Laborasi: MUSUH DAN SAHABAT

Di sebuah Desember yang tenang lalu tiba-tiba serangan datang, seorang perwira muda yang tampak baru lulus pendidikan berlari menuju ruang rapat presiden. Rambut cepaknya terguyur angin sampai kulit kepalnya yang tetap tegak memandang.

Meski mata perwira itu tunjukkan kecemasan, tetap coba tenang dia. Saat sampai di ruang rapat, dia buka perlahan pintu dan mengucapkan salam, “Selamat siang, Bapak. Maaf saya terlambat.” Seorang atasannya menjawab kemudian mempersilahkan anak muda tersebut duduk di antara presiden, menteri, dan para orang penting lainnya.

“Bagaimana laporan terkini dari Jakarta?” tanya presiden tanpa memberikan kata pembuka terlebih dahulu. Dengan gagah berani, dia mendirikan badan tegapnya.

“Pak, keadaan Jakarta makin hancur. Serangan monster yang disinyalir berasal dari kolam Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Garuda Nusantara kian mengganas, korban jatuh dari sipil telah berjumlah tiga ratus jiwa. Militer yang diturunkan sebenarnya telah berhasil memukul mundur monster, tapi...,” lapor perwira muda itu yang ragu untuk menyampaikan hal terakhir.

“Tapi?” tanya sekali lagi presiden meminta laporan diselesaikan.

“Tapi kita belum tahu siapa dalang di balik ini semua,” tuntas perwira itu menutup laporannya lalu kembali duduk.

Presiden yang mendengar tentu tidak puas. Rakyat terus menjadi korban, ini bisa memicu kekhawatiran dan ketakutan.

“Kini, Jakarta Timur menjadi basis pertempuran. Rusia dan Amerika Serikat telah mengirimkan permintaan untuk memasukkan militernya, rudal balistik siap menyelesaikan masalah, Pak.” Seorang menteri pertahanan memberikan usul. Menteri itu tampak yang masih bernafas lega di antara pejabat penting lain yang berebut udara.

“Mengizinkan militer negara lain masuk ke wilayah kita? Terlebih lagi dengan rudal yang bisa menambah kehancuran wilayah? Tidak,” jawab tegas presiden. Sidang itu benar-benar panas, baru kali ini sebuah negara mengalami ancaman bukan dari ******* ataupun negara lain. Perlu keputusan yang bijak dari seorang kepala negara.

“Kerahkan semua pesawat tanpa awak kendali jarak jauh yang kita miliki,” perintah presiden dengan muka yang tertunduk.

“Mohon maaf, Pak. Drone kita masih dalam tahap pengembangan.” Perwira muda yang duduk diam menatap presiden yang tampak lelah dengan semua ini.

Presiden mengangkat kepalanya, menatap tajam ke setiap sudut ruangan, matanya menyambar setiap mata pejabat yang hadir di sana.

Mukanya yang tua dan mulai beruban seolah menahan derita yang panjang berkata dengan nada dingin, “Selain Bapak Munjur selaku Menteri Pertahanan, Letnan Hartono, dan Wakil saya – Bapak Rusman Abdulaziz. Semua di sini, mohon menunggu di luar.”

Satu perintah dari presiden membuat para petinggi negara lain keluar tanpa pertanyaan. Hartono bimbang dengan apa yang akan dibicarakan Bapak Presiden. Baru kali ini dia mengikuti rapat di mana semua anggota rapat diminta keluar.

Ruang rapat kini menyisakan empat orang. Tiga orang pria tua yang sudah habis masa jayanya, namun tetap bekerja untuk negeri dan seorang pemuda yang bisa menjadi harapan bangsa di masa depan. Lampu dimatikan, gelap. Bapak Presiden kemudian menghidupkan sebuah proyektor tua yang dilabeli ‘Sangat Rahasia’ dari dalam gudang penyimpanan pribadi presiden.

“Hartono, sebagai lulusan terbaik Akademi Militer dan seorang serdadu muda yang telah memiliki pengalaman di dunia internasional. Saya rasa bisa mempercayakan rahasia ini padamu juga, benar begitu?” Letnan Hartono menelan ludah. Seorang presiden akan memberikan dia sebuah rahasia besar, hal ini lebih menyeramkan daripada dihajar semasa di barak.

“Benar begitu?” tanya ulang presiden.

“Siap, Pak!” jawab tegas Hartono. Wakil Presiden dan Bapak Munjur duduk berdampingan tanpa suara sedikit pun. Mereka telah mengetahui apa yang akan dibicarakan presiden, namun ini tentu tetap menegangkan setiap kali harus mendengar rahasia besar sebuah negara.

“Hanya sedikit yang rakyat tahu tentang kekuatan negara ini, sedangkan orang militer sepertimu punya pengetahuan sedikit lebih banyak, tapi tidak semuanya. Dalam keadaan genting seperti ini, sebuah Detasemen yang bergerak dalam bayangan seperti hantu siap menjadi solusi. Mereka adalah sahabat.”

...----------------...

Kahar menuju kosan-nya, mencoba mencari Paman Samsul yang hilang tiada kabar. Ekolokasi Kahar kali ini benar-benar kacau, terlalu banyak suara untuk mendengarkan kembali pantulan sinar. Dengan mengendap-endap, Kahar berjalan dengan berhati-hati, berharap tidak bertemu monster atau militer dalam mode manusianya.

Jarak dari bandara ke kosan adalah 8 km yang bisa Kahar tempuh dengan berjalan kaki selama dua jam.

“Aku kehabisan waktu,” bisik Kahar pada dirinya sendiri saat sedang beristirahat di sebuah ruko kosong yang telah ditinggalkan penghuninya. Baru setengah jalan dan Kahar sudah kelelahan. Sejauh ini, belum ada monster yang Kahar lihat. Hanya ada truk-truk militer yang melewatinya menuju arah Timur. Seandainya bisa menumpang, pasti akan lebih cepat pikir Kahar. Seakan harapan dikabulkan, matahari yang sedari tadi bersinar seadanya mulai tertutup awan hitam. Mendung. Gerimis perlahan jatuh.

Hujan basahi kota Jakarta yang tengah dibakar rasa takut. Kini bersama air hujan, Kahar keluar dari persembunyiannya. Memakai kalungnya dengan bangga, lantas berteriak pada awan yang disambut sambaran petir.

Sosok Laborasi kini hadir di jalan kota Jakarta. Militer bisa saja menganggap Kahar sebagai ancaman, tapi tak ada jalan lain untuk Kahar mencapai tempat pamannya. Dengan kaki yang sela-sela jarinya tumbuh selaput seperti ikan, Kahar berlari melalui gang-gang sepit. Kecepatan bertambah kencang saat diguyur hujan. Jalan yang basah bukan masalah. Ini mungkin kecepatan yang melampaui yang tercatat di Piyambak tempo hari.

Untung bagi Kahar, tak ada militer dan monster yang dia temui sepanjang jalan tikus. Sedikit lagi dan dia akan tiba. Kahar kini tiba di warung bubur ayam langganannya yang telah hancur. Sejenak Kahar berhenti untuk melihat. Dia merasakan ada kehidupan dari dalam rumah yang luluh lantak itu.

“Ada orang? Siapa pun di sana, aku bukan musuh, aku ke sini untuk membantu.” Kahar memasuki warung makan dengan berhati-hati, diendusnya bau yang tampak tak asing. Kahar menyadari suatu. Itu bukan manusia. Bau amis ini lebih kuat daripada yang dimiliki Antu Banyu.

“Sial!” teriak Kahar saat dia telah menyadari telah masuk perangkap musuh. Lima monster berlari kencang ke arahnya dari kegelapan. Tiga monster lompat dari langit-langit warung yang sebentar lagi roboh.

Monster itu lebih agresif dan kuat daripada Antu Banyu. Giginya yang tajam mampu menggores armor Kahar. Delapan makhluk menjijikkan mengepung Kahar dari setiap sudut. Dengan kemarahan yang memuncak, Kahar berhasil meraih satu per satu monster dan melemparnya ke luar. Tentu, monster tersebut berontak dengan menggigit, mencakar, atau menendang tubuh Kahar. Luka telah tergores di dada Kahar.

Kahar segera susul monster itu dengan luka yang menganga. Gerombolan monster itu telah menunggunya di tempat luas. Dengan rentetan pukulan dan menghindari serangan monster yang coba melawan, lima monster mampu dihancurkan Kahar menjadi rata seperti bubur ayam. Kepala monster dibuat tak berbentuk dengan mengeluarkan darah biru, persis Antu Banyu.

Tiga makhluk yang hendak kabur ke jalan utama coba Kahar kejar. Kecepatan Kahar sungguh tak terbendung. Mampu Kahar susul monster itu. Dia raih satu monster, menarik ekornya, menghancurkan punggungnya dengan tiga pukulan, dan melemparnya ke dua monster lain. Lemparan yang bagus. Monster yang diterbangkan Kahar dengan akurat mendarat di dua monster yang berlari berdampingan. Dengan sedikit kekuatan listrik yang merambat di jalan, Kahar menghabisi sisa nyawa monster tersebut. Aliran listrik merambat cepat dibantu air hujan. Membakar monster itu sampai hangus.

Aksi yang luar biasa, namun harus dibayar Kahar dengan dilihat sebuah truk lapis baja berwarna hitam kelam. Truk itu berhenti tepat di belakang Kahar. Dengan tidak tahu harus berbuat apa, Kahar membalikkan badannya dan menyaksikan sebuah pasukan keluar lengkap dengan senjata laras panjang berpakaian hitam: hitam helm yang menutupi kepala, hitam baju pelindung anti peluru, hitam celana, semua pakaian tempur itu ditutupi hitam. Segera dibentuk mereka sebuah formasi tembak. Ada sekitar sepuluh orang sekarang yang menodongkan senjata. Kaki Kahar gemetaran, sudah lama dia tidak merasakan hal ini.

“Tahan tembakan!” teriak sebuah suara yang begitu lantang dari dalam truk. Sosok prajurit yang tampak seperti kapten mereka keluar dari bangku depan.

Dia tidak tampak seperti yang lain – tanpa menggendong senjata – dan matanya setajam harimau. Dia berjalan perlahan menuju depan formasi pasukannya.

“Kalian, bubar dan menujulah sayap kanan. Biarkan aku yang mengurus satu ini.” Pasukan segera menaiki kembali truk dan hilang ditelan hujan.

Suara knalpot truk telah lenyap. Suara hujan kian deras terdengar. Angin membelai wajah Kahar. Di jalan raya kini, berdiri dia bersama seorang tentara misterius.

“Jadi, kau ini musuh atau sahabat?” tanya tentara itu di seberang jalan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!