Berkuliah di jurusan Ilmu Kelautan bukanlah mudah. Praktikum dan mempelajari lagi Fisika, Kimia, Geografi. Namun begitu, Kahar berhasil dikenal baik para dosen oleh kerja kerasnya dan kepintarannya.
Kahar juga sulit menyesuaikan diri di sana. Kehidupan yang keras menghantui pergaulan Kahar, itulah yang mengakibatkan Kahar sedikit memiliki teman. Untunglah ada Clara yang selalu menemani Kahar menjalani perkuliahan selama tiga bulan terakhir, hingga akhirnya mereka bisa menyelesaikan ujian tengah semester dengan baik.
Waktu tiga bulan yang berlalu dengan cepat ini pupuk hubungan Kahar dengan Clara semakin dekat. Hampir selalu jika ada waktu, mereka berdua akan pergi berdua, kadang Zico ikut sebagai nyamuk. Tiga bulan ini Kahar benar-benar fokus dengan perkuliahan dan sedikit melupakan tentang misteri yang ayahnya tinggalkan. Kerinduan kepada ibunya yang kini mendatangi Kahar di tengah kencannya dengan Clara. Mereka duduk di kedai kopi, sambil menikmati secangkir kopi Gayo panas dan cupcake yang mereka pesan. Mereka sedang merayakan keberhasilan menyelesaikan ujian tengah semester dengan hasil yang memuaskan.
"Wah, kita benar-benar lulus dengan baik, Bang," kata Clara sambil tersenyum lebar. "Ini semua berkat kerja keras dan dedikasi kita."
Kahar tersenyum, tapi ia tidak terlihat sepenuhnya bahagia. Ia merasa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Kau tidak terlihat senang seperti biasanya," kata Clara. "Ada apa? Apa ini tentang misteri ayahmu?"
Kahar menghela nafas. "Maaf, aku hanya merindukan ibuku, soal misteri itu akan aku selesaikan saat libur semester," jawabnya. "Sudah empat bulan sejak terakhir kali aku bertemu dengannya di kampung halaman. Aku merasa bersalah karena harus meninggalkannya demi kuliah di kota ini."
Clara mengangguk paham. "Aku tahu itu tidak mudah, tapi kau harus ingat bahwa kau membuat pilihan ini untuk masa depanmu. Dan, ibumu pasti bangga padamu karena kau berhasil mencapai prestasi ini." Clara mengambil satu sendok cupcakenya lalu menelan dengan satu kali gigit. “Aku juga merindukan orang tuaku di Padang. Aku bahkan sudah enam bulan di sini. Wah, malah aduh nasib kita, Bang.”
Kahar mengangguk, tapi ia masih merasa sedikit ragu. Ia merindukan ibunya dan kampung halamannya yang tenang dan damai. Namun, ia juga sadar bahwa ia harus terus berjuang untuk mencapai cita-cita dan impiannya di kota ini.
"Kau benar," kata Kahar akhirnya. "Aku harus terus berjuang dan tidak boleh menyerah. Terima kasih atas dukunganmu, Clara."
Clara tersenyum. "Aku selalu ada untukmu, Kahar. Aku yakin kita akan sukses memecahkan misteri ayahmu dan sukses dalam kehidupan, jika kita terus bekerja keras dan saling mendukung."
Kahar tersenyum dan mengangguk. Ia merasa sedikit lebih baik setelah mendapatkan dukungan dan nasihat dari Clara. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berjuang dan tidak menyerah demi masa depan yang cerah.
“Ngomong-ngomong soal masa depan.” Kahar menegak kopinya. Bau kopi begitu menyengat. “Aku ingin cari kerja sampingan, aku rasa uang dari beasiswa dan kiriman ibuku tidaklah cukup sebagai modal nanti ke Sumatera Selatan.”
“Kau yakin?” Clara bertanya memastikan keinginan Kahar.
“Apa mataku menunjukkan keraguan.”
Clara terbahak-bahak. Dia tahu kalau seorang Kahar jika sudah mengambil keputusan akan sulit untuk ditentang. “Mau kerja apa?” tanya sekali lagi Clara.
Kahar mengangkat bahu tanda tidak tahu. Kahar Kembali fokus dengan kopinya. Clara ikut diam, memikirkan tempat di mana Kahar bisa mendapatkan pekerjaan.Dalam kebingungannya, datang Zico tanpa diundang lalu duduk di samping Kahar.
“Apakah saya boleh duduk di sini?” tanya basa-basi Zico
“Dipersilahkan,” jawab singkat Kahar sambil menopang bahunya dengan tangan kanan.
“Kau ada masalah?”
“Bantu kami cari pekerjaan sampingan untuk Kahar,” sahut Clara bersemangat.
Zico sejenak berpikir serius. Tanpa permisi dia mengambil kopi Gayo milik Kahar dan menegaknya sekali. Zico melipat tangannya berpikir lebih keras. Dari kepala penyair itu, terbesit sebuah ide.
“Bagaimana dengan bekerja sebagai penjaga stand makanan di akhir pekan?” tawar Zico dengan sekali meminum kopi Kahar. Kahar tersenyum sinis. Dia tahu kalau Zico memang bisa diandalkan.
“Ini.” Zico menunjukkan lowongan pekerjaan dari telepon genggamnya:
“Dicari pekerja, usia 19-25 tahun. Untuk bantu berjualan sosis bakar di depan SMA N 11 Garuda Nusantara...”
Clara dan Kahar tampak bersemangat. “Bagaimana kalau aku ikut melamar?” tanya Clara.
“Kenapa tidak,” tutup Kahar.
Malam semakin larut dalam kopi dan puisi Zico. "Minum kopimu, mumpung masih hitam," ucap Zico.
Remang-remang cahaya rembulan mandikan kota Jakarta yang menolak tertidur. Ketiga orang itu, Kahar, Clara, dan Zico setuju untuk mengakhirinya malam dan bergegas pulang. Zico pulang berjalan kaki karena kafe tidak terlalu jauh dengan kos-nya dengan Kahar. Sedangkan, Clara pulang menaiki motor matic nya. "Ingin aku antar?" tanya Clara pada Kahar.
Kahar menggelengkan kepala, dia ingin berjalan bersama Zico. Clara mengerti dan segera berpamitan menyelusuri gelap.
Di perjalanan pulang, Zico bertanya tentang puisi Kahar tempo hari.
"Kau sudah memecahkan puisi 'Laborasi'-mu?" tanya Zico.
Kahar hanya diam dan menggelengkan kepala. Kahar sedang tidak ingin membicarakan puisi atau hal lain yang berhubungan dengan ayahnya. Zico meraba kantong celananya, dikeluarkan penyair kadung itu secarik kertas. Rupanya, kertas itu berisi puisi yang dia buat.
Zico membasahi bibirnya dan mulai meracau puisi sepanjang jalan. Kahar hanya tersenyum, dia sudah cukup dengan puisi saat memecahkan puisi ayahnya kemarin.
"Kita sampai pada pulang," ucap Zico menutup kertasnya dan menunjuk ke kosan berwarna hijau miliknya.
"Terima kasih untuk kopinya." Zico masuk terlebih dahulu.
Kahar juga berterima kasih dan segera menuju kosan paman Samsul. Saat sampai di pintu kosan, Kahar merasa agak heran karena tidak ada tanda-tanda keberadaan paman Samsul. Ia pun melihat pesan yang tertulis di atas meja yang menyatakan bahwa paman Samsul sedang menginap di rumah temannya karena menonton pertandingan sepak bola.
Kahar merasa sedikit kesepian saat masuk ke kosannya sendirian. Kahar pun merasa kosannya terasa sepi tanpa kehadiran Paman Samsul. Semalam tanpa guyonan paman Samsul rasanya sangat menyiksa.
Saat hendak menuju kamar, Kahar melihat buku catatannya tergeletak di atas meja. Ia pun teringat akan sesuatu yang tersembunyi di dalam buku tersebut. Dengan penuh rasa kantuk, Kahar pun membuka buku tersebut dan mencari halaman yang dia sembunyikan di dalamnya.
Kahar terduduk di atas kasurnya sambil memandangi foto tersebut. Ia merasa sedih dan kehilangan, terutama kerinduan kepada ibunya dan kesepian buat perasaan Kahar makin campur aduk, tapi juga Kahar merasa bersemangat untuk terus mencari tahu keberadaan ayahnya. Kahar memutuskan untuk tidak menyerah dan terus mencari tahu keberadaan ayahnya saat akhir semester nanti untuk bertanya kenapa ayahnya pergi saat dia belum lahir.
Kahar simpan lagi buku itu di tasnya. Setelah menyimpan kembali foto tersebut ke dalam buku catatannya, Kahar pun menggali sesuatu yang terdapat di dalam tasnya. Ia terkejut saat menemukan sebuah kalung keramat yang tidak pernah dia perhatikan sebelumnya.
"Warnanya norak sekali," pikir Kahar saat melihat kalung itu.
Kahar pun memutuskan untuk menggunakan kalung tersebut. Di depan cermin, dia melihat kalung itu bergelantungan dengan indah. Ia merasa ada sesuatu yang aneh terjadi saat menggunakan kalung tersebut, seolah-olah ada sesuatu yang membuatnya merasa lebih tenang dan damai. Kahar pun merasa lega dengan kehadiran kalung tersebut dan merasa bahwa ayahnya pasti sedang menjaganya dari jauh.
Perhatian Kahar teralihkan saat nada dering telpon genggamnya memanggil. Itu notifikasi dari Clara.
"Aku sudah sampai. Gila, aku mengantuk sekali."
Kahar tersenyum saat membaca pesannya, dia mengambil sebuah foto di depan cermin dan menujukkan kalungnya pada Clara.
"Terlihat lebih keren 'kan wkwk."
Pesan itu langsung tersampaikan dan berubah biru. Clara mengetik cukup lama. Selang beberapa menit dia menjawab.
"Aku hampir lupa perihal kalung itu. Kemarin aku sempat membaca lebih lanjut soal kalung itu di buku kemarin. Kalung itu dipercayai suku Bajo menyimpan kekuatan lautan. Aku tidak begitu percaya."
Kahar membacanya dengan serius. Dia mencoba mencerna informasi yang Clara berikan. Diperhatikan sekali lagi kalung keramat itu.
"Tidak mungkin, kalau ini benar memiliki kekuatan super, pasti aku telah berubah."
"Iya, aku mengantuk sekali. Simpanlah kalung itu, foto, dan puisi."
Puisi? Kahar teringat puisi ayahnya. Dia ambil kembali puisi ayahnya yang disembunyikan di dekat foto. Di depan cermin, Kahar membaca puisi itu. Dia tersenyum mengingat sekarang dia mirip Zico yang gemar membaca puisi.
“Laborasi tekuklah laut
bersama mantra badai..."
Baru sampai di baris pertama, petir menyambar. Badai tiba-tiba datang di malam ini. Angin berhembus kencang dan gelegar terdengar tak henti di langit Jakarta. Hujan deras buat Kahar khawatir akan timbul banjir.
"Aneh, tadi bulan terang tak berawan," kata Kahar heran menghentikan membaca puisi.
Hujan turun dengan sangat cepat dan dahsyat, seolah-olah akan menghancurkan segala sesuatu di depannya.
Kahar merasa tidak nyaman dengan keadaan yang seperti itu. Dia merasa terisolasi dan tidak memiliki tempat untuk berlindung dari hujan yang begitu deras. Dia merasa sangat sendirian di tengah kegelapan yang diterpa badai hujan.
Walaupun demikian, Kahar tidak panik. Dia tetap tenang dan berusaha mencari cara untuk bertahan di tengah badai hujan yang begitu dahsyat. Dia menutup jendela dan pintu dengan baik agar air hujan tidak masuk ke dalam kosannya. Ia juga menyalakan lampu untuk memberikan kehangatan dan keamanan.
Setelah beberapa saat, badai hujan mulai reda. Kahar merasa lega. Dia merasa ada yang aneh dengan kalung dan puisi itu. seperti ada hubungan yang kuat antara kedua benda itu. Malam ini dia akan tidur dengan kalung yang menggelantung.
Kahar merobohkan badannya pada kasur. Dia memandang kertas usang puisinya. Dilanjutkan membaca sisa puisi 'laborasi' tersebut sebelum benar-benar tertidur.
"Laborasi Hiduplah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments