Laborasi: KUTU BUKU

^^^Puisi dan kalung ditemukan dengan misteri yang tak terjawab. Ini tidak menjelaskan apa pun. Pertemuan pertama dengan seorang profesor yang bisa jadi kunci keberadaan ayah, cambuk semangat Kahar.^^^

Satu hari setelah kejadian kemarin, Kahar masih tak bisa menahan malu ketika membahasnya dengan paman Samsul. Paman Samsul hanya tertawa saat Kahar menceritakan tentang dia yang melompat masuk ke kolam, sampai pengalaman buruk Kahar dengan handuk.

“Ayolah, ini Jakarta. Apakah paman harus bilang ‘selamat datang di Jakarta’ lagi?” ledek paman Samsul sambil menikmati kopi hitamnya.

Kahar hanya bisa diam dan masih tak percaya dengan apa yang dia alami. Ternyata kota Jakarta memang sekeras itu untuk dirinya yang begitu polos. Pagi ini paman Samsul akan segera berangkat mengais rezeki. Sebelum itu, paman Samsul hendak membeli sarapan untuk mereka berdua.

“Aku saja, Paman.” Kahar mengajukan diri untuk membeli sarapan.

“Apa kau yakin? Kau tidak akan melompat ke kolam lagi ‘kan?” tanya sekali lagi paman Samsul yang masih saja membahas hal kemarin.

Kahar ikut tertawa dan lanjut menyambar jaket birunya yang tergantung di lemari. Kahar keluar dari kos yang terletak di bagian ujung gang. Dia mencari di sekitar kos-nya tempat makan yang terlihat ramai. Setelah berjalan tidak jauh, Kahar menemukan penjual bubur ayam dengan pengunjung yang cukup ramai.

“Ini pasti enak.”

Kahar tanpa berpikir panjang langsung masuk. Dia memesan dua bungkus bubur untuk dibawa pulang. Pelayan melayaninya dengan ramah, dan mempersilahkan Kahar duduk sejenak.

Kahar duduk sambil memperhatikan telepon genggamnya yang retak di bagian atas. Saat sedang fokus-fokusnya, di hadapannya hadir seorang laki-laki sebayanya. Kahar merasa pernah melihatnya kemarin, tapi dia tidak ingat. Laki-laki itu juga memperhatikan Kahar, dia tersenyum ramah sebelum membuka pembicaraan, “Halo, kau pasti penunggu baru kosan paman Samsul?” tanya pria itu mendekat duduk di samping Kahar. Kahar menoleh ke arahnya, bersiap untuk sedikit basa-basi.

“Iya, sebenarnya aku keponakan paman Samsul,” Kata Kahar.

“Aku Zico Zahara, dari Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia semester tiga. Abaikan nama Zahara yang tampak seperti perempuan. Aku tetangga sebelah kosmu.” Sodoran tangan Zico langsung Kahar sambut. Ini adalah kali pertama Kahar berkenalan dengan orang dengan normal.

“Aku Kahar Muzakar, Ilmu Kelautan. Mahasiswa baru. Salam kenal, ya..., Bang.”

Zico sepertinya tidak senang dipanggil ‘bang’ dahinya langsung mengernyitkan.

“Zico, panggil Zico saja.”

Kahar mengangguk tanda paham. Setelah bercakap cukup panjang tentang perkuliahan dan Kahar tidak sedikit pun membahas tentang kolam kemarin.

“Kau suka puisi?” tanya Zico.

“Tidak, aku tidak suka membaca atau menulis puisi.”

“Kau harus membaca setidaknya karya Widji Thukul, dia aktivis yang hilang sekitar dua puluh tahun lalu.”

Obrolan yang harusnya sederhana, mengingat mereka baru saja bertemu, berubah menjadi berat sejak Zico membahas mengenai para penyair dan karya-karyanya yang mengkritisi pemerintah.

Kepala Kahar mulai memanas, ingin segera dia pergi.

“Permisi, Mas. Bubur ayam dua.” Untunglah pesanan bubur telah siap. Kahar segera berpamitan dengan Zico dan pulang. Saat sampai kos, Kahar menceritakan tentang pertemuannya dengan Zico.

Paman Samsul berkata, “Hati-hati, dia sering mabuk puisi.”

...****************...

Satu bulan berlalu. Perkuliahan akhirnya resmi dibuka. Dua ribu lima ratus mahasiswa baru diterima. Dan, di antara semua mahasiswa baru itu ada Kahar Muzakar yang siap berlayar di jurusan Ilmu Perikanan dan Kelautan. Kahar berjalan sendirian menuju kampus melewati jembatan kertapati. Sejak kejadian tenggelamnya Clara, Kahar belum pernah lagi menyelusuri kampusnya.

“Sepertinya aku jangan lewat di atas sini lagi sampai lulus.”

Kahar menyelusuri koridor, membaca tiap papan nama kelas. Dia cari kelas 2.5. Sialnya Kahar belum pernah masuk ke dalam gedung fakultas. Sempat frustrasi tidak menemukan kelas yang dia cari. Datang suara teriakan yang bisa Kahar kenali.

“Kahar!” teriak suara gadis dari ujung koridor.

Kahar membalikkan badan, dari ujung datang dengan cepat Clara dengan kemeja merah dan dalaman kaos hitam polos serta celana panjang. Kahar mengembuskan nafas berat saat melihat gadis itu.

“Hai, aku suka kemejamu,” sapa Clara berbasa-basi.

“Wah, sudah lama aku tidak melihatmu. Sejak terakhir kali bertemu, aku tidak pernah melihatmu.”

“Aku lupa meminta nomormu.” Clara memberikan telepon genggam berwarna biru laut.

“Biru laut? Aku suka warna ini.” Kahar memasukkan nomornya. Clara tampak bahagia sekali, ada kerinduan yang mungkin terkubur di hatinya.

Kahar dan Clara berdua berjalan mencari kelasnya. Setelah naik turun tangga, mereka menemukan kelasnya di lantai empat. Kelas dengan dua pintu, pendingin udara, papan tulis kapur, susunan kursi yang memanjang ke belakang, dan proyektor telah disesaki mahasiswa baru lainnya yang telah siap.

“Kita duduk di belakang saja.” Kahar langsung mengiyakan ajakan Clara. Kahar sedikit gugup dan di kelas ini sialnya hanya Clara yang dia kenal.

“Apa kau telah punya teman?” tanya Kahar.

“Baru kau.”

“Bagus.”

Kahar hanya diam saja mendengarkan semua hal yang Clara ceritakan. Mulut Clara seperti tidak ada lelahnya, dia bercerita tentang semua hal sepele. Dia baru berhenti setelah seorang profesor tua datang. Perawakannya kurus tinggi dengan rambut yang tinggal putih, uban. Jari-jarinya panjang. Matanya sangat tajam, hanya dengan mata dia bisa membuat seisi kelas diam.

“Selamat pagi semua, perkenalkan nama saya Prof. Setiawan, S.Pi., M.Si. Kalian panggil saja Profesor. Saya pengampu mata kuliah Pengantar Ilmu Perikanan dan Kelautan.” Seisi kelas bungkam. Dari tiga puluh mahasiswa, hanya Clara yang memberikan tepuk tangan.

“Terima kasih.”

Dari dalam tas kulit hitamnya, Profesor tua itu mengeluarkan map kuning yang berisikan nama-nama mahasiswa baru tahun ini. Satu per satu nama dipanggil.

“Andika Pratama..., Lisha..., Bagus.”

Sampailah beliau di nama Clara, “Clara Lautina.” Clara langsung mengangkat tangan dengan bangga dan berteriak, “Hadir!”

“Lautina? Benar-benar terlahir untuk masuk jurusan ini, menarik.” Kahar tertawa mendengar nama belakang Clara.

“Kahar Muzakar”

“Hadir, Prof.” Mata Profesor Setiawan menatap mata Kahar. Dia merasakan ada yang unik dari nama ‘Muzakar’.

“Dari mana kau berasal?”

“Pelayar, Sulawesi Selatan, Prof.”

“Muzakar? Zulkarnain?” suara Profesor terdengar perlahan. Hanya Kahar yang mampu mendengarnya.

Kahar sontak kaget, dia ingat nama itu, Zulkarnain. Ayahnya! Zulkarnain Muzakar. Kenapa Profesor menyebutkan nama itu. Apakah dia kenal ayah Kahar? Kahar diam. Dari mulutnya berlompatan pertanyaan.

“Apa Profesor kenal nama itu?”

“Nanti temui saya di ruang prodi.” Profesor Setiawan tampak masih terkejut.

Clara melihat Kahar dengan penasaran. Kahar menatap balik Clara dengan tatapan yang penuh harap dengan Profesor Setiawan. Kahar menunjuk ke arah buku, tanda pada Clara untuk belajar terlebih dahulu.

Kelas dimulai dengan ceramah selama satu jam lalu pertanyaan yang tiba-tiba bisa diberikan kepada siapa pun. Seisi kelas yang baru saja memasuki dunia perkuliahan tertunduk lesu, berharap jari Profesor Setiawan tidak menunjuk.

Hanya Clara dan Kahar yang tetap tegar mengangkat kepala sampai kelas selesai. Dua orang itu baru saja mencuri perhatian Profesor Setiawan. Kahar yang telah belajar dari jauh hari bisa menjawab semua pertanyaan dan Clara tidak mau kalah. Dia menjelaskan semua ruang lingkup, konsep, dan manfaat mata kuliah ini.

“Kau hebat Kutu Buku,” puji Clara.

“kau juga.”

Kelas ditutup dengan sebuah tugas individu. Perasaan campur aduk memenuhi hati para mahasiswa. Di luar semua itu, Kahar ingin segera menemui Profesor Setiawan untuk menanyakan perihal ayahnya.

Mahasiswa lain sibuk meninggalkan kelas dan menyisakan Kahar, Clara, dan Profesor Setiawan yang sedang merapikan barangnya. Kahar datang menghampiri Profesor diikuti Clara.

“Permisi, Prof,” ucap Kahar. Profesor Setiawan menoleh. Mengangkat wajah dan memandangi Clara dan Kahar.

“Zulkarnain Muzakar, iya aku kenal dia. Tapi aku harap dia bukan orang yang kau panggil ayah,” jelas Profesor Setiawan. Kahar menyodorkan foto ayahnya yang dia ambil tempo hari.

“Tidak mungkin.” Profesor Setiawan menjadi yakin bahwa Zulkarnain Muzakar yang dicari Kahar dengan yang dia kenal adalah sama.

“Aku keluar dulu, sepertinya ini sensitif.” Clara hendak keluar kelas, namun tangannya ditahan oleh Kahar.

“Aku butuh kau.”

“Zul, begitu aku sering memanggilnya. Dia pernah bekerja untukku sebagai asisten lab beberapa tahun sebelum dia menikah dan pulang kampung. Setahun aku tidak mendengarkan kabar tentang dia sampai suatu malam dia datang padaku sembilan belas tahun lalu untuk menitipkan ini.”

Profesor Setiawan mengeluarkan sebuah kalung yang terlihat seperti jimat. Kalung berwarna emas, dengan hiasan segitiga yang di tengahnya berhiaskan permata berwarna hijau.

“Ini mungkin milikmu.” Profesor Setiawan memberikan kalung itu. Mimik wajah Clara begitu tercengang melihat keindahan kalungnya. Kahar mengambil kalung itu dan tidak langsung memakainya, dia menyimpan di dalam tas untuk dilihat nanti.

Belum selesai. Profesor Setiawan belum beranjak dari duduknya di kursi sambil mengeluarkan secarik kertas usang yang berisi sebuah puisi. Ia menatap Kahar dan Clara yang berdiri di depannya.

“Aku sama sekali tidak mengerti puisi ini,” ucap Profesor Setiawan. “Kahar, ini adalah titipan dari Zul, sebelum dia menghilang malam itu,” tuntas Profesor Setiawan sambil menyerahkan kertas tersebut kepada Kahar.

Kahar terkejut saat menerima kertas itu. Ia merasa seperti mendapatkan sebuah misteri baru yang harus ia selesaikan. Ia membuka kertas tersebut dan mulai membacanya:

“Laborasi tekuklah laut

bersama mantra badai

Dan yang mati, matilah

Dan yang hidup

hiduplah

Laborasi, hidup dan mati

mati dan hiduplah lagi

Laborasi hiduplah.”

Puisi itu tidak bisa Kahar dan Clara pahami. Kahar bingung saat membaca puisi itu. Ia merasakan sebuah pesan yang hendak sampaikan melalui puisi tersebut.

“Terima kasih, Profesor,” ucap Kahar sambil menatap Profesor Setiawan dengan penuh terima kasih.

Profesor Setiawan tersenyum dan mengangguk. Ia merasa bahagia karena dapat memberikan titipan Zulkarnain kepada Kahar.

Profesor Setiawan berpamitan kepada Kahar dan Clara. Kahar tetap saja tidak berhenti mengucap beribu terima kasih. Pria tua itu untuk sekali menatap Kahar sebelum pergi menghilang dari mata.

Dengan puisi itu, Kahar mendapatkan petunjuk lain tentang ayahnya. Kahar berjanji akan terus mencari ayahnya dan membawanya kembali agar mereka dapat bersama kembali.

“Jika kau berkenan, ceritakan padaku,” mohon Clara.

“Iya.” Kahar menceritakan kepada Clara tentang ayahnya yang menghilang sejak dia di dalam kandungan. Setelah diberikan kalung dan puisi oleh Profesor Setiawan.

"Astaga, Kahar," kata Clara terkejut. "Kita harus mencari tahu tentang hubungan antara kalung dan puisi yang diberikan oleh Profesor Setiawan. Mungkin ini bisa membantumu menemukan ayahmu."

Kahar dan Clara segera membicarakan hal ini lebih lanjut. Mereka berusaha mencari tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan ayah Kahar dan mengapa ia memberikan puisi dan kalung misterius kepada anaknya melalui Profesor Setiawan.

Mereka berdiskusi panjang lebar dan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa kalung dan puisi tersebut mungkin memiliki makna yang lebih dalam, dan mungkin bisa membantu mereka menemukan ayah Kahar. Kahar dan Clara segera mencari tahu lebih lanjut tentang hal ini dan berusaha mengungkap misteri yang terjadi.

“Aku kenal seorang yang mungkin bisa bantu memecahkan puisi ini.” kata Kahar.

Terpopuler

Comments

Umis Ust. Kumis

Umis Ust. Kumis

p

2023-01-14

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!