Laborasi: DNA

Pagi ini setelah kejadian luar biasa aneh itu. Kahar tidak masuk kuliah, digunakan kahar izin sakitnya yang belum digunakan. Paman Samsul yang pulang pada siang hari tampak cemas. Dia hendak mengajak Kahar untuk pergi ke rumah sakit, namun ditolak Kahar dengan alasan tidak punya biaya. Paman Samsul tidak peduli. "Aku ini pamanmu, tidak usah pikirkan uangnya," kata paman Samsul menegaskan.

Kahar mengerti kepedulian pamannya. Dia tidak ingin dibawa ke rumah sakit karena tahu ini bukan penyakit biasa dan bisa saja dia bakal ketahuan menyimpan rahasia besar.

"Ini cuman masuk angin bisa, Paman. Aku pulang terlalu larut semalam," kelak sekali lagi Kahar.

Paman Samsul hanya bisa menekuk dahinya. Siang ini keponakannya memenangkan perdebatan. "Baiklah kalau kau tidak mau ke rumah sakit, setidaknya habiskan nasi ini." Tangan Kahar langsung menerima bungkusan makanan.

"Paman akan pergi lagi, maaf tidak bisa menjagamu."

"Tidak apa-apa, aku bisa menjaga diri," kata Kahar menutup pertemuannya dengan paman.

...****************...

Tiga hari Kahar terkapar di kasur, Clara bolak balik dengan sabar mengurus orang spesialnya itu, seperti suster pribadi kata paman Samsul.

Semua jenis buahan dan vitamin juga dia bawakan saat berkunjung pagi, siang, dan malam. Bahkan kosan paman Kahar serasa menjadi toko buah tropis.

Di hari keempat yang bertepatan dengan akhir pekan, kesehatan dan tenaga Kahar mulai membaik. Dia telah mampu bangkit dari tempat tidur dan berjalan-jalan. Sore ini Clara berkunjung dan membawakan pempek kapal selam sebanyak tiga porsi.

Gadis manis itu datang dengan bibir yang mekar berwana merah bahagia mengetahui Kahar telah pulih.

"Aku tidak yakin ini cocok dimakan saat sakit," ucap Kahar sambil mencium aroma kuah pempek yang terasa pedasnya.

"Makan saja, yang satu ini simpan untuk paman Samsul." Dengan tanpa keraguan, Clara melahap satu sendok besar pempek.

Kahar hanya bisa diam mengangguk melihat tingkah Clara. Kahar mulai mencicipi pempek, pedas. Sangat pedas.

"Aku tidak sanggup, nanti aku makan dengan nasi." Kahar menyerah. Clara tertawa membanggakan dirinya.

Kahar ikut tertawa, dia bangkir dari duduknya lalu berkata, "Aku ingin menyerahkan sisik ini kepada Profesor Setiawan atas saranmu kemarin."

Kahar mengeluarkan sisiknya yang lepas empat hari lalu, dia simpan sisik itu dengan rapih di bungkus plastik tertutup rapat.

Mimik wajah Clara berubah drastis, kini keseriusan yang bungkam tawa Clara.

"Aku yakin kalau Profesor Setiawan bisa kita percaya, dan beliau mampu memecahkan atau menemukan sesuatu tentang sisikmu itu," ujar Clara.

Kahar setuju lalu menunggu waktu yang tepat untuk meminta tolong. Kali ini yang dipikirkan Kahar hanya cara menghabiskan pempek kapal selam yang menyelam pada rasa pedas terlalu dalam.

...****************...

Waktu yang tepat mungkin tiba hari ini, di harie Senin pagi. Hari baik kata orang. Clara dan Kahar sudah menunggu Profesor

Setiawan di depan ruang jurusan sedari pagi sebelum kelas dimulai.

"Sakitmu sudah benar-benar sembuh?" tanya Clara yang mulai bosan.

"Tenang saja, mereka sudah musna," balas Kahar coba bunuh bosan Clara.

"Kau sudah buat janji atau mengabari Prof?"

Kahar menggeleng lesu, "Belum."

"Bagus."

Kelas akan dimulai sepuluh menit lagi, dosen seperti lagi akan masuk. Clara mulai tidak sabar. Sedangkan, Kahar masih mau menunggu. Suara langkah kaki akhirnya terdengar dari ujung koridor.

"Itu Prof!" sahut Clara menoleh ke arah pria tua itu dengan gaya pakaian 80-an. Penantian mereka akhirnya terbayar. Kahar tampak sembringai menatap Profesor Setiawan.

"Kau sudah pulih?" tanya Profesor Setiawan menghentikan langkahnya di depan Kahar dan Clara.

"Sudah, Prof," balas Kahar singkat.

"Bagus, masuklah ke kelas atau ada yang kalian nantikan?" tanya sekali Profesor Setiawan menatap Kahar tepat di matanya.

Kahar tersenyum ramah. Dia bersiap menyusun kalimat permintaan paling sopan yang bisa dia karang.

"Prof, aku punya permintaan," kata Kahar dengan dipenuhi harapan.

"Bicara cepat." Tangan Profesor Setiawan telah memegang gagang pintu. Dengan sebisa yang Kahar mampu, dia berbicara cepat.

"Tolong teliti ini." Kahar menyodorkan kantong plastik transparan yang berisi sisiknya.

Tangan Profesor Setiawan batal memutar gagang pintu. Dia palingan pegangannya pada bungkusan itu.

"Sisik ikan? Kau kira gelar profesorku hanya untuk meneliti sisik ikan?" kata Profesor Setiawan dengan nada sopan.

"Itu bukan sisik ikan, Prof," balas Clara meyakinkan. "Itu sisik yang berasal dari tubuh Kahar," tuntas Clara.

Profesor Setiawan hanya tersenyum sinis mendengar penjelasan Clara. Tidak ada tanda-tanda bahwa Profesor Setiawan ingin meneliti sisik itu. "Saya sibuk maaf."

Kahar dan Clara tidak menyerah begitu saja. Mereka terus memohon kepada Profesor Setiawan, sambil menceritakan betapa frustrasinya Kahar dengan sisik tubuh yang menutupi tubuhnya sejak kecil, jika saja Profesor Setiawan mau meneliti, Kahar akan lega akhirnya.

Akhirnya, Profesor Setiawan luluh dengan keteguhan Kahar dan Clara. Dia akhirnya mengalah dan menyetujui permintaan Kahar dan Clara untuk meneliti sisik tubuh Kahar.

"Baiklah, saya akan membantumu meneliti sisik tubuhmu ini. Tapi kamu harus sabar menunggu, karena saya masih harus menyelesaikan beberapa tugas terlebih dahulu," kata Profesor Setiawan dengan nada lembut.

Kahar dan Clara sangat senang dengan keputusan Profesor Setiawan. Mereka berdua terus mengikuti Profesor Setiawan ke ruangan laboratorium, di mana Profesor Setiawan akan menyimpan subjek sisik Kahar. Setelah menyimpan sisik itu, Kahar dan Clara pamit masuk ke kelas.

"Penelitian ini tidaklah cepat seperti kata saya tadi. Tiga bulan, di akhir semester mungkin hasilnya bisa keluar, mengingat kesibukan saya," jelas Profesor Setiawan.

Kahar dan Clara tidak mempermasalahkan itu. Mereka menunduk dan mengucapkan banyak terima kasih. Profesor Setiawan mengangguk sekali dan kembali ke ruang jurusan.

"Kita sudah telat masuk kelas kan?" Kahar menoleh ke arah Clara.

"Lari!"

...****************...

Karena sakit kemarin, Kahar dan Clara tidak jadi melamar pekerjaan yang diberikan Zico. Sebagai gantinya, mereka bekerja di food court pada setiap malam Minggu. Upah yang didapat lumayan untuk ditabung, hitung-hitung bersiap untuk berpetualang nanti.

Dengan raut muka senyum palsu, Kahar melayani dengan ramah sambil terus memantau para tamu yang lain agar tidak terlalu lama menunggu karena mereka tahu bahwa ini adalah salah satu kunci keberhasilan stand makanan mereka.

Kahar dan Clara bekerja dengan cepat dan tepat. "Bang, bawa pesanan ini untuk meja dua, ASAP!" perintah Clara sambil memasak makanan. Pembagian tugasnya jelas, Kahar menerima pesanan dan mengantarkannya dan Clara memasak.

Malam itu, stand makanan Kahar dan Clara terus ramai dikunjungi oleh para pengunjung yang ingin menikmati makanan yang lezat dan pelayanan yang ramah. Kahar dan Clara bekerja keras untuk memenuhi semua pesanan yang datang, sambil terus bersikap ramah dan sopan kepada semua orang yang datang.

Pada malam yang sama, tiba-tiba datang seorang tamu yang Kahar kenal betul, Zico bersama pacar barunya, Isma. Zico baru saja mendapatkan hati Isma lewat puisi yang dibuat. Isma adalah mahasiswa Universitas Garuda Nusantara jurusan Ilmu Komunikasi. Kahar dan Clara tersenyum, namun senyum itu lebih ke arah menggoda Zico yang tampak gugup.

Zico dan Isma duduk lebih lama dari pengunjung lain, mereka sengaja menunggu sepih untuk menanti kedua temannya itu bisa duduk bersama di satu bangku.

Cukup malam larut pada kopi. Dan, akhirnya sisa Zico dan Isma. Inilah saat mereka berempat bisa berkumpul.

"Wah, selamat. Akhirnya tidak jomblo lagi," ledek Clara.

Isma tampak malu-malu. Zico sudah siap dengan kalimat serangan balik, "Jadi, kapan kalian nyusul?"

Kahar terdiam sejenak. Zico merasakan bahwa dia menang kali ini. Kahar tersenyum disusul senyum Clara. "Kami? Aku juga sebenarnya tidak tahu, dibilang pacaran juga tidak. Aku tidak pernah nembak Clara. Benar kan, Bang?" tanya Kahar ke Clara.

"Benar, Bang."

"Apa aku dengan Clara langsung menikah saja," kata Kahar menggoda Clara.

Mereka berempat langsung tertawa lepas. Memang, mau moment apa saja, memang pantas untuk dirayakan dengan kopi.

Pada akhir malam, setelah stand makanan mereka ditutup, Kahar dan Clara merasa sangat puas dengan pekerjaan mereka. Isma dan Zico pun sudah berpamitan pulang.

Mereka merasa bangga dengan stand makanan yang mereka jalankan, dan merasa senang bisa membuat tamu-tamu mereka merasa puas dengan pelayanan yang diberikan. Kahar dan Clara pun pulang dengan senyuman di wajah mereka, merasa sangat bahagia dengan pekerjaan yang mereka lakukan.

Di atas motor, Clara berkata, "Apa kau punya pikiran untuk belajar mengontrol kekuatanmu itu?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!