mustahil melawan monster tersebut dengan tangan. Monster itu begitu kejam dan cepat. Buktinya adalah Sumatrae yang telah tak melawan lagi, tubuhnya menyatu dengan lantai. Kekacauan hadir, baru kali ini pasukan elite dibuat kocar kacir.

“JAUHI TANGAN BUSUK KALIAN DARI ANAK BUAHKU!” teriak sebuah suara yang disusul auman yang memecahkan telinga dan secara harfiah memecahkan kaca di sekitar laboratorium.

Dengan mata kepala sendiri, Hartono yang sudah kehabisan harapan, melihat sosok harimau melompat – menerjang monster itu seorang diri. Mata Hartono tertuju pada cakar dan seolah tak percaya dengan yang dia lihat.

“Kalian semua keluar, seorang teman akan datang,” perintah Kapten Charlie seraya menghancurkan sisa gerombolan monster. Seolah tertarik dengan tubuh besar harimau Kapten Charlie, gerombolan itu memfokuskan diri padanya. Memberi peluang untuk pasukan yang masih bisa berdiri keluar dan membopong rekannya yang tak sadarkan diri.

Hartono yang jadi terakhir keluar, sebenarnya dia masih enggan untuk bubarkan matanya dari melihat kekuatan Kapten Charlie. Altaica yang menyadari seorang kurang, masuk lagi dan menarik Hartono, “Benggala, sekarang atau tidak sama sekali.” Hartono mengangguk lalu meninggalkan harimau itu bertarung seorang diri. Ketenangan akhirnya bisa datang pada ketiga regu itu.

“Kembali ke truk, bawa yang terluka.” Altaica yang terluka di bagian mata kanan berjalan terlebih dahulu.

“Tapi Kapten Charlie? Tunggu dulu, itu benar Kapten Charlie?” tanya khawatir Hartono Si Benggala.

“Kau baru sehari di sini, itu bukan hal tergila yang ada. Mari kembali prajurit,” jelas Sondaica.

Mereka berenam yang masih bisa berjalan hendak kembali saat tiba-tiba hujan bertambah deras dan petir menyambar tak tentu arah. Badai kali ini tiba dengan amukan terkuatnya.

“Tahan!” perintah Altaica saat menyadari sesuatu ada di depan mereka. Melalui mata kirinya yang masih melihat. Altaica memandang sosok yang disembunyikan kegelapan. Sosok yang memiliki armor.

“Apa yang kita lakukan?”

“Itu pasti musuh!”

“MENYINGKIR KALAU KALIAN TIDAK MAU MATI!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!