Laborasi: ZULKARNAIN MUZAKAR II

“Siapa itu, Bang?” tanya istri saya – Maryam.

“Perkenalkan, Nyonya. Saya Setiawan Santosa bersama rekan saya – Nurdin, datang untuk berbicara dengan kawan lama kami, Tuan Zulkarnain.” Setiawan memperkenalkan dirinya. Saya awalnya tidak mengenali Setiawan sedikit pun, rambutnya memutih, keriput menutupi kulitnya, dan kacamata tebal dia gunakan.

“Siapa kau?” tanya saya.

“Saya Setiawan.”

“Tidak, saya hanya tidak melihat Setiawan dua tahun, siapa pria tua ini?” tanya sekali lagi saya.

“Zul, kau harus dengarkan dulu.” Kali ini Nurdin yang mulai percakapan, saya yakin jika yang berbicara dengan saya adalah Nurdin. Dia tidak banyak berubah, tetap tinggi dengan mata kecoklatan.

Saya dengan rasa kebingungan mempersilahkan kedua teman lama saya masuk, atau itulah yang saya tahu. Maryam beramah-tamah, menanyakan mereka berdua hendak minum apa. Jika saya tidak salah ingat, Nurdin dan Setiawan kompak mengatakan air putih saja.

“Aku sekarat, Zul. Lihat diriku sekarang,” ucap Setiawan dengan nada lemah.

“Ceritakan semuanya.”

“Setelah aku kembali dari Amerika Serikat dua tahun lalu, aku mendapatkan kenalan seorang pengusaha kaya yang siap menyongsong eksplorasi kita. Tepat di hari pernikahanmu, aku berangkat ke Padang. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan, aku tidak yakin kenapa pengusaha itu mau mendanai kita, tapi saat sampai di sana. Aku menjadi paham.” Setiawan menghentikan sejenak ceritanya, lalu meneguk air putih yang istri saya sajikan.

“Pengusaha itu sudah tua, hampir sama tuanya dengan negeri ini. Namun, dia mendengar penelitian kita, tentang DNA Antartika tersebut dari pasar gelap.”

“Pasar gelap?” tanya saya memotong cerita.

“Kau tahu, ternyata penelitian yang kita lakukan itu untuk menemukan obat panjang umur, obat regenerasi tubuh, bahkan obat keabadian. Itulah kenapa ASOC ingin mendanai penelitian kita, namun karena tidak menunjukkan hasil setelah tujuh tahun. Mereka menyerah,” jelas Nurdin.

Saya tidak pernah diberi tahu tentang hal itu selama bekerja di kementerian. Saya terkejut tak percaya bahwa apa yang selama ini kami kerjakan adalah sebuah penemuan yang sangat luar biasa.

“DNA Antartika yang pihak ASOC temukan berhasil membuat seekor tikus menumbuhkan kembali buntutnya, namun gagal jika dilakukan pada manusia. Perlu sebuah variabel terakhir, bisa kau tebak?” tanya Setiawan menatap saya. Saat itu, yang saya pikirkan adalah hal di luar nalar manusia.

“Bangsa Laborasi?” balas saya ragu-ragu.

“Bangsa Labo-Labo tepatnya!” sambar Nurdin dengan cepat.

“Akan aku lanjutkan. Aku mendapatkan uang yang cukup dan sebuah fasilitas laboratorium di dalam sebuah bungker di Sumatera Selatan, cukup jauh dari Padang tapi tempatnya sangat strategis.” Setiawan menuliskan sebuah koordinat di balik foto saya dan Nurdin. Lalu Setiawan menempelkan kertas foto lagi menumpuknya.

“Apa yang lakukan?” tanya penasaran saya.

“Seandainya aku lupa, titik ini jadi acuan. Singkat cerita, selama dua tahun, aku melanjutkan penelitian. Aku mendapatkan DNA Antartika yang pernah kita teliti dulu. Dari pasar gelap tentunya.” Air putih di hadapan mereka telah habis. Setiawan meminta satu gelas lagi, Saya sendiri kali ini yang mengambilnya karena tidak mau Maryam mendengarkan obrolan kami.

Setelah mendapatkan air lagi, Setiawan melanjutkan ceritanya. “Enam bulan lalu, saya mencoba menyuntikkan serum obat yang belum sempurna karena pemilik modal tidak sabar dengan hasil.”

“Semua menjadi berantakan dan kau menua.”

“Betul. DNA itu tidak cocok, kita butuh DNA dari makhluk hidup juga. Mari ikut aku, Zul. Aku butuh bantuanmu.”

Saya sebenarnya merasa tergerak untuk membantu Setiawan karena saya tahu betapa besar masalah yang Setiawan hadapi. Namun, saya juga merasa ragu karena saya tidak tahu apakah dia mampu melakukannya.

"Wan, saya tidak tahu apakah saya mampu melakukannya. Kehidupan pernikahan saya dan Maryam tidak mudah selama dua tahun terakhir. Kami sering menghadapi masalah keuangan yang membuat kehidupan kami terasa sulit," kata saya dengan nada ragu. Terlebih lagi, dua tahun ini saya tidak pernah menyentuh alat-alat laboratorium yang keraguan makin ganas.

"Aku tahu itu, Zul. Tapi, aku yakin bahwa kau bisa melakukannya. Kau adalah orang yang paling terampil di antara kita. Jangan tersinggung Nurdin. Penelitian ini juga bukan tidak ada uangnya. Aku yakin kau bisa membantu melanjutkan penelitian ini," jawab Setiawan dengan nada yakin.

Saya kembali merasa tergerak dengan perkataan Setiawan. Saya merasa bahwa tidak bisa menolak permintaan Setiawan. Terutama ketika Setiawan bilang akan memberikan uang.

"Baiklah, Wan. Saya akan membantumu. Saya akan ke melanjutkan penelitian bersamamu," kata saya dengan nada tegas.

Setiawan tersenyum senang dengan keriputnya. "Terima kasih, Zul. Aku tahu kau tidak akan mengecewakan," jawab Setiawan dengan nada bersyukur.

Setiawan dan Nurdin berpamitan pada sore itu juga, mereka bilang akan menginap di sebuah hotel tak jauh dari pantai. Saya sebenarnya masih terkejut dengan kedatangan dua orang lama itu. Saya juga mendapati bahwa foto yang Setiawan tulisi koordinat tertinggal. Saya menyimpan foto itu di dalam lemari di kemudian hari saat akan berangkat melakukan eksplorasi.

Saya bilang sama Maryam akan pergi untuk sebuah perkerjaan bersama Setiawan dan Nurdin. Dia terlalu polos dan percaya begitu saja.

Berangkatlah kami bersama beberapa orang lain menggunakan kapal selam buatan Jerman. Saya tidak tahu bahwa ini adalah awal dari kelahiran Kahar. Kami menyelam di kedalaman tiga ribu meter di bawah permukaan air.

Kami tidak bisa turun lebih dalam karena tekanan air yang kian kuat. Penelitian ini kami lakukan untuk mencari sisa pecahan bangsa Labo-Labo. Kami bergerak berdasarkan legenda, sungguh suatu hal gila. Di dalam kegelapan air, saya ingat Setiawan berbicara tentang ayahnya dulu.

“Dulu ayahku seorang nelayan, suatu hari aku diajak ayah menangkap ikan di tengah laut.” Setiawan terbatuk-batuk saat berbicara, saya mulai khawatir melihat teman yang seusia dengan saya menua lebih cepat. Setiawan mengambil tisu dan membersihkan mulut dan hidung sebelum mulai berbicara lagi, “Sayangnya, di sore yang sedang diamuk lautan. Ayahku terjatuh ke laut, aku mencoba menolongnya, namun suatu hal terjadi. Sosok manusia menarik ayah ke laut, mencengkeram lehernya dan menghilang bersama gelombang tinggi.”

“Aku yang masih kecil tidak mengerti dengan apa yang terjadi, kapal terombang ambing dua hari tanpa pengemudi, aku hanya menangis. Yang aku ingat, di hari ketiga, kapal nelayan dari Filipina menyelamatkanku. Aku terbawa sampai Selatan Filipina. Sungguh hari yang brutal, mulai hari itu juga, aku bersumpah untuk membunuh setiap makhluk Labo-Labo.”

“Laborasi dan Labo-Labo hanya legenda, Wan. Itu cuman tradisi masyarakat setempat.”

“Bagaimana jika ada?”

Saya dari sana menyadari sesuatu ambisi lain di hati Setiawan, ini bukan hanya tentang mencari obat. Ini mungkin tentang balas dendam saya rasa.

Penelitian dilakukan selama dua bulan, kami hanya naik ke permukaan seminggu sekali untuk mengisi bahan bakar dan mengambil persediaan. Kapal selam kami terus menyelusuri laut Sulawesi. Tidak ada tanda-tanda bangsa Labo-Labo, dan kapal selam ini tidak bisa turun ke dasar lautan untuk melihat pecahan lempeng.

“Ini Minggu terakhir kita, jika kita gagal, semua berakhir,” ucap Setiawan dengan nada lemah.

“Kita dulu telah melakukan penelitian ini selama tujuh tahun lamanya dan tidak menunjukkan tanda-tanda keberhasilan, dua bulan itu waktu yang singkat, Wan. Mohon bersabarlah.” Nurdin mendekati Setiawan di lambung kapal selam.

“Nurdin, kau tahu banyak ‘kan tentang bangsa Labo-Labo, apakah ada cara untuk memanggil atau mendeteksi mereka menurut legenda?” tanya saya mencoba memecahkan misteri itu.

“Mantra, ada sebuah mantra yang diyakini untuk memanggil Laborasi,” kata Nurdin.

“Kita sudah banyak melakukan hal di luar kaidah ilmiah, tapi mantra?”

“Wan, ini bisa dicoba.”

“Buhay na paggawa mabuhay da mamatay, mamatay da mabuhay muli, no Dan Fofo Laborasi may stowrm sael sa dagat na yumuyuko Awrg mga namamatay, namamatay. Laborasi!” ucap Nurdin berulang kali. Bahasa yang tidak kami mengerti.

Tidak ada yang terjadi, Nurdin tampak kecewa. Dia menuliskan mantra itu dalam bahasa Indonesia yang bisa saya paham di kertas. Dia berikan kertas itu pada saya. Penelitian harus diselesaikan, tak ada hasil yang membanggakan.

Kami pulang dengan kepala tertunduk, Setiawan yang paling sedih saat itu, mukanya yang sudah tua, bertambah buruk rupa. Dia bilang akan menghubungi investornya dan akan bekerja di Jakarta sebagai dosen. Nurdin juga akan melanjutkan karier sebagai penulis. Saya juga sebenarnya sedih, kerja keras yang saya lakukan tidak membuahkan hasil, namun untunglah Setiawan tetap memberikan sejumlah uang yang selamatkan dapur keluarga saya.

Semua sudah kembali normal. Saya kembali melanjutkan pekerjaan sebagai nelayan. Saya rasa, kehidupan sehari-hari saya kembali pada pakemnya. Seminggu saya kembali melaut, keadaan laut mengamuk menolak kehadiran kapal-kapal kami.

Saya jadi tertunduk lesu seperti Setiawan tempo hari. Saya hanya bisa memandang laut bersama Maryam di suatu petang yang sepih. Keadaan laut yang sedang dilanda badai adalah sebuah pemandangan yang sangat menakutkan.

Ombak-ombak tinggi dan bergulung-gulung membentang ke segala arah, menimbulkan suara yang keras dan memecahkan deburan air ke segala penjuru. Awan yang hitam dan tebal menutupi langit, seolah-olah ingin mengabarkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi. Angin yang bertiup kencang dengan suara yang merdu membuat pohon-pohon di sekitar pantai bergoyang-goyang.

Pohon-pohon itu terlihat seakan-akan akan runtuh karena terlalu lemah menghadapi angin yang kencang. Ditambah lagi dengan hujan yang turun dengan deras, membuat keadaan semakin menakutkan. Seluruh pantai terlihat kosong, tidak ada seorang pun yang berani keluar dari rumah mereka di saat badai sekuat ini melanda. Hanya Saya dan Maryam yang masih berani duduk di bibir pantai, menatap ke laut yang sedang dilanda badai dengan penuh perhatian.

"Kurasa kita harus pulang, Bang," ujar Maryam akhirnya. "Badai ini terlihat sangat kuat."

Saya mengangguk setuju, namun entah kenapa atau mungkin saya saat itu terkena demam laut. Saya menghentikan langkah sejenak untuk membacakan puisi yang Nurdin pernah berikan. Saya merasa bahwa keadaan sekarang sangat cocok dengan syair puisi tersebut. Maryam bingung tetapi hanya bisa menunggu saya selesai.

Setiap saat selesai membaca satu bait puisi, laut seakan menyambut puisi itu dengan sambaran petir yang menggelegar. Saya makin bersemangat, sedangkan Maryam menjadi khawatir.

“Laborasi hiduplah!” Saya berteriak dengan kerasnya mengalahkan suara petir. Tiba-tiba keheningan hadir. Laut seakan menjadi jinak. Matahari berkata bahwa ini adalah perpisahan hari.

Di malam itu, saya akan mencatatnya sebagai kelahiran anak saya – Kahar Muzakar. Atau lebih tepatnya, hari di mana saya menemukan dua butir telur yang laut berikan pada kami.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!