Laborasi: TERLAMBAT

“Kahar,” sapa Clara membuka pembicaraan setelah melihat video itu. Kahar tidak berekspresi apa pun.

Lima menit dua orang tersebut dikutuk sunyi. Tidak ada yang berbicara setelah Clara menyapa. Kahar seperti baru saja disambar petir di siang hari. Sekali lagi Clara coba berbicara, saat mulutnya sudah terbuka, dia dikejutkan dengan suara langkah kaki yang begitu kencang.

“Jangan bergerak.” Kahar maju melindungi Clara. Entah ada apa yang akan menghampiri mereka, tapi sepertinya Kahar telah tahu makhluk yang akan datang. Clara hanya bisa menurut dan berlindung di balik punggung Kahar. Bedilnya yang tersisa beberapa peluru yang bisa dihitung dengan jari tetap Clara pegang dengan erat.

“Ada apa?” tanya Clara. Kahar diam, dia menoleh ke belakang ke arah Clara dan memberikan isyarat untuk tenang. Mata Kahar seolah berbicara: Ada bahaya, jangan menjauh.

Suara langkah kaki itu terus mendekat dari atas, semakin dekat maka semakin dibuatnya bergetar tanah tempat Kahar dan Clara menginjak. Ini dia! Suara langkah kaki diikuti sebuah erangan yang menghancurkan telinga memecahkan jalan masuk bungker. Pintu besi terjatuh dengan cepat disusul sebuah makhluk tinggi besar yang melompat melawan kegelapan. Amis, lebih amis dari kumpulan Antu Banyu yang Kahar dan Clara lawan.

Clara dari belakang tubuh Kahar bersiap dalam posisi tembak, matanya membidik tepat di kepala makhluk itu. Perlahan-lahan dia berjalan menembus gelap, kepalanya muncul – tanpa sehelai rambut dan matanya putih bersih. Tatapan matanya seakan menggambarkan semua peristiwa keji yang pernah dia lalui.

Kahar menatap tajam mata makhluk aneh itu yang kemudian Clara idenfikasi sebagai Antu Banyu kelas satu yang terlihat lebih kuat dari keroco yang mereka lawan sebelumnya. Jari Clara sudah siap dalam posisi ring on, tinggal menunggu masa yang tepat untuk menghujaninya dengan sisa peluru.

“Jangan lakukan.” Kahar dari depan memegang senjata Clara lalu menundukkannya seakan yang ada di hadapan mereka bukan sebuah ancaman.

Tanpa masuk ke dalam mode tempur, Kahar berjalan dengan yakin. Mendekati Antu Banyu yang benar-benar marah akan perbuatannya. Mata Antu Banyu tidak bisa lepas dari mata Kahar. Dua pasang mata itu saling tatap – seolah berebut untuk saling mendominasi. Jarak Kahar dengan Antu Banyu hanya sejengkal sedangkan Clara tampak cemas, bingung, dan takut dengan apa yang dilakukan Kahar.

Kahar menjulurkan tangannya yang disambut rasa kaget Clara dan Antu Banyu sama sekali tidak menyerang. Kahar mengelus tangan Antu Banyu yang tiga kali lebih besar dari tangannya, Kahar tidak peduli dengan lendir yang tutupi setiap sisi Antu Banyu. Kini Kahar dan hantu banyu sangat dekat, hanya berjarak selembar daun. Antu Banyu menunduk untuk melihat dan mengendus Kahar, dia mencium aroma badan Kahar seperti seekor anjing.

“Dunia jahat padamu, ya?” tanya Kahar pada Antu Banyu. Tentu saja Antu Banyu tidak menjawab dengan bahasa yang bisa dia mengerti. Hanya erangan seperti dinosaurus yang keluar dari mulut Antu Banyu.

“Aku mengerti sedihmu, maafkan aku karena membunuh anak-anakmu. Maaf telah mengusik rumahmu. Kami akan pergi, dan dendam yang selama ini tertinggal, akan aku balaskan.” Kahar berjalan mundur dengan perlahan. Antu Banyu seolah mengerti apa yang Kahar bicarakan. Dia berjalan ke belakang dan kembali ke permukaan meninggalkan Kahar dan Clara.

“Kita sudah melakukan kesalahan, makhluk itu hanya berusaha melindungi rumahnya. Hanya gua ini yang bisa dia jadikan sarang. Mari segera pergi, aku akan membawa kamera itu dan semua dokumen berharga,” ujar Kahar sambil menatap ke arah Clara. Tatapan ini berbeda, bukan seperti Kahar. Tatapan yang dingin, sedingin laut.

“Kebenaran yang menyakitkan.” Clara tidak tahu lagi harus mengatakan apa. Ini sungguh yang ingin dicari Kahar. Namun, kebenaran ini menuntun ke musuh baru yang mereka anggap sekutu.

“Aku akan bumihanguskan tempat ini, kau keluar terlebih dahulu. Aku membawa cukup bahan peledak.” Kahar mempersiapkan sebuah bom untuk mengakhiri penelitian yang harusnya tak pernah dilakukan. Clara kembali lagi hanya mengiyakan permintaan Kahar. Dia lebih dahulu memanjat tangga. Setelah sepuluh langkah berjalan di luar bungker, Kahar tampak keluar juga dari lubang neraka itu. Dalam hitungan dua puluh tempat itu akan hancur.

“Sembilan belas, dua puluh,” hitung Kahar yang diikuti ledakan yang terdengar keras. Ledakan itu menghancurkan pintu masuk dan menguburnya bersama kenangan yang harus mati.

Perjalanan ke luar gua lebih cepat, sepuluh kali lagi lebih cepat malah. Tanpa adanya gangguan dari Antu Banyu dan gua yang telah berhasil Kahar petakan membuat langkah mereka berdua begitu yakin. Selama perjalanan keluar ini juga, Kahar tidak berkata apa-apa selain petunjuk jalan keluar.

Sampai di ambang gerbang masuk gua, Kahar baru berbicara, “Aku tidak peduli dengan hal sebenarnya. Aku tetap mencintai ibuku.”

“Sudah seharusnya begitu, ‘kan.”

“Mari kembali ke peradaban, aku merasakan ada hal buruk sedang terjadi.”

Firasat Kahar benar adanya, saat perahu datang tidak lama saat mereka mencapai titik penjemputan pulang. Mereka pulang menyelusuri sungai Musi, dan sinyal internet kembali dengan kabar buruk dari Jakarta.

Dua ratus pesan tak terbaca dari Zico, ratusan panggilan tak terjawab dari ibu Kahar, dan sebuah pesan perpisahan dari paman Samsul. Kahar dan Clara baru satu hari kurang mengisolasi diri di dalam gua dan seakan kiamat terjadi.

“Jakarta kacau balau, monster ikan datang menyerang. Kau jangan pulang dulu, sekarang aku telah dievakuasi ke tempat aman. Daerah yang paling terpapar serangan monster adalah Jakarta Timur – sekitaran kampus kita. Aku dengan berat hati mengatakan bahwa aku belum mendengarkan kabar dari paman Samsul.”

Pesan itu yang terakhir Kahar terima dari Zico.

Clara juga mendapatkan kabar serupa di telepon genggamnya. Mukanya pucat basi. Serangan monster telah melumpuhkan Ibu Kota.

“Militer pasti sedang bertindak.” Clara menutup teleponnya, tidak ingin dia mendengar kabar buruk lagi. Namun, Pak Taufik Si Pengemudi perahu tidak dapat membaca pikiran Clara.

“Jakarta benar-benar kacau, saya baru menonton beritanya siang tadi. Kalian sebaiknya tidak kembali dulu ke sana,” kata Pak Taufik.

“Aku akan pulang bagaimana saja caranya.”

......................

Malam itu terasa canggung bagi Kahar dan Clara saat mereka duduk di teras rumah perdesaan milik Clara yang terletak di tepi hutan. Udara dingin membelai wajah mereka saat mereka menatap ke langit yang gelap. Lampu-lampu yang terpasang di teras hanya mampu memberikan sedikit cahaya yang membantu mereka melihat sekeliling.

Suasana yang terasa sepi dan sunyi membuat mereka merasa tidak nyaman. Kahar dan Clara sampai ke persinggahan rumah milik Clara saat malam menjelang. Telepon genggam Kahar sekali lagi bergetar. Nama penelepon adalah ‘Ibu’. Sudah jelas ibu sangat mengkhawatirkannya.

“Halo, Nak,” kata ibu di seberang telepon.

“Ibu.” Kahar membalas singkat.

“Kamu masih di SumSel?”

“Iya, aku sudah selesai dengan urusan di sini. Aku akan kembali ke Jakarta.”

“Kau tidak melihat berita, Nak?” nada ibu gemetar, Kahar tidak bisa membayangkan bagaimana muka ibunya sekarang.

“Maaf aku telah berbohong tentang tugas kuliah. aaku sudah tahu semua, Buk. Tentang ayah, tentang bagaimana cara dia meninggalkan dunia ini, jujur saja. Aku masih terguncang dengan semua hal yang aku dapati. Namun, aku bersyukur menjadi anakmu, aku selalu menjadi anakmu.”

“Jangan kau tutup dulu, ibu tidak mau kehilangan orang yang ibu sayangi lagi di telepon.” Ibu menangis, nada suaranya terisak-isak. Ini kali pertamanya Kahar membuatnya menangis.

“Maaf sudah berbohong tentang latar belakangmu. Ibu cuman mau mengikuti permintaan terakhir ayahmu sebelum dia hilang,” ucap ibu tetap diiringi tangis.

“Kahar mengerti, ini terlalu panjang untuk dijelaskan. Kahar akan pulang ke Sulawesi jika memungkinkan segera.” Kahar mengucapkan kalimat perpisahan dan langsung menutup teleponnya.

Sekarang keadaan genting. Semua penerbangan menuju Jakarta dibatalkan. Operasi besar-besaran sedang dilakukan militer. Kahar tahu, ini semua ulah penelitian Profesor Setiawan. Dan, paman Samsul sampai sekarang tidak memberikan kabar dan tidak bisa dihubungi. Kahar harus segera kembali ke Jakarta.

“Tenanglah, aku akan menyewa pesawat pribadi untuk menerobos penjagaan,” desis Clara sambil menutup mukanya untuk menyembunyikan ketakutan.

“Kau gila? Tidak ada jurusan yang melayani ke Jakarta, walaupun itu pribadi. Kita tidak akan mendapatkan izin,” debat Kahar.

“Bagaimana dengan pesawat logistik?” tanya Clara mempertahankan ide tentang pesawat.

“Kemungkinan ada, tapi aku tidak tahu kalau bisa menumpang di sana.” Kahar terus mendebat.

Dengan cepat Clara mengirimkan sebuah pesan kepada seorang. Ini barangkali adalah tiket pulang mereka ke Jakarta. Itu adalah pesan yang Clara kirim ke seorang kenalannya yang bekerja di lapangan terbang milik tentara nasional yang berjarak lima puluh kilometer dari tempat mereka sekarang.

"Dengar, aku tahu kau merasa bersalah karena harus menyusup ke Jakarta dengan cara seperti ini. Tapi kau tahu betul bahwa cara lain tidak akan berhasil. Sejak Jakarta disegel, tidak ada cara lain untuk masuk ke sana kecuali dengan pesawat logistik tentara. Dan kau tahu betul juga bahwa tentara tidak akan membiarkanmu naik pesawat itu tanpa alasan yang cukup kuat. Oleh karena itu, aku memberikan saran kepadamu: aku akan menyuap salah satu tentara yang menjaga pesawat itu. Aku tahu ini tidak etis, dan aku tahu kau tidak suka melakukan hal-hal seperti ini. Tapi pikirkanlah, apa gunanya semua itu jika kau tidak bisa menyelamatkan orang-orang yang kau cintai di Jakarta? Aku telah menghubungi salah satu kenalan ayahku. Pasti dia akan mau membantu kita dengan sedikit uang tentunya, dan jangan lupa, jangan memberitahu siapa pun tentang ini. Biarkan ini menjadi rahasia antara kita berdua saja."

Mobil makin cepat melaju, Clara dan Kahar tahu mereka tidak memiliki cukup waktu lagi. Jakarta Timur benar-benar telah menjadi medan perang antara tentara melawan monster yang diberitakan berwujud seperti ikan. Kabar ini juga sampai di dunia internasional, negara-negara adidaya mililiter telah mengirimkan alustista darat, laut, dan udara untuk membantu menghabisi para monster.

Dalam waktu sehari, sebuah kota padat penduduk telah luluh lantah.

Mereka sampai di pintu gerbang lapangan terbang saat siang belum tinggi, mereka tiba di sana saat keadaan sedang ramai-ramainya.

Seorang petugas dengan senjata Laras panjang menghentikan mobil Clara dan bertanya, “Selamat siang, apa tujuan kalian?”

“Kami ingin mengunjungi seorang teman yang bekerja di sini,” balas Clara dengan nada yakin. Sopir dan Kahar diam, takut ketahuan dengan maksud tujuan sebenarnya Clara.

“Nama teman kalian siapa? Saya perlu memeriksa daftar pegawai yang ada di sini,” Raut curiga mulai terasa di muka petugas itu.

“Nama teman kami adalah John. Ia bekerja di bagian logistik.”

“Tunggu sebentar, saya akan cek terlebih dahulu.” Petugas memeriksa daftar pegawai dan terlihat bingung “Maaf, nama John tidak ada dalam daftar pegawai kami.”

“Ah, mungkin John sudah pindah ke bagian lain. Ia sering dipindah-pindah sesuai kebutuhan,” kilah Clara masih dengan keyakinan.

Masih dengan kecurigaan yang sama, petugas berkata, “Baiklah, tapi kalian harus menunggu sementara di sini sambil saya verifikasi terlebih dahulu.”

Clara balas dengan senyum lebar. “Tentu saja, kami tidak keberatan.” Clara terlihat berusaha membujuk petugas dengan ucapan manis dan senyuman lembut.

“Kami tidak bermaksud mengganggu ataupun merusak apa pun di sini. Kami hanya ingin bertemu dengan teman kami dan pulang kembali secepatnya.” Berkat kecantikan Clara, petugas terpengaruh oleh Clara.

“Baiklah, kalian boleh masuk. Tapi jangan lupa untuk segera keluar setelah bertemu dengan teman kalian.”

“Tentu saja, terima kasih banyak atas pengertiannya,” kata Clara yang segera turun dari mobil disusul oleh Kahar. Sopir perlahan memutar mobil menjauh dan menghilang ditelan siang.

Setelah lolos dari pemeriksaan, mereka langsung menuju ke kantor pegawai yang mereka tuju. Saat sampai di sana, Kahar dan Clara terkejut melihat bahwa pegawai tersebut sedang ditanya oleh seorang perwira tinggi militer. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi Clara berusaha tetap tenang dan memutuskan untuk menunggu di luar sambil mengagumi pesawat-pesawat yang terparkir di sana.

Tak lama kemudian, pegawai tersebut keluar dari kantor dan menyapanya. Ia menjelaskan bahwa ia akan membantu. “Maaf, kalian harus menunggu lama. Apa yang bisa saya bantu?” tanya petugas – John.

“Seperti kataku di telepon tadi. Kami membutuhkan bantuan mu untuk menyusup ke pesawat logistik yang menuju Jakarta. Kami tahu bahwa ini bukan hal yang mudah, tapi kami yakin bahwa kau bisa membantu kami,” jelas Clara dengan jelas.

John memegang kepalanya lalu menggaruk-garuk walau tidak terasa gatal. “Clara, aku tidak tahu. Itu sebuah perbuatan yang sangat berisiko dan bisa membuat kita semua di penjara.”

“Kau dengar itu, lebih baik kita batalkan,” kata Kahar meraih tangan Clara.

“Kita sudah sejauh ini.” Clara memegang tangan Kahar dengan erat lalu berkata lagi sambil mengeluarkan segepok uang berwarna merah, “Ini pasti akan sangat membantu,” ucap Clara pada John. Siapa yang tidak tergiur dengan tumpukan uang itu? John akhirnya menyanggupi permintaan Clara bersama senyum lebar. Dengan pakaian palang merah, Kahar dan Clara menumpang sebagai tenaga medis gadungan.

......................

Kahar dan Clara duduk di pesawat logistik militer, menatap keluar jendela dengan wajah cemas. Mereka tahu bahwa tidak boleh terdeteksi oleh pihak militer saat terbang menuju Jakarta, yang sedang disegel karena serangan monster yang mengerikan.

"Kita harus berhati-hati," bisik Kahar pada Clara. "Jangan sampai ada yang mengetahui kita berada di sini."

Clara mengangguk setuju. "Aku juga cemas. Tapi kita tidak punya pilihan lain

Aku akan mencari Isma dan Zico tempat pengungsian supaya bisa langsung menyamar sebagai pengungsi biasa. Kau carilah paman Samsul di kosan dan hati-hatilah," jawabnya.

Tiba-tiba, pesawat tersebut memasuki awan dan mengalami guncangan yang cukup keras. Kahar dan Clara terkejut dan merasa takut. "Apa yang terjadi?" tanya Clara dengan nada panik.

"Tidak tahu, tapi terasa seperti guncangan. Mungkin kita melewati awan yang mendung," jawab Kahar sambil mencoba menenangkan Clara.

"Tapi guncangan itu terlalu keras. Aku takut kita jatuh," ujar Clara dengan suara gemetar.

"Tenang saja, kita akan selamat. Pesawat ini pasti sudah dilengkapi dengan sistem keamanan yang baik," jawab Kahar sambil menatap Clara dengan tatapan penuh semangat.

Clara mengangguk dan mencoba untuk tenang. Namun, tidak lama kemudian, guncangan itu kembali terjadi dan semakin keras. Kahar dan Clara merasa takut dan cemas.

"Apa yang terjadi sekarang?" tanya Clara sekali lagi dengan nada panik yang semakin meningkat.

"Tidak tahu, tapi tenang saja. Pesawat ini pasti akan selamat," jawab Kahar sambil terus mencoba menenangkan Clara.

Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, guncangan itu akhirnya mereda dan pesawat kembali terbang dengan lancar. Kahar dan Clara merasa lega dan bersyukur karena masih selamat.

Setelah melewati penerbangan yang tidak mengenakkan, mereka akhirnya tiba di bandara Halim Perdanakusuma. Bandara sedang ramai dengan kehadiran tentara yang berjumlah banyak. Mereka terlihat sibuk dengan tugas-tugas yang harus mereka kerjakan, mulai dari memeriksa peralatan militer hingga bersiap-siap untuk berangkat ke medan pertempuran.

Peralatan militer juga terlihat banyak tersedia di sekitar bandara, mulai dari senjata api hingga pesawat tempur yang siap untuk terbang ke udara. Suasana bandara terasa tegang dan penuh dengan ketegangan akibat serangan monster laut yang telah menyebabkan kerusakan besar di Jakarta.

Di sekitar bandara, terlihat juga beberapa orang yang terluka dan sedang dilarikan ke rumah sakit dengan menggunakan ambulans. Mereka terlihat kelelahan dan terluka parah akibat terjadinya pertempuran dengan monster laut. Tentara dan peralatan militer terlihat siap untuk melakukan segala sesuatu yang diperlukan untuk menangani situasi yang mengancam keamanan negara.

Dengan seragam tenaga medis, tidak ada yang mencurigai Kahar dan Clara. Mereka berjalan berdampingan perlahan-lahan supaya tidak mencolok perhatian.

Akhirnya, setelah menembus tentara-tentara yang gagah, mereka berhasil keluar dari bandara. Suasana di luar bandara juga sebetulnya lebih menegangkan, dengan suara pesawat tempur yang terus mengudara.

“Aku meninggalkan semua senjataku di Palembang. Kali ini aku tidak bisa membantumu, aku akan pergi ke pengungsian mencari Isma dan Zico. Kau pergilah ke sekitar kampus, di sana militer sedang melakukan baku tembak. Bersiaplah dengan segala kemungkinan, kau juga harus tahu kalau militer kemungkinan besar akan menembak dirimu. Jangan tunjukkan dirimu walaupun sedang berada dalam mode Laborasi,” jelas Clara tentang misi mereka.

“Aku mengerti, jaga dirimu.” Mereka akhirnya berpisah. Kahar menuju Timur dan Clara berjalan mencari tempat pengungsian.

“Aku harap, aku tidak terlambat.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!