Laborasi: CINDAKU

“Kenapa Kapten Charlie turun? Itu bisa jadi musuh!” tanya panik Letnan Hartono kepada seorang tentara lain di dalam truk.

“Fokus saja pada perintahnya, Benggala. Kita akan selesaikan tugas lalu menghilang,” jawab seorang di sebelah kanan Hartono dengan kode nama Corbetti.

“Benggala? Aku belum terbiasa dengan kode itu.” Letnan Hartono memperhatikan sembilan orang di truk itu yang tidak ada menunjukkan mukanya. Baru sehari dia melihat sebuah rahasia negara, dan kini dia sudah menjadi pasukan khusus yang dianggap cuman mitos.

“Karena Kapten Charlie turun, saya Altaica yang akan memimpin kalian sampai kapten kembali, ada pertanyaan?”

“Tidak ada!” jawab serentak mereka.

...----------------...

Hujan deras turun di kota Jakarta, seolah-olah ingin mengguyur seluruh permukaan kota yang pernah ramai. Awan hitam berarak di langit, menambah kesan suram di tengah kekacauan yang terjadi. Namun, rintik-rintik air yang jatuh tak cukup hanya untuk menenangkan suasana hati warga kota yang sedang dilanda serangan monster. Mereka terusik oleh teriakan-teriakan yang terdengar dari jauh, serta guncangan yang terasa di tanah setiap kali gerombolan monster itu melakukan serangan. Warga yang berhasil selamat terus berlindung di tempat-tempat yang aman, sementara yang lain terus berjuang melawan musuh yang tak terkalahkan itu. Namun, hujan yang semakin deras tampaknya tak peduli dengan keadaan yang terjadi, terus saja mengguyur kota Jakarta dengan lebatnya.

“Aku ulangi, kau ini musuh atau sahabat?” tanya sekali lagi tentara itu mengalahkan suara hujan dengan nada tegas. Kahar tak menjawab atau pun bergeming. Tak ada waktu melakukan pertarungan di sini.

Dia sedang mencari dan Paman Samsul dan tentara ini akan mati jika berhadapan dengan Kahar. Kahar memalingkan wajah. Berlari dengan sekuat dia bisa. Melawan rintik-rintik hujan yang menerpa wajahnya. Dengan kecepatan yang dia punya, Kahar pikir dia telah meninggalkan tentara itu di jauh di belakang. Tepat sekarang, Kahar berdiri di depan kosan Paman Samsul yang tampak masih berdiri kokoh meski di sekitarnya hampir tidak bisa dikenali.

“Kenapa kau lari?” tanya tentara tersebut sambil menepuk bahu Kahar. Tepukan itu mengundang lompatan Kahar. Tangannya menyilang di depan muka untuk melindungi diri. Dia tahu, kalau di depannya bukan manusia biasa.

“Kau pasti sekutu Setiawan.” Sebuah pukulan Kahar layangkan yang tepat mengenai di antara hidung dan mata tentara itu. Tiga meter tentara itu terlempar ke belakang.

Tubuhnya menghantam tembok pagar dan masuk ke dalamnya – menghilang dalam debu yang bercampur air hujan. Kekuatan Kahar meningkat hampir tiga kali lipat di tengah guyur hujan. Kahar pikir dia telah membunuh tentara itu, tapi itu salah! Auman harimau menyambut telinganya. Membunuh kesepian.

Bangkit sekali lagi tentara itu. Mukanya menyerupai wujud seekor harimau dengan seragam tactical militer yang tampak gagah dan bisa menyesuaikan dengan bentuk tubuh. Matanya benar-benar berubah menjadi harimau. Bulu menutupi sekujur mukanya, kuku tajam dengan taring tumbuh.

“Kau lancang sekali. Atau kau ini terlalu pemalu, sehingga tidak ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Baiklah, panggil aku Charlie,” kata tentara tersebut sambil melompat dan berhasil menjatuhkan Kahar.

Sekarang, Kapten Charlie menimpa badan Kahar. Ditahannya Kahar tetap di tanah. Sebuah serangan dengan cakar dia layangkan ke wajah Kahar. Serangan yang cepat, tidak bisa Kahar hindari. Pipi kanan Kahar tergores parah, cakaran itu tampak seperti bekas harimau. Darah menetes dibarengi air hujan.

“Menyingkir dari sini!” amuk Kahar melemparkan Kapten Charlie. Kahar berhasil lolos dari cengkeraman Kapten Charlie. Dengan bantuan air hujan yang jadi perantara, listrik Kahar lepaskan.

Kapten Charlie terkena telak serangan itu. Dia bertekuk lutut. Pakaian pelindung yang dia pakai sedikit rusak di bagian dada. Serangan yang sekarang jadi pamungkas Kahar.

Nafas Kahar terengah-engah, mata Kahar tetap awas melihat manusia harimau itu. Rintik hujan samarkan pertarungan kedua makhluk luar biasa tersebut. Kahar merasa kalau dia yang menang sampai Kapten Charlie bangkit sekali lagi dan dengan kuda-kuda menantang Kahar.

“Menarik, ayo coba sekali lagi.” Dengan kecepatan penuh, Kapten Charlie berlari ke arah Kahar. Dia bertarung dengan gaya harimau, cakarnya terus terarah ke wajah, dada, tangan Kahar. Kahar tak bisa mengimbangi gerakan silat Kapten Charlie.

Pukulan dan cakaran telak mengenai Kahar. Sempoyongan Kahar mencoba bertahan semampunya. Sedangkan, Kapten Charlie tetap saja menghajar Kahar membabi buta. Armor Kahar menjadi keunggulannya kali ini. Kalau saja tanpa armor itu, Kahar tentu sudah mati.

“Ada apa? Kau lelah?” tanya Kapten Charlie dengan nada tinggi.

“Aku sahabat, bukan musuh,” jawab Kahar akhirnya yang akhirnya tampak menyerah.

“Itu yang sedari tadi ingin aku dengar.” Pertarungan dihentikan. Kapten Charlie merasa kalau dia yang menang, sebab Kahar telah babak belur. Namun, kalau dilihat dari luka bekas serangan listrik Kahar, Kapten Charlie tidaklah baik-baik saja.

“Aku hanya ingin mencari seseorang di dalam kosan itu.” Jari ikan Kahar menunjuk tempat Paman Samsul.

“Aku tidak bisa merasakan kehidupan dari sana. Orang yang kau cari mungkin sudah tewas,” kata Kapten Charlie datar.

Hujan tak ingin pulang. Ini mungkin curah hujan tertinggi di Jakarta dalam turun waktu lima belas tahun terakhir. Angin masih saja berembus kencang disertai halilintar yang tambah ngeri wajah Jakarta. Namun, air hujan itu masih kalah dengan air mata yang perlahan membasahi pipi Kahar. Bersama Kapten Charlie, dia menemukan Paman Samsul telah bersimbah darah dengan bau busuk. Perutnya mengeluarkan banyak darah. Kemungkinan dia telah meninggal sejak kemarin.

“Tidak, tidak mungkin,” ucap rintih Kahar menolak percaya. Kapten Charlie hanya terdiam. Pembuluh darah di leher Kahar berdenyut tak karuan. Tangannya terkepal bergetar hebat menahan amarah. Tak percaya dengan dia yang dilihat. Sosok orang tua ketiga Kahar telah kaku tak bernyawa.

“Siapa namamu?” tanya Kapten Charlie mencoba menyingkirkan keheningan. Kahar tak menjawab. Air matanya seakan mengatakan semua kepedihan di hati.

Perlahan-lahan Kahar mencoba membuka mulutnya dan berkata, “La-bo-rasi,” balas Kahar terbata-bata.

“Dengar ini, Laborasi. Kau tidak perlu mengerti, yang ini aku kau mengerti adalah kami ada di pihak yang sama dengan kau. Kau kenal Prof. Setiawan Santoso?” tanya Kapten Charlie. Mata Kahar terkaget, terbuka lebar dan alis matanya terangkat.

“Aku anggap itu iya,” pungkas Kapten Charlie menyelesaikan pertanyaannya sendiri.

“Kau tahu, Pak. Aku tidak bisa percaya orang lagi sejak yang dilakukan Setiawan,” terang Kahar.

“Anggap saja kami bukan orang. Yang kami inginkan sama denganmu – Setiawan hidup atau mati.”

Truk lapis baja telah sampai di sayap kanan – tempat yang jadi tujuan. Sayap kanan ini berada di bagian timur Universitas Garuda Nusantara, dekat dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan. Tembok setinggi dua meter dirobohkan dengan mudah. Jalan telah terbuka, satu tim elite telah berhasil masuk untuk melakukan operasi tangkap hidup atau mati seorang. Truk terus melaju dengan hati-hati di dalam universitas, sedangkan para tentara membidik awas lewat jendela truk – lima di kiri dan lima di kanan.

“Kita sampai, tidak ada tanda-tanda keberadaan monster ikan,” lapor pengemudi truk.

“Tetap awasi sekitar, kita akan tunggu tiga menit. Para monster ini dilaporkan menyerang dengan mengandalkan unsur kejutan. Kita akan menanti mereka keluar.” Wakil Kapten – Altaica mengeluarkan sebuah tembakan ke arah sembarang. Seakan tembakan itu mengatakan pada semua monster untuk keluar dan hadapi kami.

“Corbetti, Benggala, Amonsis kalian regu satu. Selusuri kisaran kolam, bawa senjata berat – Den SS9 dengan kaliber 8.5 mm. Senjata serbu tersebut cukup untuk menghancurkan monster-monster itu sampai menjadi abu,” perintah Altaica.

“Siap!” jawab serentak mereka bertiga.

“Virgata, Sumatrae, Jacksoni kalian regu dua dengan tugas selusuri laboratorium dan tangkap Setiawan hidup atau mati.

Persenjatai diri kalian sama dengan regu satu. Sisanya – saya, Sondaica, Balica, dan Panthera akan menyapu bersih objek di sekitar fakultas ini, dengan tidak adanya Kapten Charlie, tetap waspada, hidupkan selalu komunikasi. Truk ini akan diparkirkan di sebelah Fakultas Ekonomi – tidak jauh dari tempat kita berada. Jelas ini?”

“Jelas!”

Satu per satu tentara itu turun, berpencar sesuai strategi yang telah dibagi. Hartono Si Benggala bersama dua orang rekannya berjalan menuju arah jam tiga, di mana kolam fakultas berada. Dari balik kacamata hitamnya, Hartono melihat regu dua dan tiga perlahan menghilang.

“Benggala, tetap berada dalam formasi,” kata Amonsis masih dengan kewaspadaan.

Kolam fakultas yang cukup luas, perlu waktu sepuluh menit untuk memutarinya. Menurut laporan yang beredar, tepat ini adalah pertama kali monster bermunculan. Mereka bertiga sebenarnya berjalan dalam maut yang menunggu.

Regu satu telah berhasil memutari sekali kolam, tak ada yang mereka temukan. Hanya sisa-sisa amis dari lendir monster yang tertinggal di sana.

“Lapor, regu satu selesai memutari kolam. Tak ada tanda-tanda, selesai,” ucap Corbetti lewat alat yang terpasang di telinga mereka masing-masing.

“Tetap berada di sana. Ulangi lagi. Pastikan objek sudah lenyap.”

“Dimengerti.”

Hartono hanya bisa melihat dua orang seniornya berjalan lebih cepat darinya, dengan tangan yang memegang mantap senjata laras panjang. Mata ketiga orang itu memandang kolam dan sekitarnya, tidak ada yang membahayakan. Saat kesunyian berbisik kencang, datang laporan dari regu dua yang dapat Hartono dengarkan pula karena berada dalam saluran yang sama.

“Regu dua melapor, di sini busuk sekali. Kami belum bisa masuk. Pintu laboratorium tertutup rapat. Akan kami dobrak.” Suara itu tak jelas datang dari siapa, namun Hartono menduga itu adalah Virganta.

“Diterima, lakukanlah.” Altaica benar-benar tampak seperti pemimpin, itu bisa Hartono rasakan dari nada suaranya yang tegas dan yakin. Meski sebenarnya, Altaica tidak begitu senior, namun kecerdasan dan jiwa kepemimpinannya membuat Altaica menjadi Wakil Kapten.

“Anak itu, selalu saja tetap memerintah. Aku bangga sekaligus jengkel padanya.” Corbetti memalingkan wajah pada Amonsis di sebelahnya. Sedari awal, Hartono menduga bahwa Corbetti adalah seorang pria tua dari nada suaranya. Ternyata memang benar.

“Seharusnya aku pensiun tahun depan sebagai pasukan lapangan, aku ingin juga merasakan bekerja di balik meja,” curhat Amonsis sedikit melepaskan kewaspadaannya.

“Kenapa kalian mau melepaskan masa lalu dan latar belakang?” tanya Hartono yang sedari awal ingin dia tanyakan. Pertanyaan itu sebenarnya tak disukai anggota lapangan elite. Pertanyaan yang tak diminta jawaban.

“Benggala, aku bukan hanya membuang masa lalu, aku dikabarkan sudah mati...,” kata Corbetti yang dipotong teriakan di saluran radio. “Sial! Kami butuh bantuan!”

“Regu dua masuk! Kami akan ke sana, semuanya gantung kewaspadaan. Kita menuju laboratorium sekarang.”

...****************...

Kapten Charlie mengeluarkan kantong jenazah yang dia simpan di dalam saku celananya. Kantong itu berwarna jingga. Entah bagaimana cara dia melipatnya sehingga muat di sana. Kahar perlahan-lahan memasukkan jenazah Paman Samsul dibantu Kapten Charlie yang sudah bertranformasi menjadi manusia biasa lagi.

“Aku akan mengirimkan sinyal, sebentar lagi kepada tenaga medis untuk mengangkut jenazah pamanmu,” jelas Kapten Charlie. Matanya yang setajam harimau masih saja tampak meski sekarang berperawakan manusia. Rambutnya yang panjang dan keriting serta kulit sawo matang tak tampak seperti tentara. Kahar yang masih dalam mode Laborasi untuk menyembunyikan identitas aslinya masih tak percaya dengan yang dia hadapi.

“Dengar ini, Nak. Militer telah berhasil memukul mundur gerombolan monster. Sekarang Jakarta Timur hampir bersih dari monster. Tapi, walaupun dibersihkan terus, jika dalang ini semua tidak ditangkap, apa gunanya ‘kan?” kata Kapten Charlie mencoba meyakinkan Kahar. “Pasukanku sedang bergerak ke arah Universitas Garuda Nusantara. Kami akan sangat terbantu dengan kekuatanmu. Ikutlah denganku,” pungkas Kapten Charlie, sembari menyodorkan tangannya.

“Aku akan ke sana karena aku ingin membunuh Setiawan. Bukan karena aku ingin bersama kalian.” Kahar menolak sodoran tangan Kapten Charlie. Lalu berjalan perlahan terlebih dahulu.

“Aku tidak keberatan.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!