Laborasi: ZULKARNAIN MUZAKAR

Langkah kaki mereka berdua telah melemah tapi semangat tetap kuat. Terlebih lagi melalui ekolokasi Kahar, mereka telah mendapatkan petunjuk sebuah bungker. Kahar dipompong Clara yang tetap setia menemani.

“Kau bilang belok kanan ‘kan? Seharusnya kau gunakan ekolokasi dari awal, Bang,” ucap Clara.

“Aku belum menguasai sepenuhnya, aku takut salah tangkap. Ini jika tak terpaksa, tidak akan aku gunakan,” balas Kahar membela dirinya.

“Terus, apa tadi itu? Listrik? Kau belut listrik?” tanya sekali lagi takjub Clara. “Bagaimana kita namakan kau Belut-Man.”

Kahar tertawa, tawa itu mengisi lagi semangatnya untuk menemukan bungker rahasia itu. Mereka tetap berjalan pada cahaya, sampai dinding gua hentikan langkah. Sebuah mural aneh terlukis di dinding gua. Itu Kahar yakini bukan ulah manusia purba, mural itu berbentuk palu dan arit berwarna merah.

“Komunis pernah di sini?” tanya Clara.

“Aku tidak tahu, tapi yang kita cari adalah ini.” Kahar membersihkan tanah, dari sana tampak sebuah pintu besi yang sedikit terbuka.

“Bungker?”

“Kita menemukannya.”

Pintu Kahar angkat paksa dengan sisa tenaga dibantu Clara. Engsel yang telah lepas akhirnya pecah. Tampaknya pintu besi ini dulu ada yang mendobraknya. Tangga turun dengan kegelapan menyambut mereka. Clara ragu untuk turun.

“Kau yakin?” tanya Clara.

“Aku sudah memindai tempat ini, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Kahar turun duluan, menapaki tiap anak tangga, Clara ikut kemudian. Kegelapan segera Kahar usir memakai senter setelah berhasil turun dengan selamat.

“Di mana tombol lampunya?” Kahar mencari dengan senternya saklar lampu di dinding bungker.

“Kau yakin tempat di bawah gua ini memiliki aliran listrik? ...” ucap Clara yang terpotong saat dia menemukan sebuah genset raksasa dengan sisa bensin.

“Seharusnya jika ada bensin sekalipun, bensinnya akan kadaluwarsa.”

“Kita coba dulu.” Benar saja, genset berhasil menyala, sumber listrik telah ditemukan dan mereka telah menghidupkan kembali nafas tempat itu yang seakan sudah ditinggalkan bertahun-tahun. Sarang laba-laba di mana-mana, dan dinding bungker sedikit bocor – merembes air sungai. Lembab dan menyeramkan, itulah dua kata yang bisa gambarkan bungker ini.

Di bungker itu juga ada meja-meja yang di atasnya ada beberapa dokumen yang terjaga baik oleh waktu dan alam. Bungker itu cukup luas dan bagian paling menarik baru saja ditemukan Clara.

“Ini? Aku sering melihat tabung seperti ini di film sains fiksi. Tabung diisi dengan makhluk percobaan Profesor gila. Di dalam tabung ini biasanya ada air yang jadi pelindung makhluk buatan itu. Namun, lihatlah, Bang. Kacanya telah pecah.” Kahar perhatikan setiap tabung yang berjejer berjumlah lima buah. Benar kata Clara, ini seperti sedang masuk ke dalam dunia fantasi.

“Aku mulai merasakan firasat buruk tentang orang yang seharusnya aku panggil ayah bernama Zulkarnain Muzakar.” Kahar membaca dokumen yang terkapar di meja.

“Subjek Penelitian Bangsa Labo Nomor 3”.

Begitulah judul dari artikel itu. Semua berkas yang ada Kahar dan Clara masukan dalam tasnya, mereka mengumpulkan semua bukti yang ada dan berharap salah satu dari ini menujukan keberadaan ayah Kahar.

Saat memeriksa semua meja yang ada, Kahar menemukan sebuah kamera video kuno di dalam sebuah laci meja kayu. Dia belum pernah melihatnya sebelum ini. Kamera berwarna abu-abu dan tersimpan baik dan tampak bisa berfungsi.

“Hah? Kamera ini, ayahku dulu punya satu model seperti ini.” Clara membuka bagian kamera itu yang bisa dilipat. Tidak perlu sandi segala macam, dia bisa melihat isi video yang tersimpan di dalamnya.

“Kahar,” desis Clara perlahan seakan tidak percaya.

“Ada apa?”

“Kahar,” ulang sekali lagi Clara lalu Kahar mendekatinya untuk melihat isi dokumen videonya.

Zulkarnain Muzakar.Mp4

“Putar, Clara.” Dada Clara dan Kahar berdegup kencang. Video berdurasi hampir setengah jam itu mungkin jadi jawaban yang mereka cari selama ini. Dengan berpegangan tangan, jari manis kiri Clara menekan tombol putar.

......................

Halo kepada siapa pun yang berhasil menemukan video ini. Saya Dr. Zulkarnain Muzakar. Di luar bungker ini, pasukan dari sebuah organisasi tak saya kenali telah menunggu, waktu saya mungkin hanya ada tiga puluh menit untuk menceritakan semua ini. Mereka mengincar sebuah DNA yang saya bawa demi kepentingan jahat. DNA ini adalah bagian dari anak saya, Kahar Muzakar. Saya harap Kahar baik-baik saja, saya bahkan tidak sempat untuk mengatakan bahwa saya menyayanginya. Dan, jika Kahar melihat video ini, yakinkanlah dalam hatimu, Nak, ayah menyayangimu. Jika Anak saya Kahar Muzakar ingin sebuah kebenaran, akan saya berikan.

Semua berawal di tahun-tahun perkuliahan kami; Setiawan, Nurdin, dan Saya. Kami bertiga dikenal sebagai ‘Tiga Serangkai’ oleh banyak orang.

“Bagaimana dengan skripsimu?” tanya Nurdin di kantin fakultas. Kami bertiga saat itu sedang bersama-sama membuat skripsi. Di akhir tahun perkuliahan inilah, saya merasakan ambisi Setiawan tapi saya saat itu hanya menganggapnya sebagai ambisi untuk sekedar lulus, namun saya salah.

“Aku sudah menyelesaikannya, kurasa sebentar lagi akan kuajukan untuk sidang skripsi,” balas Setiawan.

“Analisis Dampak Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Laut terhadap Lingkungan. Judulmu menarik, Wan.” Saya memperhatikan lembaran kertas di atas meja.

“Aku menemukan sesuatu yang lebih menarik dari ini, di sebuah jurnal milik seorang pejabat gubernur Sulawesi di masa kolonial dulu yang aku temukan di perpustakaan Kota Amsterdam saat menjadi mahasiswa pertukaran dulu, aku jumpai sebuah catatan mengenai prajurit lautan yang menyerang kapal-kapal dagang VOC.” Setiawan menyimpan kertas skripsinya, memulai cerita tentang legenda yang dia yakini.

“Laborasi?” sahut Nurdin. Setiawan mengangguk dengan girangnya. “Legenda tentang Laborasi di Sulawesi Selatan,” lanjut Nurdin.

“Itulah yang aku yakini, bahwa Laborasi itu ada. Dia ada, dia adalah juru hancur yang akan menghukum manusia dengan kekuatan lautan,” lontar Setiawan sekali lagi.

Saya saat itu hanya bisa diam sambil memikirkan semua yang Nurdin dan Setiawan bicarakan. Terus terang saja, saat itu saya tidak yakin dengan apa yang kedua sahabatku bicarakan. Saya benar-benar tidak percaya tentang legenda Laborasi. Hanya selang berapa bulan sejak obrolan itu yang akan selalu saya ingat, kami bertiga akhirnya lulus dengan nilai yang memuaskan. Sangat memuaskan. Dan, perkerjaan datang dengan mudah menghampiri kami.

Kementerian Perikanan dan Kelautan mengundang kami untuk bekerja di bidang Konservasi dan pengelolaan lingkungan laut. Sebuah pekerjaan yang Setiawan impikan, dengan pekerjaan ini, dia bisa lebih dekat dengan impiannya untuk melihat Laborasi. Di tahun pertama kami, Nurdin mengusulkan bahwa kami harus ditempatkan di laut Sulawesi Selatan. Bak dayung bersambut, keinginan itu diwujudkan.

Di tahun ini juga, kami bekerja sama dengan Antarctic and Southern Ocean Coalition (ASOC) untuk meneliti DNA bakteri yang ditemukan di bongkahan es. Pihak ASOC melalui persentase luar biasa dari Setiawan, memberikan beberapa sampel DNA itu, untuk diteliti karena ada kesamaan struktur DNA dengan ikan endemik Sulawesi Selatan.

“Kita harus lakukannya dengan cara berbeda, dengan pandang yang berbeda,” saran Nurdin saat itu di dalam laboratorium milik kementerian.

“Kau hanya meneliti ikan, bagaimana dengan dasar lautan?” lanjut Nurdin.

Saat itu teringat sesuatu hal, Laut Sulawesi merupakan salah satu dari tiga laut yang terbentuk dari proses pemekaran benua Gondwana pada kurun waktu yang lama. Kurun waktu ini sesuai dengan umur bakteri DNA Antartika tersebut. Proses pemekaran ini terjadi akibat pergerakan lempeng tektonik yang menyebabkan terjadinya patah dan terpisahnya benua-benua yang sebelumnya merupakan satu kesatuan.

Proses terbentuknya laut Sulawesi terjadi pada kurun waktu yang lama, mulai dari jutaan tahun yang lalu. Pada awalnya, laut Sulawesi merupakan bagian dari samudera Indo-Australia yang terletak di sebelah barat benua Gondwana. Kemudian, lempeng tektonik yang terletak di bawah benua Gondwana mulai bergerak dan menyebabkan terjadinya patah dan terpisahnya benua-benua yang sebelumnya merupakan satu kesatuan.

Proses terbentuknya laut Sulawesi terus berlangsung hingga saat ini, meskipun dengan kecepatan yang sangat lambat. Saat ini, laut Sulawesi merupakan salah satu laut yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi, dengan banyak terdapat jenis-jenis flora dan fauna yang unik dan endemik hanya ditemukan di laut ini.

“Bisa saja ada sisa dari pecahan lempeng itu jika pembentukan laut Sulawesi masih berlangsung sampai sekarang,” balas Setiawan setelah mendengarkan penjelasan saya.

“Luar biasa! Ini bisa kita lakukan,” kata Nurdin bersemangat.

“Namun, sayangnya eksplorasi bawah air sebesar itu memerlukan dana yang banyak, mungkin bisa menghabiskan anggaran kementerian, kita harus meyakinkan ASOC untuk kembali memberikan dana segar pada kita.” Saya melanjutkan yang disusul raut muka sedih dari Nurdin.

“Biar aku saja yang bicara dengan ASOC.” Setiawan tampaknya sangat bersemangat. Hari itu saya melihat kembali ambisi yang pernah saya lihat beberapa tahun lalu di mata Setiawan.

Lekas setelah menyelesaikan proposal pengajuan dana, Setiawan berangkat ke kantor pusat ASOC di Washington D.C, Amerika Serikat pada musim panas. Sayangnya pihak ASOC menghentikan kerja samanya dengan kementerian Kelautan dan Perikanan. Dana tidak pernah turun dan mimpi kami harus terhenti untuk sejenak.

Di saat itu juga, ketika semangat saya luntur, saya bertemu Maryam, gadis yang akan saya nikahi di tahun depan. Kami saling jatuh cinta, dia gadis yang menawan dan mempunyai paras rupa wanita tropis yang elok. Hanya butuh waktu beberapa bulan untuk kami mengikat janji setia di bibir pantai.

Pernikahan yang meriah, teman kerja saya sebagian besar hadir. Hanya Setiawan yang tidak bisa datang, Nurdin bilang dia sedang melobi seorang pengusaha kaya di Kota Padang untuk menjadi investor pekerjaan kami, namun sampai setahun, dia tidak pernah kembali. Waktu pernikahan kami sangat indah, walaupun saya dihadapi dengan kenyataan bahwa Maryam tidak bisa memberikan saya seorang putra. Itu tidak menjadi persoalan bagi saya, dengan kekurangan yang Maryam miliki, saya tetap mencintainya dengan setulus hati. Dan, saya memutuskan untuk keluar dari kementerian Perikanan dan Kelautan karena faktor keluarga. Saya ingin lebih dekat dengan istri saya.

Selang setahun kepergian saya, Nurdin mengabari bahwa dia juga keluar, dia ingin fokus menjadi penulis. Saya kira ini keputusan yang tepat, namun ternyata tidak. Keuangan keluarga kecil saya tidak berjalan mulus. Di tahun kedua pernikahan saya, kami tidak punya apa-apa untuk dimakan, saya harus pergi ke laut untuk memancing ikan demi melanjutkan hidup. Pekerjaan saya sebagai nelayan juga tidak baik. Semua benar-benar kacau saat itu.

Sampai suatu pagi, pintu rumah saya diketuk, saat saya membukanya, Setiawan dan Nurdin berada di hadapan.

“Ayo selesaikan pekerjaan kita.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!