Baru saja Wil selesai membasuh diri dan setengah berpakaian. Ibunya masuk tanpa mengetuk pintu.
"Aaaaaa!" Pekik Wil seperti seorang wanita.
"Ish! Kamu bikin mama kaget aja."
"Mama yang gak ketuk pintu! Untung udah pakai celana!"
"Udah udah. Papa mau ketemu kamu, ditunggu," ujar wanita tersebut lalu menutup kembali.
"Mau ketemu kenapa gak ke sini aja?" Wil menggosok-gosokan handuknya ke kepalanya. Lalu mengambil bajunya.
Ia turun menuju ruang keluarga di sebelah dapur. Ayahnya sedang menonton berita di televisi tentang angka kematian karena pembunuhan yang meningkat.
"Ada-ada saja yang membunuh nih, terutama yang di mall tuh!" Gumam ayahnya yang sedang fokus dengan televisi.
"Pa," panggil Wil dengan gugup. Ayahnya menengok sambil menyeruput kopi.
"Ah, silahkan duduk Wil." Pria yang masih belia tersebut duduk di sebelah ayahnya.
"Begini Wil, kau harus putus kuliah. Maaf tapi ini keputusan terbaik demi keluarga dan perusahaan papa."
Wil berfikir sejenak, ia tak mau tidak bisa melihat Laura lagi. Namun, kata-kata Laura terngiang-ngiang di pikiranya. "Ya, aku mengerti. Aku akan urus perusahaan papa dengan catatan, hanya melupakan seseorang."
"Siapakah gerangan?"
"Tak usah tau," jawab Wil. Dirinya mulai mengakhiri kuliah besok. Semua itu papanya yang mengurus nanti.
"Ya sudah. Terimakasih sudah mengerti keadaan ini." Wil mengangguk saja lalu berjalan menuju kamarnya dan bersiap keluar negeri.
"Berat, tapi harus ku lakukan." Wil mengambil koper putihnya lalu memasukan baju bajunya. Hari masih cukup pagi, ia berencana menghabiskan waktu di tanah air.
Baru saja ia menginjakan kaki di parkiran mall. Wil disapa oleh Lin, teman kerjanya.
"Wil! Kebetulan kao datang!"
"Ada Levi, Arbi, sama rekan baru lagi Helos."
"Nama aneh apa itu?" Wil pertama kali mendengar nama aneh 'Helos' seperti dari dunia fantasi.
"Udah liat aja, sangar loh. Temenin lah biar pria tampan ini tak takut."
"Cih ya ya," ujar Wil menyetujui ajakan Lin. Sampainya di sebuah kafe.
"Woy Wil!" Sapa Levi sambil mengangkat tanganya. Arbi tersenyum manis melihat Wil. Sedangkan seorang pria dengan tubuh kekar dengan otot besar serta wajahnya yang galak seperti harimau, bingung siapa pria muda berambut putih tersebut.
"Helos, ini Wil, Wil ini--"
"Wil." Pria berambut salju tersebut mengulurkan tangan. Uluran tanganya diraih oleh pria besar dengan rambut jingga kemerahan.
"Helos," balasnya.
"Silahkan duduk Kak Wil, Kak Lin. Mau pesan apa? Biarku pesankan."
"Yang biasa kita beli aja."
"Kak Wil?"
"Aku gak usah," jawab Wil. Lin melihat mata sayu Wil. Tak biasanya dia begitu.
"Patah hati mas?" Tanya Lin kepada Wil. Pria yang melamun itu merasa terpanggil dan tersentak.
"Apa sih?"
"Ahaha kirain abis 'ditolak'."
"Tutup mulutmu, atau ku cekik!" Lin langsung melindungi lehernya yang terancam.
Pesanan datang, mereka menyantap dengan penuh sukacita, kecuali Wil. Tatapanya kosong, ia mengait sela-sela jari dan memainkan ibu jarinya. Wajahnya seperti orang gelisah, takut akan kehilangan.
"Oia! Wil, aku masih ingat ulang tahunmu!" Ujar Levi, tanganya mengambil kotak kecil seukuran kotak handphone.
"Selamat ulang tahun, udah 24 tahun aja nih!" Ujar Levi.
"Jomblo juga," ujar Lin. Wl mencubit keras pinggang Lin. Wajahnya seperti memakan sesuatu yang sangat pedas, padahal hanya menahan cubitan Wil.
"Aduduh!!!" Pekik Lin.
Mereka tertawa melihat kedua pria itu berkelakuan seperti anak kecil.
Wil tak berlama-lama di kafe tersebut. Dirinya berpindah kearah toko buku. Di sana ia melihat judul buku yang sama seperti buku yang Laura beli.
Ia menyentuh buku bergenre romansa tersebut dan membaca sinopsisnya. Ia mengerti kenapa Laura tertarik sekali dengan buku itu, karena ada namanya tertera di sana.
"Pantas saja," ujar Wil sambil tersenyum-senyum sendiri. Ia melihat seri ke-2 dan ke-3 dari buku tersebut.
Dirinya mengambil dan membayar buku yang ia ambil tadi. Entah, kenapa Wil merasa ingin memberikanya kepada Laura. Tapi ia mengurungkan niat karena kata-kata Laura yang kembali terekam di pikiranya.
"Hanya menjauh Wil, itu tidak sulit. Tidak, sulit," ujar batinya.
Ia membaca buku di taman, tempat untuk ia jogging setiap minggu. Tampak sangat serius membaca buku tersebut dan mendalaminya. Menurutnya, buku tersebut cukup bagus. Baru setengah dari ia membaca, kepalanya pusing melihat tulisan yang begitu banyak.
"Gak biasanya, kepalaku pusing begini." Terasa seperti ada yang mengalir dari lubang hidungnya. Wil menyentuh permukaan hidungnya dan terdapat darah di ujung jarinya.
"Merepotka saja," ujar batin Wil. Ia memilih pulang dan membaca lanjutanya di rumah. Karena pusing yang melanda, ia tak bisa fokus ke jalan, mengendarai mobilnya dengan baik. Matanya sangat berat, ia ingin tidur meski hanya 5 menit.
"Gak boleh tidur, sebelum sampai rumah!" Matanya terus memintanya untuk memejam. Darah yang keluar dari hidungnya semakin menjadi-jadi. Ia mengambil tisu dan mengelap darah yang mengalir.
Matanya terpejam beberapa detik dan terkejut dengan seorang wanita yang menyeberang di depan mobilnya. Wil menginjak rem seketika itu juga.
Wanita yang menutupi wajahnya itu melihat kearah dalam mobil dan langsung pergi begitu saja. "Laura." Gumam Wil.
"Gak, gak, gak. Fokus ke rumah." Wil membulatkan tekad, melaju kencang menuju rumah.
Namun, di jalan lain Wil hampir menabrak orang sama. Kali ini dia keluar dan menahan wanita itu pergi.
"Tunggu, Ra," ujar Wil, meraih lengan Laura.
"Apasih!? Saya gak kenal!" Laura meronta-ronta berusaha melepaskan cengkraman Wil.
"Kau benar-benar melupakanku?"
"Saya tidak kenal anda, tentu saja saya kan melupakanya. Lepaskan!"
"Tunggu, kemarilah. Tidak sampai 1 menit."
Laura menurut saja mengikuti Wil. Pria itu mengeluarkan 2 buku yang ia beli tadi. "Tolong jangan buang ini. Kemungkinan kita gak akan ketemu lagi." Dengan keraguan tingkat tinggi. Laura menerima buku yang suka ia baca berulang-ulang.
"Apa maksudnya tidak pernah bertemu lagi?"
"Aku akan keluar negeri besok. Umur tidak ada yang tau," jawab Wil lalu masuk kedalam mobil dan menyalakan mesinya.
"Sampai jumpa, Aura." Kemungkinan, itu adalah kata-kata terakhir Wil kepada Laura. Dengan harapan dan keyakinan besar, mereka akan bertemu lagi suatu saat nanti.
Di rumah, Wil merebahkan diri menatap plafon dengan bayang-bayang Laura di kepalanya. Wil dengan posisi yang menyatu dengan ranjangnya, berusaha menggapai lampu kamarnya. Sulit, bahkan mustahil kalau ia tidak bangkit. Ia menganggap bahwa lampu tersebut adalah Laura.
"Sudahlah Wil, dia masih ada Angga, Sean, mungkin Lin." Entah kenapa Wil merasa dirinya hancur menyebut nama-nama pria lain.
"Cih, masih aja mikirin dia, Wil. Move on please!"
Arlojinya tak sengaja jatuh dari nakas, Wil menengok dan melihat kotak kado yang dj berikan Levi. "Ah iya aku lupa."
Kotak berisi handphone berwarna hitam. Di dalamnya sudah tercantum kontak yang pernah ia simpan termasuk Laura. "Aku yakin ini kerjaan mama!"
Jarinya menekan album foto di handphone tersebut. Terlihat foto-foto Laura, yang di ambil pada waktu yang sangat tepat. Wanita itu terlihat cantik dengan kalung yang ia kenakan tempo hari. Pandangan Wil memburam karena air mata yang menggenang.
Air mata itu tumpah saat melihat foto Laura bersama Sean, sedang memakan eskrim di kafe dekat kampus. "Sakit." Wil mencengkram baju di bagian dadanya.
Jantungnya seperti tersetrum dan tertekan. "Gak bisa dibiarkan!"
Ponselnya memunculkan notifikasi dari Sean.
'Temui aku di rumah kosong dekat rumahmu'
"Di seberang ya?" Wil bergegas menuju rumah itu.
Sean berdiri membelakangi Wil. Tanganya dimasukan ke kantung dengan permen di dalam mulutnya.
"Aku cuma mau kasih tau kok, bukan mau ngajak ribut. Nantilah ributnya saat kau di luar negeri."
Tangan Wil mengepal erat. Ia tidak siap apapun yang dikatakan Sean. "Aku akan menikah dengan Laura, bulan depan. Yah, aku berharap kau datang," ujar Sean sambil berbalik badan dengan senyum kemenangan.
"Bu, bulan, depan?" Ucapan Wil terbata-bata. Menikah, bukan suatu bercandaan. Sean pun serius membicarakan itu.
"Iya, tapi aku yakin kau sudah lepas landas menuju negara di mana perusahaanmu beroperasi."
"Begitu, selamat ya." Kaki Wil bergetar, ia segera kembali menuju rumahnya. Perasaanya sulit diucapkan dengan kata-kata.
"Yah. Sekali lagi aku berharap kau datang."
"Akan ku usahakan, kalau aku masih hidup."
Di kamarnya, Wil membenturkan kepalanya ke tembok kamar, berkali-kali sampai rasanya sakit. Namun, rasa sakit terbesar menyerang jantungnya, seperti akan meledak sewaktu-waktu.
Ia tak siap merelakan Laura untuk musuhnya begitu saja. Ia harus merebut Laura kembali, dengan cara lain. Ia mengambil ponselnya dan melihat layar ponselnya yang sepi akan notifikasi.
Ia mengirim pesan singkat kepada Laura dan berharap dibalas. Namun, pesan tersebut hanya dibaca oleh Laura. Sepertinya wanita itu tau itu Wil.
3 jam berlalu, waktu sudah menunjukan pukul 3 dini hari. Wil masih menangis dalam ruangan sunyi dan hati yang hampa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Yusnita Hayati
thor mereka hidup di dunia apa ya kok mata dan rambutnya berwarna warni...😁
2021-01-04
0
Nunuk Pujiati 👻
semangat
2020-07-13
1
ida
sedih thor,saya lebih suka laura sama will
2020-07-11
5