Matahari membuka hari. Hati Kahar terbuka untuk memulai petualangan mereka hari ini, titik koordinat sudah ada di depan mata. Clara melawan kebiasaannya, bangun sebelum ayam mematuk rezeki. Udara pagi ini benar-benar menyegarkan. Jauh sekali dengan Jakarta yang selama ini Kahar hisap.
Desa indah di timur Kabupaten Banyuasin, Bailangu. Titik koordinat ayah Kahar menunjuk desa ini sebelum harus dilanjutkan dengan perahu menyelusuri bantaran sungai Musi. Di pagi ini juga, Kahar dan Clara telah siap memulai petualangan mereka.
“Aku sudah mengaturnya, seorang akan sebentar lagi datang menjemput kita,” jelas Clara sambil menikmati sarapannya. Kahar sedikit ragu, keraguan itu terus datang sedari dia bertemu Clara lagi di terminal kemarin.
“Aku juga sudah mengasah katana ku. Sudah setajam silet, bahkan lebih.” Clara telah menghabiskan rotinya, sedangkan Kahar hanya menyentuhnya dua kali suap.
“-3,4539332, 103,2249098,” racau Kahar sepanjang sarapan, hanya itu yang keluar dari mulut Kahar. Dia mengulangi terus susunan angka itu berkali-kali. Sampai mulutnya dipenuhi angka.
Clara bangkit dari duduknya saat menyadari sesuatu hal mungkin mengganggu pikiran teman spesialnya itu. Dari dalam kamarnya, Clara mengeluarkan sebuah katana. Clara lanjut memainkannya. Membelah langit dengan satu kali sabitan. Matanya menatap serius Kahar.
“Kau mungkin bisa berubah menjadi makhluk luar biasa yang begitu tangguh, tapi aku di sini tidaklah selemah yang kau kira, haruskah aku ulangi lagi?” tanya Clara sambil kembali menyimpan katana-nya.
“Bukan itu, aku tahu kau kuat, kau hanya takut hantu. Aku hanya khawatir kalau kau benar jika ini hanya susunan angka acak tak berarti.”
Clara mengusap rahangnya, mengingat perkataannya beberapa bulan lalu saat mereka pertama kali menemukan titik koordinat itu. Clara menemukan bahwa kahar hari ini diserang ragu. Keraguan yang buat Clara merasa kesal. Bagaimana tidak, Kahar seolah disihir oleh semua kutuk untuk melanjutkan perjalanan.
“Kau ragu? Seharusnya kau tinggalkan keraguan di Jakarta, biar dia mampus dikoyak macet.” Suara Clara begitu lantang, seperti caleg yang berbicara tentang mimpi-mimpi indah jika dia terpilih.
“Maafkan kelabilanku.” Suara Kahar tidak kalah lantang menantang pagi. Keraguan memang masih terbawa sampai ke Andalas. Namun, siapa “ragu” yang mampu hentikan langkah yakin Clara untuk meyakinkan Kahar.
Matahari sedikit mengintip dari kacamata awannya, malu-malu menyinari tubuh Kahar dan Clara yang telah siap di bantaran Sungai Musi. Dari sini, perjalanan dilanjutkan dengan perahu kecil yang dipandu seorang warga lokal. Kalung sudah Kahar gunakan, puisi sudah terpahat di kepalanya jika ada hal buruk terjadi, dan Clara sudah siap menebas setiap bahaya. Tak Kahar duga, sebuah bedil Clara keluarkan. Bersama katana, itu adalah senjata yang dia siapkan.
“Tunggu, dari mana kau dapat senjata itu? Aku belum pernah melihatnya.”
“Kita mungkin berhadapan dengan bahaya, maka kita harus lebih kuat, walaupun di depan kita adalah hantu, kali ini akan kutembak keluar isi perutnya.”
Terpaksa Kahar mengiyakan saja. Dari kejauhan, datang seorang dengan perahunya. Seorang pria yang Clara sewa dari jauh-jauh hari dari seorang kenalannya.
“Kalian sudah siap?” tanya pria itu mendekat yang berusia sekitar empat puluh tahun dan pada akhirnya diketahui bernama Taufik.
“Kami siap sedari kata siap diciptakan Tuhan.”
Pak Taufik siap dengan perahu kecil kayu berwarna kecoklatan dan sebuah dayung. Keamanan perahunya sungguh diragukan, tapi inilah satu-satunya kendaraan untuk bisa menggapai titik koordinat. Tak ada pembatas atau pelampung, untuk Kahar ini bukan suatu masalah. Pagi ini air cukup tenang, perahu yang dikendalikan Pak Taufik perlahan menyelusuri Sungai Musi.
“Kali ini kau menyewa perahu yang tepat ‘kan? Bukan seorang bajak laut lagi,” bisik Kahar. Clara tersenyum untuk puluhan kali mendengar pertanyaan Kahar.
Perahu perlahan melawan aliran sungai, gemericik air berlompatan membasahi pipi Kahar. Mengingatkan dua orang itu tentang Piyambak yang jauh di sana. Sungai Musi damai bukan tanpa buaya kata Pak Taufik. Tempat yang coba Kahar dan Clara sampai adalah sarang Antu Banyu menurut kepercayaan masyarakat setempat.
“Kalian sungguh ingin pergi ke sana?” tanya Pak Taufik.
“Iya, demi tugas akhir.” Tugas akhir selalu jadi alasan Kahar untuk mengalihkan pertanyaan penasaran orang.
“Aku tidak akan mengantarkan sampai titik yang, Non Clara, berikan. Sesuai persetujuan, aku akan mengantarkan sampai 3 Km. Dulu terakhir kali aku mengantarkan seorang peneliti sembilan belas tahun lalu, dia tidak pernah kembali dan bagian terburuknya, aku tidak sempat dibayar.”
“Itu sudah cukup,” balas Clara.
“Tunggu dulu, tidak sampai?” Kahar bertanya dengan terkejut.
“Sudah aku bilang, jika tempat yang kalian tuju adalah sarang Antu Banyu. Aku akan mendoakan keselamatan untuk kalian berdua.” Pak Taufik terus mengayuh dayungnya. Tidak lama waktu berjalan, mereka bertiga tiba di pemberhentian terakhir. Bantaran sungai Musi yang tampak asli, tanpa rumah manusia terlihat. Di bantaran sungai inilah perjalanan akan Kahar dan Clara lanjutkan dengan menembus rerumputan panjang. Pak Taufik berjanji akan menjemput Kahar dan Clara sebelum matahari terbenam, jika mereka tidak kembali saat gelap datang, Pak Taufik akan menyiapkan pemakamannya.
“Dari sini kita akan menuju Barat Laut tujuh puluh lima derajat. Setelah itu, misteri koordinat ini mungkin akan terpecahkan.” Kahar mengambil katana milik Clara. Lalu melemparkannya ke Clara.
“Siapkan selalu dirimu.”
Hutan di sepanjang aliran sungai Musi sangat tebal, tak ada jejak manusia yang terlintas. Walaupun, tidak terlalu jauh dari peradaban, seakan tempat ini terisolasi dari dunia luar. Suara burung dan tanah hutan tropis yang becek berlumpur buat perjalanan mereka semakin berat.
Medan yang benar-benar menantang, tiga kilometer ditempuh selama tiga jam lebih. Kaki Clara hampir saja terjatuh saat tidak sengaja menginjak pinggir sungai yang licin.
“Astaga, kau melihatnya, Bang?” Clara bertanya dengan mulut terbuka tanda tak percaya, sebuah gua yang dialiri sungai tersembunyi di balik rindang pohon layaknya sebuah harta Karun yang minta dijelajahi lebih lanjut.
“Gua ini, titik koordinatnya ada di dalam!” seru Kahar dengan girangnya.
Clara menarik sedalam yang paru-parunya bisa hirup. Perlahan-lahan dia buang kembali, dia kini telah siap masuk dengan bedil yang diberi senter dan katana yang tergantung di punggungnya. Kahar tiba-tiba menarik katanya Clara dari sarungnya.
“Fokus tembak saja, aku akan menggunakan pedang ini,” ucap Kahar.
“Katana!” balas Clara dengan nada tinggi.
“Iya, terserahlah.”
Bau gua sangat amis, lebih amis dari pasar ikan yang biasa Kahar kunjungi tiap akhir pekan. Anak sungai yang masuk ke dalam gua lumayan dalam, satu meter ketinggian air. Kahar dan Clara masuk dan berjalan di pinggir gua yang masih diinjak. Entah seberapa dalam gua ini, yang mereka lakukan adalah terus masuk lebih dalam. Suara kelelawar menyambut mereka saat berada di kedalaman satu kilometer, kotoran kelelawar juga telah penuhi taplak sepatu mereka.
“Di mana titiknya, Bang?” tanya Clara.
“Aku tidak tahu, GPS kita kehilangan sinyal.” Mereka kini dibungkus kegelapan hanya senter yang jadi penerangan mereka. Semakin mereka masuk, tak ada yang mereka temui. Gua ini semakin busuk, bangkai ikan berantakan sedari pintu masuk.
Langkah mereka semakin dilalui dengan hati-hati, kegelapan sedikit lenyap saat mereka berbelok kanan di persimpangan. Cahaya sedikit menyelinap di antara langit-langit gua. Keadaan anak sungai kini terlihat dengan jelas, airnya keruh. Langkah mereka tetap saja diwarnai kewaspadaan tinggi. Mereka terus maju ke arah cahaya datang. Kegelapan perlahan tertinggal di belakang.
Tiga puluh menit mereka masuk, sinyal GPS tetap hilang-hilangan. Sempat tadi muncul dua garis, namun tak bertahan lama. Angin yang datang dari belakang kejutan Kahar, instingnya mengatakan ada sesuatu di belakang mereka. Sesuatu yang bersembunyi di balik gelap.
“Kau menciumnya?” tanya Clara. Tampak juga Clara merasakan keanehan itu. Bau ini lebih kuat dari sebelumnya. Aroma tidak sedap yang tercium datang bersama angin dari belakang.
“Sangat menyengat,” kata Kahar. Dia melanjutkan, “Clara, berapa banyak peluru yang bisa senjatamu lepaskan sebelum kehabisan peluru?”
“dua puluh lima, aku juga bawa lima magasin.
“Tembak!” perintah Kahar.
“Tembak apa? Di mana?” Clara membidik kegelapan, Kahar berdiri di depannya. Dengan sekejap mata, Kahar bertranformasi pertama kali di tanah Andalas. Clara sontak melepaskan lima tembakan ke arah bau busuk itu datang. Suaranya bergema di dalam gua.
Memecahkan telinga. Kahar tetap awas melihat ke arah kegelapan, dengan ekolokasinya, Kahar memfokuskan diri untuk memantulkan suara, namun terhalang suara tembakan. Ekolokasinya kacau, namun bisa segera Kahar perbaiki. Matanya tertutup fokus, dia membuka mata dengan terkejut saat Antu Banyu melompat keluar dari aliran sungai. Air yang keruh buat makhluk itu bisa berkamuflase dengan baik.
Clara sambil berteriak-teriak histeris menembak mahluk setengah manusia dan ikan itu dengan sisa peluru yang ada. Dia mati. Kahar yang hampir saja terkena serangan Antu Banyu bisa mengelak dengan baik. Kepala Antu Banyu itu mengeluarkan darah berwarna biru segar yang berbau busuk.
“Isi kembali bedilmu.”
Clara segera meraih magasin yang dia simpan di tas, sangat ahli tampaknya Clara mengisi ulang senjatanya yang baru dia pelajari dua bulan lalu.
“Makhluk apakah ini?”
“Antu Banyu aku rasa, mereka tidak setangguh yang dikatakan.” Kahar menendang-nendang kepala monster itu, memastikan apakah dia benar-benar sudah mati atau belum.
“Aku akan menggunakan ekolokasi untuk jadi navigasi kita, aku akan memantulkan suara ke setiap sudut bahkan ke bawah tanah dan bawah air jika memungkinkan, ini bisa saja menghabiskan tenagaku karena itu akan melakukannya di dalam air. Awalnya aku tak ingin melakukan ini sebab ekolokasiku belum sempurna, tapi GPS sialan itu. Lindungi aku.”
Kahar langsung terjun ke dalam air dan menyelam untuk memantulkan suara di dalam air. Dia muncul lagi tak lama kemudian untuk memantulkan suara di permukaan.
Clara memasang mata waspadanya selama Kahar berfokus. Kini bau busuk datang lagi, tidak, ini bukan hanya bau busuk, bau belerang yang buat Clara hampir tidak sadarkan diri. Namun, bisa dia tahan. Benar saja, tiga Antu Banyu datang. Mereka berenang dengan cepat mendatangi Kahar.
Rentetan tembakan dari Clara jatuhkan satu Antu Banyu, namun tidak cukup akurat untuk membinasakan mereka bertiga. Dua Antu Banyu berhasil mencapai tubuh Kahar. Mereka lalu menarik Kahar ke dalam air. Clara tak percaya dengan yang dia lihat, tembakan sekali lagi dia ledakan ke arah anak sungai. Putus asa, Clara tetap saja tembak air.
Dari keputusannya, seonggok Antu Banyu terbang melayang dari dalam sungai, rahangnya yang ditumbuhi sisik ikan hancur dihantam suatu. Itu Kahar yang selesai memindai gua. Dia kembali bertenaga karena ditarik ke dalam air.
“Kesalahan besar, brengsek.” Kahar berdiri di air yang setinggi perutnya. Antu Banyu datang dengan cepat, segera sebuah pukulan telak menembus dada maklum itu. Antu Banyu berteriak kesakitan, teriakan yang tak dapat Clara dan Kadar mengerti. Segera makhluk menjijikkan itu mati, datang getaran masih dari kegelapan.
“Sial! Clara segera lari ke dalam cahaya lalu belok kanan di persimpangan pertama, di sana ada bungker bawah tanah.” Kahar bersiap kembali bertarung. Dia tahu musuh yang datang lebih banyak dan dalam keadaan marah.
“Tidak akan! Aku akan menolongmu,” tolak Clara sambil tetap menodongkan senjata.
Antu Banyu datang dari aliran sungai, bantaran gua, dan langit-langit gua. Makhluk itu tampak marah. Suaranya seperti ikan paus ****** yang kehilangan kawanannya. Clara langsung menembak Antu Banyu saat sudah berada dalam jarak tembak. Satu peluru untuk satu nyawa. Kahar tidak bisa hanya berada di dalam air dan menunggu, dia berenang dengan cepat dan segera meraih rombongan Antu Banyu. Dia bertarung dengan brutal, satu pukulan Kahar cukup untuk memecahkan tubuh makhluk ikan itu. Sontak saja, Antu Banyu yang lain berlompatan ke dalam air menyerang Kahar. Ini kesempatan yang bagus untuk Clara terus melemparkan tembakan ke arah mereka yang berkerumun. Kahar dengan gagah juga memukul dan membelah makhluk itu menjadi dua bagian.
“Mereka banyak sekali.” Kahar masih tetap memukul Antu Banyu yang tampak tak ada habisnya.
“Kahar, peluruku habis.” Kahar menaruh bedilnya. Dan mengambil katana yang tergeletak sembarangan.
“Jangan maju!”
Kahar menarik seekor Antu Banyu yang hendak naik ke permukaan dan merobok mulutnya. Mayat Antu Banyu telah tutupi sungai. Kahar tak sabar lagi. Dia memfokuskan tenaganya pada tangan yang telah berlumuran darah biru. Dia berteriak dan dari tangannya keluar aliran listrik yang merambat dengan cepat di air.
Warna kebiruan listrik buat cahaya yang terang ujung kegelapan, ternyata banyak lagi Antu Banyu yang berbaris. Kekuatan listrik yang luar biasa. Antu Banyu telah dirasakan mati semuanya.
“Tadi itu, luar biasa, Bang. Ayo naik, kita harus segera menemukan bungker sesuai perkataanmu.” Armor Kahar rontok, walaupun dia berada di dalam air. Tampaknya serangan listrik tadi telah menghabiskan semua tenaganya. Untunglah masih tersisa tenaga untuk Kahar keluar dari dalam air.
“Kita semakin dekat,” ucap lemah Kahar
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments