Sudah satu minggu sejak Kahar mulai mencoba memecahkan puisi misterius peninggalan ayahnya dibantu Clara. Puisi itu selalu membuat mereka penasaran, karena mereka yakin bahwa puisi tersebut menyimpan sebuah rahasia yang ingin disampaikan kepada Kahar. Kahar terus membaca dan memikirkan puisi tersebut, namun ia tidak dapat menemukan jawabannya. Ia merasa frustrasi, karena ia tahu bahwa puisi itu adalah petunjuk hilangnya ayah.
Kahar awalnya ingin menanyakan puisi dan kalung kepada paman Samsul, tetapi sejak pertama kali bertemu paman Samsul, paman Samsul telah berpesan untuk tidak memikirkan ayah Kahar.
Kahar tidak ingin mengecewakan ayahnya dengan tidak dapat memecahkan misteri puisi tersebut. Ia terus berusaha, namun ia merasa semakin putus asa setiap harinya. Ia tidak tahu harus berbuat apa lagi, sampai akhirnya ia memutuskan untuk meminta bantuan tetangganya, Zico.
“Tidak usah,” kata Clara saat Kahar memberikan ide meminta tolong pada Zico. Namun, Kahar yakin kalau Zico mampu dan bisa menjaga rahasia.
“Baiklah, tapi tolong jangan beri tahu tentang ayahmu. Bilang saja kau diminta dosen memecahkan puisi ini. Mengerti, Bang?” permintaan Clara.
Zico yang sedang berada di kos-nya senang hati menerima permintaan Kahar, dan segera mulai membaca puisi tersebut. Ia mengamati setiap kata dan baris dalam puisi itu, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh ayah Kahar. Setelah beberapa saat, Zico tampaknya menemukan sesuatu.
"Aha!" seru Zico. "Aku sepertinya tahu apa maksud dari puisi ini!"
Kahar segera mendekat dan bertanya dengan penuh keinginan tahu. "Apa yang kamu temukan, Zico?"
"Puisi ini bergaya mantra dengan pengulangan kata. Aku merasa kalau ‘laborasi’ yang tertulis di puisi ini merujuk kepada seorang. Aku tidak yakin siapa itu Laborasi, aku tidak dapat menemukan artinya di KBBI. Ini kemungkinan adalah bukan hanya puisi bergaya mantra, melainkan sebuah benar-benar mantra," jawab Zico.
Kahar terkejut dan masih kurang paham dengan maksud puisi peninggalan ayahnya. Zico juga tampaknya telah menyerah mengartikan lebih lanjut. Pemabuk puisi itu tidak sanggup lagi menambah satu gelas puisi. Kahar sekali lagi membaca puisi itu. Matanya tertuju pada kata ‘laborasi’.
“Kau masih mau di sini?” tanya Zico. “Aku harus pergi kuliah, aku ada kelas 30 menit lagi.”
Kahar berterima kasih kepada Zico. Dia melangkahkan kaki pulang. Kosan paman Samsul sangat sunyi. Hari ini tidak ada kelas dan paman Samsul telah pergi dari pagi.
“Berhasil?” tanya Clara dari aplikasi pesan singkat.
“Tidak juga,” jawab Kahar yang masih memperhatikan diri pada Puisi.
“Kurasa kita membuat kesalahan. Kita terlalu berfokus pada puisi itu. Bagaimana dengan kalung dan foto itu?” tanya Clara.
Kahar kaget saat baru saja menyadari kecerobohannya, kalung emas itu tidak pernah dia sentuh sejak berada di tas. Dia akhirnya menyadari sesuatu yang terlewat.
“Clara, bisa jemput aku? Kita harus pergi ke perpustakaan.”
...****************...
Kahar dan Clara berada telah berada di perpustakaan kota dengan penuh harap. Mereka ingin mencari informasi yang sekiranya mampu membantu.
“Kenapa kau kira perpustakaan ini menyimpan informasi yang kau butuhkan?” tanya Clara sambil membelai sebuah buku.
“Aku tidak yakin, tapi ini pantas untuk dicoba.”
Mereka berjalan menyusuri lorong-lorong perpustakaan, mengamati setiap buku yang ada di rak-rak besar. Clara mengambil beberapa buku yang menurutnya mungkin berkaitan dengan apa yang mereka cari. Dua jam mereka berada di perpustakaan, tak ada satu pun buku yang membahas kalung kuno milik Kahar. Clara mulai putus asa, dia lelah dan ingin pulang saja. Clara berpikir jika benar kalung itu ajaib atau apa pun itu, pasti informasi tentangnya disembunyikan rapat-rapat dan tidak akan mudah ditemukan. Rasa bosan yang siram Clara tiba-tiba mengering saat dia tanpa sengaja membaca sebuah judul buku.
“Tunggu dulu?” seru Clara.
“Ada apa?” Kahar menghentikan langkahnya.
“Kau dari Pelayar, Sulawesi bukan?”
“Iya”
“Aku rasa ini yang kita cari,” kata Clara saat ia menemukan sebuah buku yang berjudul “Tradisi Labo-labo Bajo” karya Dr. Ruddin, Kahar segera mendekatinya dan mereka mulai membaca buku tersebut bersama-sama.
“Kau benar, aku berasal dari dari suku Bajo.”
Setelah membaca beberapa halaman, mereka menemukan sebuah informasi tentang sebuah kalung keramat yang mirip dengan yang dimiliki ayah Kahar. Menurut buku itu, kalung tersebut dibuat dari emas murni dan berisi sebuah batu permata yang dipercaya memiliki kekuatan khusus. Kalung itu dipersembahkan ke penguasa laut Sulawesi oleh suku Bajo supaya perjalanan mereka direstui.
Kahar dan Clara terpana dengan apa yang mereka baca. Kahar merasa semakin tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang kalung keramat tersebut.
“Aku rasa ini hanya dongeng,” ucap Clara. Dia duduk dengan malasnya. Untuk seorang yang tidak percaya hantu, tradisi seperti ini tidak akan dia percayai.
“Tidak, aku yakin ini lebih dari itu,” kilah Kahar membela diri.
"Baiklah, tapi apa arti dari kata ‘laborasi’ yang terdapat di puisi ayahmu?" tanya Clara. Kahar menggeleng. "Aku juga tidak tahu. Aku berharap bisa menemukannya di sini."
“Ini!” jari Clara menunjuk ke sebuah halaman yang dirobek setengah. Clara benar-benar cepat menemukan sesuatu, walaupun dia berlagak tidak peduli.
Mata Kahar langsung menuju ujung jari Clara. Di ujung jari Clara tertulis “Dan, saat laut mengamuk, juru hancur Laborasi datang...,” halamannya tidak utuh. Informasi yang tidak lengkap buat Kahar kecewa.
“Sial,” kutuk Kahar. Kahar menggebrak meja, sontak orang-orang memandang Kahar dan memberikan isyarat diam.
Clara menenangkan Kahar dengan memegang tangannya. Clara mencoba menenangkan Kahar dengan berkata, "Tenanglah, Kahar. Mungkin saja puisi itu tidak begitu penting. Kita bisa mencari informasi di tempat lain."
Kahar masih terlihat kesal dan berkata, "Tapi ayahku yang menulis puisi itu, Clara. Aku ingin tahu apa yang dia tulis sebelum dia hilang."
Clara mengerti perasaan Kahar dan berkata, "Kalau begitu, mari kita pulang ke tempatmu dan melihat foto ayahmu. Itu petunjuk terakhir kita. Mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang berguna. Aku juga akan mencuri buku ini, dan kau jangan protes." Kahar mengangguk dan bergegas pulang bersama Clara. Mereka berharap dapat menemukan jawaban atas pertanyaan mereka.
Di atas motor, Kahar terus saja memikirkan kata ‘juru hancur’ itu. Pikiran menjadi tidak tenang. Tidak bisa Kahar memikirkan sesuatu yang baik. Semakin dia menemukan sesuatu hal, hal lain akan menjadi misteri.
Clara yang mengendarai motor merasakan ada yang aneh dengan Kahar. “Kalau sampai kita benar-benar kehilangan petunjuk. Kuantar saja kau ke tempat Dr. Ruddin,” kata Clara di persimpangan lampu merah.
Matahari bersinar cukup terik siang ini, jalan Jakarta seperti biasa, macet. Kahar menjadi sedikit lebih tenang lalu berujar, “Kau tahu rumah beliau?” tanya Kahar.
“Tidak,” balas Clara dibarangi tarikan gas motor.
...****************...
Kahar dan Clara sampai di kosan Kahar dengan harapan dapat menemukan jawaban atas pertanyaan mereka tentang puisi dan kalung peninggalan ayah Kahar. Mereka telah memiliki petunjuk sebuah buku yang tersobek dari perpustakaan. Kahar segera mengambil foto ayahnya yang dia sembunyikan di dalam buku catatannya.
Kahar dan Clara berusaha keras untuk menemukan petunjuk di foto ayah Kahar yang bisa membantu mereka mengungkap misteri hilangnya ayah Kahar. Sayangnya, mereka hanya menemukan foto ayah Kahar menggunakan kemeja hitam dengan kerusakan di wajah yang sedang berdiri di samping pria yang hanya masuk setengah dalam foto. Waktu terus berjalan, mereka merasa frustrasi karena tidak menemukan apa pun yang berguna.
"Ini tidak adil," kata Kahar dengan kesal. "Kita sudah berusaha keras, tapi tidak menemukan apa pun yang bisa membantu kita."
Clara mencoba menenangkan Kahar dengan berkata, "Tenanglah, Kahar. Jangan menyerah dulu. Mungkin saja kita harus melihat foto ini dari sudut pandang yang berbeda."
Kahar menghela nafas dan kembali menatap foto ayahnya dengan seksama. Tak lama kemudian, ia tidak sengaja membelah foto itu menjadi dua bagian. “Astaga!” teriak Kahar. Clara memperhatikan foto yang terbelah dua itu dia menyadari ada sesuatu. Dan benar saja, di belakang foto itu, mereka menemukan sebuah titik koordinat: -3,4539332, 103,2249098.
"Apa ini?" tanya Kahar dengan terkejut. "Bagaimana bisa ada titik koordinat di sini?"
Clara juga terkejut dengan penemuan mereka dan berkata, "Ini mustahil. Tapi tampaknya ini adalah jawaban yang kita cari. Mari kita coba mencari tahu apa maksud dari titik koordinat ini."
Kahar dan Clara segera mulai mencari tahu apa maksud dari titik koordinat yang mereka temukan di belakang foto ayah Kahar. Mereka berharap dapat menemukan jawaban yang mereka cari. Clara setuju dan bersama-sama mereka mulai mencari tahu apa maksud dari titik koordinat yang mereka temukan. Mereka berharap dapat menemukan jawaban yang mereka cari.
Saat mencari tahu ke mana koordinat itu menuju, Clara terkejut ternyata koordinat itu menunjukkan sungai Musi di Sumatera Selatan. Kahar tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya. Semua petunjuk yang mereka temukan masih belum memberikan kejelasan apa pun. Kalau bisa, Kahar ingin sekarang juga berangkat ke Sumatera Selatan.
“Jangan terlalu berambisi, ingat tujuanmu ke sini untuk apa, yang paling penting, ingat ibumu,” kata Clara meredam keinginan Kahar.
“Bisa juga dan ingin sangat mungkin, itu hanya urutan angka tidak jelas.”
Kahar menghela nafas dan mengerti. Ia tahu bahwa Clara benar, tapi ia juga sangat ingin sekali pergi ke sungai Musi untuk menemukan apa yang tersembunyi di balik titik koordinat tersebut.
"Baiklah," kata Kahar, "Aku akan menyelesaikan semester ini dulu, tapi setelah itu, aku harus pergi ke sungai Musi."
“Aku juga akan membaca buku yang kita curi dari perpustakaan kota. Dan tolong, Libatkan aku,” ungkap Clara dengan muka yang merona.
Kahar setuju, mukanya memerah. “Apa-apaan mukamu itu?” sindir Clara.
“Kau duluan!” balas Kahar. Serangan balik yang buat Clara tak bisa berkata-kata lagi. Mereka berdua kini tertawa lepas.
Setelah menemukan koordinat tersebut yang mungkin bisa jadi keberadaan ayah Kahar. Segera Kahar kembalikan foto itu di mana dia menyembunyikannya.
“Ada satu hal yang lagi yang ingin aku tunjukkan padamu. Aku yakin kau sekarang bisa aku percaya,” kata Kahar setelah selesai membereskan foto ayahnya.
“Apa itu, Bang?”
Kahar membuka bajunya. Dia memperlihatkan perut yang dipenuhi otot. Clara sontak tak percaya dengan apa yang dia lihat. Mata Clara terbuka lebar. Detak jantung makin kuat saat Kahar mendekatinya dengan bertelanjang dada.
“Apa kau ya-kin?” Clara bertanya dengan terbata-bata.
Kahar menatap Clara dengan penuh keyakinan. Selangkah lagi dia mendekat dengan Clara. Saat tangan Clara hendak memegang dada bidang Kahar. Kahar langsung berbalik badan. Clara benar-benar kaget, dia terkejut sekaligus takut melihat sisik ikan milik Kahar.
“Aku dulu dikenal sebagai anak ikan,” kata Kahar menjelaskan masa lalunya yang suram.
Wajah Kahar ditutupnya dengan tangan. Dia sedikit malu menunjukkan kekurangannya pada Clara. Ia selalu merasa rendah diri karena sisik tersebut, tapi Clara tidak terlihat mempermasalahkannya.
"Sisikmu itu indah, Kahar," kata Clara, "jangan pernah merasa rendah diri karena itu. Itu adalah bagian dari dirimu dan membuatmu unik."
Kahar terkejut dan terharu mendengar kata-kata Clara. Ia merasa seolah-olah beban yang selama ini menekan hatinya terangkat. Clara meraih tangannya dan memandangnya dengan tulus.
Baru kali ini ada yang menerima keberadaan Kahar dengan sisik selain keluarganya. Kahar balik memandang Clara dan membalas memegang tangan Clara. Dua orang itu semakin mendekat, bibir mereka hampir bertemu dalam ikatan cinta, sampai
“Paman pulang,” salam paman dari luar langsung membuka pintu dan mendapati Kahar dan Clara berduaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Sri Juliani
ach..cepat kali ke masalah cinta,belum apa dah mau cinta2 an...
2023-01-08
1