Laborasi: ZULKARNAIN MUZAKAR III

Maryam malam itu bilang kalau telur yang terdampar tersebut adalah milik ikan raksasa yang tinggal di dasar lautan. Namun, saya tidak setuju dengan pendapatnya. Untuk menjawab semua kegelisahan kami, saya membawa kedua telur berukuran sebesar bola sepak pulang ke rumah. Saat sampai di rumah, kami memperhatikan telur itu secara saksama.

Badai kian kencang menerjang seperti rasa penasaran saya. Telur yang pertama berwarna hijau tua dengan garis kuning mengelilingi permukaan. Telur ini terlihat terbuat dari bahan yang kokoh, seperti dari kulit kerang yang kuat. Telur kedua memiliki warna yang kontrak dengan yang pertama. Telur kedua berwarna coklat keabu-abuan dengan bintik-bintik hitam di sekelilingnya. Telur yang ini tampak lebih rapuh dan licin – nyaris saja Maryam memecahkannya saat membawa telur kedua pulang.

“Kita harus apa dengan telur ini, Bang?” tanya Maryam diikuti kantuk.

“Biarkan, saya hanya iseng bawa ini pulang. Nanti pagi saja kita amati lebih lanjut.” Malam selesai. Badai yang tidak ingin selesai. Malam itu kami terlelap dengan mata yang berjaga andaikan saja badai menerbangkan rumah tua peninggalan kakek Maryam.

Setelah badai berlalu di pagi hari, saya ingat betul cuaca masih terasa dingin dan sejuk. Angin yang kencang bertiup dengan keras, menyebabkan pohon-pohon besar di sepanjang jalan bibir pantai tampak bergoyang-goyang. Pasir di tepian pantai terlihat tersebar ke mana-mana, menandakan ombak yang besar dan kuat telah menerjang pantai selama badai.

Beberapa pohon tumbang, terlihat dari pangkal batangnya yang patah, sementara beberapa pohon lainnya terlihat tergores dan tercabik-cabik akibat terkena angin kencang. Di sepanjang jalan, terdapat beberapa sampah yang terbawa angin dan tersebar di sana-sini. Suasana di sekitar bibir pantai masih terasa suram dan sedih, namun terdapat beberapa orang yang sudah mulai bergerak untuk membersihkan sampah dan memperbaiki kerusakan yang terjadi.

Saya belum ada semangat pagi itu untuk memulai aktivitas seperti biasa, bagaimana juga laut sedang mengambek pada kami. Saya habiskan sepanjang pagi yang suram itu dengan memperhatikan dua telur yang datang bersama badai. Saya terus memperhatikan telur itu seperti sesuatu memanggil saya untuk terus melakukan hal itu.

Telur itu buat saya tersenyum sendiri, Maryam saat itu merasa saya sedang mabuk badai. Tapi itu tidaklah tepat, saya merasakan bahwa telur ini berasal dari suku Labo-Labo. Saya kembali berpegang pada ketidaktahuan dan keyakinan.

“Labo-Labo? Itu cuman dongeng, ayahku sering menceritakan hal itu saat aku kecil, Bang.” Maryam sedikit pun tak percaya. Dia merasa saya masih frustrasi karena eksplorasi terakhir saya masih tidak menemukan hasil.

Semua ketidaktahuan dan rasa penasaran meledak, saat sebuah makhluk hidup berusaha memecahkan cangkang telur dari dalam. Maryam terkejut bukan main, dan saya sebenarnya lebih terkejut lagi. Dari dalam telur yang berusaha memberontak, kami dengan jelas bisa melihat sebuah kaki kecil menendang keluar. Kaki yang berbentuk seperti manusia. Bukan, itu sebenarnya memang kaki manusia. Maryam bantu pecahkan cangkang saat saya masih membuka mulut lebar. Cangkang berhasil dihancurkan, lendir amis basahi lantai rumah. Dari dalam telur pertama yang pecah itu, muncul seorang bayi yang dipenuhi sisik ikan.

Maryam sontak menjatuhkan air matanya. Saya merasakan baru saja mendapatkan seorang putra. Maryam kembali melihat bayi yang baru saja menetas, suara tangis pecahkan kesunyian pagi. Saya menggendong bayi itu mencoba menenangkannya, sedang Maryam mengambil handuk hangat untuk membersihkan tubuhnya.

Bayi itu tampak sehat dan gemuk, matanya hitam, dan memiliki rambut yang tebal. Tak ada kekurangan yang tampak, hanya sisik ikan yang tak luntur saat dibasuh. Saya kembali dibuat takjub saat sisa pecahan telurnya menyatu kembali membentuk sebuah kalung yang indah.

“Lihat ini.” Saya mengambil kalung itu, memakainya.

“Tunggu sebentar, Bang,” ucap Maryam yang seakan menyadari sesuatu ada yang salah.

“Labo-Labo? Laborasi? Kalung? Tidakkah kau menyadari sesuatu, Bang. Ini adalah kalung yang dipersembahkan leluhur kita dulu pada penguasa laut untuk mencegah kedatangan Laborasi,” jelas Maryam dengan ketakutan. Saya jelas mengerti kekhawatiran Maryam. Seorang bayi yang keluar dari telur tentu bukan anak manusia.

“Puisi kau semalam, menyebabkan kehadiran Laborasi!” lanjut sekali lagi Maryam dengan ketakutan yang sama.

“Saya tahu legenda itu. Laborasi akan datang sebagai juru hancur. Kita bisa mencegah hal itu, selagi kalung dan puisi ini kita jauhkan dari bayi ini. Dia tidak akan pernah menjadi hal yang kita takuti.” Saya meyakinkan Maryam bahwa bayi ini tidak berbahaya. Saya segera mengambil puisi yang tersimpan rapi di laci lemari meja kerja saya dan puisi yang baru saja terbentuk.

“Lantas, kita harus berbuat apa dengan telur yang satunya?” tanya Maryam sambil menggendong bayi itu.

“Akan saya bawa ke Setiawan, dia butuh DNA-nya. Maryam, tolong rahasiakan tentang latar belakang anak kita. Saya membawa telur yang belum menetas ini demi melindungi dia.” Maryam seingat saya hanya mengangguk setuju. Walaupun, saya tahu kalau sebenarnya Maryam keberatan untuk saya meneliti telur ini juga. Karena barangkali, telur ini berisi makhluk hidup juga di dalamnya.

“Siapa nama anak ini?” Maryam kembali bertanya pada saya. Begitu banyak pertanyaan pertanyaan sebenarnya yang dia lontarkan pagi itu, tapi sedikit yang bisa saya ingat.

“Kahar Muzakar. Bagus ‘kan? Saya selalu menginginkan nama itu untuk anak laki-laki saya.” Maryam tersenyum mendengar nama yang baru saya sebut lalu berkata, “Aku suka, Bang. Jadi mulai sekarang kau akan aku panggil Kahar.”

Saya bersyukur sekali dengan kedatangan Kahar. Anak yang selalu kami harapkan akhirnya datang. Sayangnya, saya hanya bisa tiga hari melihatnya. Saya harus segera menemui Setiawan di Jakarta untuk memberikan telur ini. Sebelum saya pergi, saya berpesan pada Maryam untuk tidak memeriksakan sisik Kahar sekali pun ke dokter demi melindungi Kahar.

“Wan, saya dapat apa yang kau cari selama ini,” ucap saya dari telepon.

“Apa maksudnya?” balas pertanyaan Setiawan dari Jakarta jauhnya.

“Saya menemukan sebuah telur yang saya duga berasal dari bangsa Labo-Labo Setiawan, ini bisa menjadi obat penuaan dinimu.” Saya mengucapkan itu dengan penuh harapan bahwa teman karib saya itu bisa sembuh dan akhirnya kami mendapatkan penghargaan Nobel.

“Aku kehabisan kata-kata, Zul. Segera datang ke Jakarta. Aku harus segera melihatnya.” Saya mengerti dan mengucapkan sampai jumpa kepada Setiawan sebelum menutup telepon. Dan, saya baru menyadari kemudian bahwa keputusan ini akan membawa ke takdir yang tak terelakkan.

Saya pada akhirnya pergi menuju Jakarta dengan pesawat – tentu Setiawan yang membayar tiketnya. Setiawan bilang dia tidak akan bisa tidur selama apa yang aku bawa belum bisa dia sentuh. Tentu, dengan pesawat perjalanan lebih cepat, namun menjadi lebih repot juga. Telur itu harus saya bungkus rapat dan ketika mendapatkan masalah di Sinar x, saya bilang itu adalah telur burung unta yang teman saya pesan. Bodohnya mereka atau keberuntungan berpihak terhadap saya entah mana yang datang. Saya bisa lolos dari pemeriksaan dengan kebohongan tolol. Ketika sampai di Jakarta, Setiawan sudah menjemput saya di gerbang kedatangan domestik.

Kami berbincang sepanjang perjalanan menuju laboratorium fakultas. Sudah lama sekali saya tidak menginjak kaki di sini. Sebuah reuni kekecilan saya alami bersama gedung tua.

“Bagaimana cara kau menyembunyikan identitas dirimu?” tanya penasaran saya, sebenarnya pertanyaan itu selalu saya ingin lempar sejak melihat Setiawan menjadi tua.

“Ceritanya panjang, Nak. Perlu banyak kenalan, banyak pemalsuan sana-sini, dan yang paling repot adalah mencetak ulang semua berkas omong kosong di pemerintahan. Tapi yang paling saya sukai, saya bisa bertranformasi menjadi sosok “Setiawan Senior” yang telah lama ditelan amuk laut,” jelas Setiawan.

“Kau benar-benar terdengar seperti orang tua yang cerewet.”

Laboratorium tidak berubah sejak saya meninggalkannya sembilan tahun lalu, tetap kurang fasilitas. Bagaimana bisa alat-alat usang ini menjadi tempat Setiawan bekerja. Saya buang sejenak keluh kesa itu, saya mengeluarkan telur yang saya bungkus rapat. Begitu rapat sampai membukanya lebih sulit dari membungkus.

Perlu waktu untuk lima menit untuk membuka setiap pelindung telur itu dengan hati-hati tanpa menggoresnya sedikit pun. Saya ingat juga bahwa tangan keriput Setiawan berdarah saat ikut membantu – jika saat itu saya sudah tahu kebusukan yang akan datang, akan saya tambah lebar luka di tangan Setiawan, bahkan mungkin membunuhnya saat itu juga.

Bungkusan yang tertutup rapat bagai telinga pemilik kursi akhirnya bisa terbuka, saya tersenyum lebar ketika menunjukkan itu pada Setiawan.

Awalnya Setiawan ragu dengan apa yang saya bahwa, dia mengatakan kalau dia belum lapar untuk menyantap telur dadar. Saya bilang padanya bahwa ini berasal dari suku Labo-Labo dan sekali lagi Setiawan tetap ragu.

Sempat saya kesal dan ingin membicarakan tentang Kahar Muzakar yang lahir dari telur ini tapi saya urungkan niat itu saat akhirnya Setiawan bersedia menelitinya. Sedikit kikisan telur yang lembut dia simpan.

“Aku masih memiliki sedikit sisa DNA Antartika yang pernah kita teliti, ini akan cukup.”

Saya ingat sekali kata-kata Setiawan hari itu. Mungkin saya terlalu polos percaya terhadap kekuatan persahabatan sampai lupa akan keselamatan diri. Sekarang saya terjebak di bungker sedalam beberapa meter dengan di luar sudah menunggu satu tim pembunuh yang siap mengambil apa yang saya kerjakan.

Kembali pada percobaan Setiawan di Jakarta, ternyata dugaan saya benar. Setelah sebulan melakukan penelitian, hasil tes DNA kedua benda itu ternyata identik dan siap untuk melanjutkan ke tahap berikutnya. Tentu saja Setiawan berlompatan seperti anak kecil, sedikit aneh melihat seorang pria tua berperilaku layaknya anak kecil.

“Sudah saya bilang ‘kan, sekarang kita bisa menyembuhkan penyakitmu dan membuat serum super yang bisa jadi penemuan termutakhir yang bisa ubah kehidupan manusia.” Percobaan yang berhasil mencocokkan DNA itu dilakukan secara rahasia. Tidak ada yang tahu kecuali kami, pihak fakultas hanya mengetahui kalau saya bekerja sebagai asisten laboratorium dari seorang “profesor” Setiawan.

“Kita harus pergi ke Padang, kau ingat penelitian saya di sana beberapa tahun lalu? Saya memiliki bungker dengan fasilitas lengkap dan lebih baik. Tapi saya tidak tahu apakah Tuan investor mau meminjamkan fasilitas itu atau tidak setelah aku mengecewakannya sebanyak dua kali.”

“Kita coba dulu, itu sebuah hal yang pantas dilakukan bukan.” Saya meyakinkan Setiawan bahwa ini harus dilakukan, idealisme saya adalah bisa membantu semua makhluk hidup.

“Akan aku coba.”

Saya tidak mengikuti negosiasi Setiawan dengan orang yang dia sebut sebagai Tuan investor. Perdebatan yang saya dengar cukup panjang. Setiawan dengan suara yang telah terengah-engah terus berusaha meyakinkan seorang yang dia ajak berbicara di balik telepon rumah. Semalam suntuk telepon yang menentukan nasib penelitian kami dan akhirnya kesepakatan didapat. Tuan investor meminjamkan fasilitas laboratorium dengan syarat yang hanya Setiawan tahu.

Kami berangkat ke laboratorium yang Setiawan maksud. Tempatnya adalah di mana kalian temukan video ini, apakah harus saya ceritakan juga bagaimana laboratorium itu? Saya rasa tidak. Kami melanjutkan penelitian di sana selama beberapa bulan, saya mulai merindukan Maryam, tapi Setiawan meyakinkan bahwa ini pantas dilakukan dan dia sudah mengirimkan sejumlah uang untuk Maryam.

Tidak seperti telur Kahar yang pecah segera ditemukan. Telur ini tidak pecah sampai tiga bulan. Telur itu kami masukkan di sebuah tabung yang bisa kalian lihat di dalam laboratorium. Barulah saat kami menyuntikkan sebuah cairan yang memaksa perkembangan telur itu secara lebih cepat. Pecah, akhirnya kami melihat sebuah makhluk yang bersembunyi di dalamnya. Beda dengan Kahar, makhluk itu tidak memiliki sedikit pun rambut di kulitnya, matanya tak memiliki kornea – putih dan menyeramkan, setiap giginya runcing, di lehernya terdapat berbentuk seperti insang ikan.

“Anak ikan! Inilah Laborasi!” teriak bahagia Setiawan.

“Jangan kau bunuh, kita butuh DNA-nya.”

“Iya, aku paham. Akan aku teliti dan menjadikan kita sebagai ilmuwan yang paling disegani dan akan mengubah pengobatan serta kimia modern.”

Saya tahu apa yang ada di dalam tabung, itu bukan Laborasi, Kahar telah aman di Sulawesi bersama Maryam. Makhluk yang disangka Setiawan sebagai Laborasi sebenarnya saya juga tidak tahu. Namun, saya merasa bersalah telah mengurungnya di kaca. Setiap hari dia berontak meminta keluar. Saya sempat berpikir bahwa makhluk yang pada akhirnya Setiawan beri nama sebagai Antu Banyu berdasarkan legenda di masyarakat setempat itu merupakan saudara dari Kahar. Saya benar-benar merasa bersalah dan campur aduk, tetapi tak bisa mengatakan tentang Kahar untung melindunginya dari dunia luar.

Penelitian terus kami lakukan, makhluk itu juga berkembang dengan cepat. Sekarang tubuhnya sudah mencapai ukuran manusia dewasa. Mungkin pertumbuhan ekstrem ini berkat suntikan yang pernah Setiawan berikan.

Suatu hari, saat kebenaran akan terungkap, Setiawan bilang akan pergi untuk dua hari untuk menemui Sang investor lalu membeli beberapa barang yang ditemukan dan akan segera kembali untuk mengambil hasil penelitian. Saya saat itu sama sekali tidak menaruh curiga.

Hari pertama Setiawan pergi, saya sendirian bersama Antu Banyu. Makhluk itu terus memandangi saya dengan amarah di kedua mata putihnya. Saya juga telah menyelesaikan percobaan setelah dua kali gagal. Sekarang serum manusia super yang dihasilkan dari DNA bakteri yang ditemukan di Antartika yang dicampur dengan variabel terakhir – DNA dari Antu Banyu, telah selesai. Ini akan menyembuhkan Setiawan dan membuka suatu hal baru dalam ilmu pengetahuan. Saat memberi tahu Setiawan, dia begitu girangnya.

Begitulah pikiran indah saya sebelum sebuah pesan singkat dikirimkan oleh seorang teman lama – Nurdin. Dia mengirimkan sebuah email satu kali lihat dengan beberapa foto dan video dengan nama samaran, tapi saya bisa mengenalinya lewat kode rahasia yang hanya saya dan Nurdin ketahui, bahkan Setiawan tidak mengetahui kode itu.

Buhaynapaggawa@hotmail.go.id

Subjek: Bahaya

Anda tidak mengenal siapa saya. Saya bisa meyakinkan Anda. Namun, saya ingin Anda baca pesan ini secara saksama, pesan ini hanya bisa dibuka sekali, setelah itu akan langsung terhapus bersama dokumen video dan foto yang saya kirimkan. Setiawan itu jahat! Saya ulangi, Setiawan itu iblis. Segera buka video dan foto yang terlampir. Saya sekarang tidak tahu di mana keberadaan Anda, saya mengkhawatirkan Anda.

^^^Teruslah hidup, Zul.^^^

Saya terkejut melihat pesan itu, seakan mata saya menolak untuk percaya. Tapi saya menyimpan rasa penasaran yang hanya dibayar dengan memeriksa foto dan video. Alangkah lepasnya jantung saya ketika melihat video itu. Di dalamnya termuat Setiawan sedang bernegosiasi dengan seorang yang tidak saya kenali batang hidungnya. Setiawan membicarakan tentang membuat pasukan tentara super dengan memanfaatkan serum ini. Tujuan dari pembentukan pasukan itu untuk melakukan sebuah gerakan yang masih tak jelas dibahas dalam video. Selain video, dua foto yang dikirimkan memuat gambar Setiawan sedang berada di sebuah fasilitas khusus yang terancang seperti bangsal pelatihan tentara.

Saya punya pilihan, kabur dengan DNA dan serum itu selagi ada waktu tapi itu akan membahayakan keluarga saya jika saya lari. Opsi kedua adalah melawan dengan kekuatan yang saya miliki.

Masih dengan kebingungan yang melanda, telepon satelit berdering. Saya ragu untuk mengangkat, tapi jika tidak diangkat akan menambah kecemasan. Ragu-ragu saya mengangkat telepon itu dan menyapa, “Halo.”

“Kau sudah tahu, ya.” Suara Setiawan terdengar dari gagang telepon.

“Sebuah pasukan dalam tiga puluh menit akan datang ke bungker, tak ada jalan untuk lari. Istrimu juga tak akan aman, segera saat pasukan itu datang, berikan semua hasil percobaan kita. Aku benar-benar bersyukur telah menyadap komputermu.” Telepon dimatikan sebelum aku bisa membalas mengumpat pada Setiawan.

“Bangsat!” Saya benar-benar hilang harapan saat itu. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Saya segera meraih kembali telepon satelit itu dan menghubungi Maryam.

“Halo, siapa ini?”

“Zulkarnain Muzakar.”

“Abang? Abang sehat? Kenapa tidak telepon sejak kemarin? Ini telepon pakai nomor baru?” tanya terus menerus Maryam yang akhirnya saya potong.

“Dengarkan, jangan potong, jangan bertanya, atau berkata-kata apa pun saat saya berbicara. Mungkin ini kali terakhir kau mendengar suara saya. Maryam, saya mencintaimu sehangat sapaan matahari dan juga saya mencintai Kahar walau hanya menghabiskan waktu tiga hari bersamanya. Semua cintaku untuk kalian berdua, makanya saya melakukan ini semua. Kau tidak akan mengerti, saya tidak ingin kau mengerti.

Terus jaga Kahar, dunia akan jahat padanya, namun bila tiba waktu bagi Kahar mengambil keputusan, beri dia kesempatan. Maryam, kau telah menjadi kapalku, mungkin ini waktunya aku tenggelam. Namun, cinta kita abadi berlayar, Sayang. Aku juga masih memakai kalung Kahar, sangat gagah jika kau bisa melihatnya. Akhirnya, saya ucapkan terima kasih untuk semua hal yang sudah lakukan dan belum kau lakukan. Aku mencintaimu dua puluh lima ribu.” Telepon saya tutup langsung tanpa mendengarkan balasan dari Maryam, saya tahu dia sekarang sedang menangis. Saya pasti suami terburuk yang pernah ada.

Sekarang tersisa lima menit, saya sudah bisa mendengar suara deru langkah pasukan yang menuju ke sini. Baiklah, saya rasa cukup berceritanya. Saya akan menyuntikkan serum ini ke Antu Banyu dan menghancurkan DNA yang tersisa. Saya berharap Antu Banyu tumbuh dan membunuh saya segera.

Terima kasih telah menyaksikan, saya Zulkarnain Muzakar.

Terpopuler

Comments

Alfian Deva Irawan

Alfian Deva Irawan

Jadi kesimpulannya, Ayah Kahar sudah meninggal?

2023-02-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!