Laborasi: SESAMPAINYA

Bus merah dengan kecepatan di atas 100Km/Jam bahkan lebih melaju kencang di atas tol yang hubungkan pulau Sumatra. Pengalaman pertama bagi Kahar menjejakkan kaki di Andalas. Dengan kecepatan begitu, pantat Kahar serasa menangis karena hanya duduk diam di bus. Terlebih lagi, Kahar tidur brutal sepanjang jalan yang mengakibatkan matanya membengkak sore ini.

Butuh waktu tiga puluh enam ribu detik untuk Kahar sampai di terminal Alang-alang Lebar, Kota Palembang. Tempat yang benar-benar asing, seasing Jakarta enam bulan lalu.

“Sekarang apa?” kata Kahar seraya memandang langit sore Palembang.

Jika mengikuti rencana yang telah dia susun sebelumnya, dari terminal ini, dia akan mencari bus yang menuju Desa Bailangu, desa terakhir yang bisa dia pinjak tanahnya sebelum harus menyelusuri bantaran Sungai Musi untuk sampai di titik koordinat.

Kahar harus segera mencari tumpangan, sore sebentar lagi rampung. Dari terminal ini, dia beranjak keluar, sebuah gapura yang menandakan batas Kota Palembang dengan Kabupaten Musi Banyuasin adalah tempat bus kota dan travel bersemayam.

“Benar ini ‘kan?” Kosong. Sunyi, yang bising hanya suara knalpot dan asap truk di sepanjang lintas Sumatera. Kahar bingung, di Palembang dia tidak ada tempat bernaung.

Tempat yang masuk ke dalam rencana Kahar tak menunjukkan tanda ada kendaraan yang akan berangkat. Dengan menahan amarah yang entah datang dari mana, Kahar coba tenangkan diri. Tanpa adanya Clara di sini, sulit untuk lakukan itu.

“Tenang dulu Kahar, jika Clara ada di sini, apa yang akan dilakukan? Bayangkan saran dari Zico, apa saran dari dari Zico?” tanya Kahar pada diri sendiri.

Dari sudut kosong pikirannya, datang suara memanggil-manggil nama Kahar. Suara yang begitu familiar, suara yang terdengar lantang, namun juga bisa terdengar selembut tahu.

“Kahar!” Suara itu mengeras dan mendekat dari arah belakang. Kahar berbalik badan dan menemukan Clara memanggilnya dari dalam mobil hitam. Clara mengeluarkan kepala dan tersenyum puas.

Kahar lupa cara berekspresi, tidak ada mimik muka yang gambarkan apa yang ada di dalam hatinya. Rasa syukur yang dibumbui amarah dan juga rasa rindu terobati ketika mendengar dan melihat gadis itu untuk sekali lagi. Mobil mendekat dan berhenti di samping Kahar.

Clara keluar dengan berbaju hitam dan celana coklat. Clara tersenyum yang bisa mengatakan kepada Kahar: Jangan marah.

“Kau sialan.” Kahar memalingkan pandangannya dari Clara.

“Ayolah, Bang. Aku menempuh waktu sembilan jam di dalam mobil yang dipenuhi pengharum ruangan. Dan ini yang aku dapatkan.”

“Sudah aku bilang tetap di Jakarta ‘kan?”

Clara mengingat hari kemarin saat dia berdebat. Dan, hari Kahar pergi seorang diri. Clara adalah orang yang tidak bisa dihentikan, sama kerasnya dua kepala orang itu. Di hari yang sama itu juga, Clara memesan travel dan membohongi Isma dan Zico bahwa dia akan pulang kampung ke Padang.

“Aku ke sini untuk menolongmu, Bang. Itu yang terpenting.” Clara memegang pipi Kahar. Dengan perlahan, Clara memutar muka temannya itu.

“Aku tidak selemah yang kau kira, aku bisa menjaga diri, kau tidak perlu khawatir.”

“Aku tidak mau kehilangan dirimu,” balas Kahar yang sekali lagi membuang mukanya.

Clara belum menyerah, dia punya penawaran yang sangat bagus untuk memenangkan perdebatan kali ini.

“kau yakin bisa melanjutkan perjalanan?” tanya Clara mencoba mengalahkan ego Kahar. “Masih terbentang jarak berapa puluh kilometer, dan aku di sini memiliki kendaraan yang siap antar kita.”

Kahar tentu masih marah, namun dia menimbang-nimbang semua kemungkinan yang akan terjadi. Mulai dari yang terburuk sampai yang paling buruk. Sore yang perlahan mati ditelan cakrawala, seperti berbisik dan merayu kaki Kahar untuk masuk ke dalam mobil.

“Baiklah.” Kahar menarik mukanya ke arah Clara. Mengambil perlengkapan dan bersiap memasuki mobil.

“Tolong jangan marah denganku, Bang.”

Perjalanan dilanjutkan menuju Desa Bailangu. Sopir bilang perjalanan akan berlangsung selama tiga jam, namun sampai angka ke empat, perjalanan belum menunjukkan akhirnya. Mereka terjebak macet, perbaikan jalan di setiap ruas.

“Mengingatkanmu pada Jakarta?” tanya Clara yang coba membuka percakapan setelah saling diam selama empat jam.

“Saat melihatmu, bau Jakarta telah tercium.” Kahar menikmati jalan lintas yang dipenuhi truk-truk besar.

Malam benar-benar jatuh. Jalanan diterangi lampu-lampu berpijar. Walaupun, malam lumayan larut, jalan ini tetap ramai.

Perlahan, mobil menembus jalan yang gelap sampai akhirnya sebuah desa terlihat. “Kita sampai, Non.” Sopir memperlambat laju kendaraan.

“Di mana, Non, mau diturunkan?” lanjut sopir tua itu.

“Non?” tanya Kahar dengan berbisik.

“Nanti aku jelaskan.”

Mobil terus masuk ke desa yang gelap. Sungai Musi mampu terlihat di sisi kiri dan sebuah sekolah dasar bertengger di sisi kanan. Clara memeriksa telepon genggamnya, memastikan sebuah catatan yang dia punya.

“Belok kanan, Pak.” Clara menunjuk sebuah persimpangan. Gelap. Benar-benar gelap.

“Di sini?”

“Di sini.” Clara menatap Kahar dan memberikan isyarat untuk segera turun. Karena rasa lelah, Kahar menuruti saja mata gadis itu. Sebenarnya Kahar masih belum sadar dengan apa yang terjadi.

“Rumah ini menyeramkan.” Rumah tua itu terlihat menyeramkan dari luar. Namun, ternyata interior dalam rumah kayu itu sangat layak. Pintu masuknya terbuat dari kayu yang tebal dan terawat dengan baik, terlihat seperti baru saja di cat. Lantai rumah terbuat dari kayu yang terawat dengan baik, tidak ada cacat atau retakan di atasnya.

Dinding rumah terbuat dari kayu yang juga terawat dengan baik, tidak ada retakan atau cacat di dindingnya. Jendela-jendela di dalam rumah terbuat dari kaca yang jernih, sehingga cahaya matahari dapat masuk dengan baik ke dalam rumah.

Furnitur di dalam rumah terbuat dari kayu yang berkualitas tinggi, terlihat sangat elegan dan mewah. Sofa dan kursi-kursi yang ada di ruang tamu terbuat dari kulit asli yang terawat dengan baik, terlihat sangat nyaman untuk duduk. Nyaris sangat mewah untuk sebuah rumah di ujung desa.

Di dapur, terdapat peralatan masak yang terbuat dari bahan-bahan yang berkualitas tinggi dan terawat dengan baik. Meja makan di ruang makan terbuat dari kayu yang berkilauan dan terawat dengan baik, seolah-olah baru saja di poles. Walaupun tampak menyeramkan dari luar, ternyata interior dalam rumah tua ini sangat layak dan nyaman untuk ditinggali.

Mobil akhirnya pergi setelah si sopir berbincang sejenak dengan Clara. Kahar yang menunggu di dalam sudah terlalu lelah untuk peduli. Sekarang setelah perjalanan panjang yang tak henti, Kahar bisa merebahkan tubuhnya di lantai dengan nyaman.

Clara masuk, pintu kayu tebak itu dia tutup perlahan. Kahar yang tergeletak di lantai bangkit dari tidurnya. Clara awalnya mengabaikan Clara dan menuju dapur. Namun, Kahar memanggilnya.

“Kau menyimpan banyak rahasia, bukan?” tanya Kahar menghentikan langkah Clara.

“Akan kuceritakan nanti,” balas Clara.

“Aku punya waktu semalaman.” Clara menatap Kahar sejenak. “Aku lahir di keluarga Minangkabau yang berkecukupan. Bahkan cukup untuk membeli emas di Monas jika ayahku mau. Lahir sebagai anak yang di kelilingi harta, buatku tak bahagia. Kau tahulah, masalah perhatian.” Clara menghapus sejenak air matanya.

“Kau bisa berhenti jika kau rasa tidak enak.”

“Tidak apa. Aku memutuskan sejak SMP untuk hidup berpindah-pindah. Banyak tempat telah aku kunjungi. Yah, walaupun belum bisa mandiri sepenuhnya. Tapi aku sangat bahagia bertemu dirimu. Kerja kerasmu, semangatmu, misterimu. Buatku temukan arti hidup.”

"Jangan kau tinggalkan aku seperti yang selalu dilakukan orang tuaku. aku tidak lemah!" Kali ini tangis jatuh.

"Aku sudah memelukmu banyak sekali, mau aku peluk?" tanya Kahar.

"Tidak usah, aku tidak mau kita terkena masalah di sini."

Clara mengakhiri cerita sedihnya. Kahar sebenarnya akan tertidur di ruang tengah, namun tidurnya dihentikan Clara yang memberikan informasi tentang sebuah legenda setempat. ANTU BANYU.

"Kau tahu, aku sudah melakukan riset tentang Antu Banyu yang mendiami bantaran sungai Musi," ujar Clara sambil menyusul tidur di sebelah Kahar. Awalnya, Kahar tidak memperdulikan obrolan itu, rasa lelahnya tidak mengizinkan matanya bangun. Namun, Clara yang terus mengoceh membuat Kahar ikut tertarik.

"Apa saja yang kau ketahui?" tanya Kahar masih dengan mata tertutup.

Clara menceritakan bahwa Antu Banyu adalah monster atau roh jahat yang akan muncul di Sungai Musi pada sesuatu keadaan yang tidak terduga. Sosok itu dikatakan memiliki tubuh yang putih bersih seperti ikan dengan rambut panjang yang terurai. Antu banyu tersebut dikatakan memiliki kekuatan untuk menyeret orang yang lewat di depannya ke dasar sungai hingga akhirnya tenggelam hingga tewas.

Kahar yang awalnya tidak percaya akan legenda tersebut mulai merasa terintimidasi. "Wah, terdengar sangat menyeramkan," ujar Kahar sambil menggigil. "Tapi aku yakin itu hanya mitos belaka yang diciptakan warga untuk menakut-nakuti orang. Lagi pula, kekuatanku cukup menghancurkan semua makhluk jahat yang mengancam."

Clara tersenyum kecut. "Mungkin saja, tapi kita tidak tahu pasti. Yang jelas, kita harus berhati-hati saat berada di sungai Musi besok."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!